kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

I Ketut Mertaadi, kelola sampah agar bernilai komersial


Jumat, 17 September 2010 / 10:26 WIB
I Ketut Mertaadi, kelola sampah agar bernilai komersial


Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Tri Adi

Agar program pengelolaan sampah berjalan lancar, I Ketut Mertaadi menjadikan organisasi Eco Bali sebagai sebuah perusahaan komersial. Setiap korporat yang ingin menggunakan jasanya akan dipungut biaya. Saban hari, Ketut mengelola 1,5 ton sampah di sekitar Bali. Namun, belakangan ini, permintaan pengelolaan sampah juga datang dari luar Pulau Dewata.

Persoalan sampah memang tidak pernah ada habisnya. Semakin maju suatu daerah maka sampah yang dihasilkan akan semakin berlimpah. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan membawa dampak negatif. Seperti, menyebabkan masalah kesehatan, bau tidak sedap, hingga dampak jangka panjang terhadap lingkungan keseluruhan.

Tidak terkelolanya sampah dengan baik juga bisa menurunkan tingkat perekonomian suatu daerah. Misalnya, jika sampah semakin menumpuk di seantero Bali maka otomatis bisa menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Dewata itu.

Dampak tersebut disadari oleh I Ketut Mertaadi. Ia menilai, jika masalah sampah tidak dikelola dengan baik maka kelak sektor pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Bali bakal hancur. Pembangunan yang cukup pesat dan jumlah penduduk yang terus bertambah membuat Bali perlu penanganan sampah yang tepat.

Ketut Mertaadi juga menyadari bahwa penanganan sampah tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Harus ada peran serta masyarakat agar bisa berhasil. Karena itu, dia tergerak untuk mendirikan organisasi bernama Eco Bali, yang khusus menangani pengelolaan sampah di Bali.

Didirikan sejak 2005, sampai saat ini Eco Bali telah berperan penting dalam upaya mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) di Bali. Selain memberikan edukasi kepada masyarakat Bali untuk memilah sampah organik dan nonorganik mulai dari rumahnya masing-masing, Eco Bali juga menjadi pengumpul sampah.

Menurutnya, pemilahan sampah sangat penting. Sebab, jika sampah sudah bercampur maka akan mengeluarkan gas metana yang bisa menghasilkan efek gas rumah kaca.

Semakin lama, kegiatan yang dilakoni oleh Ketut Mertaadi ini terus bertambah. Ujungnya, dia terbentur masalah pendanaan. Kendala itu membuat kegiatan pengelolaan sampah Eco Bali sempat terhenti.

Solusinya, Ketut memutuskan untuk menjadikan Eco Bali menjadi perusahaan yang bersifat komersial. "Kami mendapatkan pendanaan dari fee yang menggunakan jasa kami," katanya.

Sejak tahun 2006 Eco Bali berada di bawah bendera CV Bumi Lestari dan resmi melakukan kegiatan dan beroperasi secara komersial. Dengan dukungan pendanaan itu maka kegiatan usaha yang dilakukan Eco Bali tidak hanya terbatas pada edukasi dan pelatihan perusahaan dalam mengelola sampah. Kepada kliennya, Eco Bali juga bertugas sebagai pengumpul sampah.

Ketut menyediakan pula tempat sampah sebagai wadah pemilahan. Jika tempat berwarna hijau khusus untuk sampah kertas, maka tempat berwarna merah khusus buat sampah plastik, gelas, dan metal.

Tumpukan sampah tersebut kemudian dijual ke pabrik-pabrik di Jawa Timur untuk didaur ulang. Ketut mengaku sudah mempunyai jaringan yang akan menampung jenis sampah kertas dan plastik tersebut. Termasuk pihak yang akan menampung hasil daur ulang sampah.

Untuk sampah organik atau sampah rumah tangga, Ketut tidak mengelolanya langsung. Melainkan menyerahkan kepada perusahaan klien untuk diolah menjadi kompos, dengan bimbingan Eco Bali. "Kami pantau terus sampai mereka bisa melakukannya sendiri," ujarnya. Hasil komposnya bisa digunakan untuk tanaman sendiri ataupun dijual ke pihak lain.


Membuat kelas khusus

Dari tahun ke tahun, klien yang menggunakan jasa Eco Bali semakin banyak. Mulai dari kafe, toko kesehatan, produsen minuman, toko perlengkapan surfing atau selancar, produsen kertas, hotel hingga sekolah-sekolah.

Dari beragam klien tersebut, Ketut mengenakan tarif yang bervariasi yang ditentukan berdasarkan kategori usaha. Sayangnya, dia tidak mau terbuka mengenai tarif ini. "Kalau itu konfidensial," tandasnya.

Yang jelas, Eco Bali mengelola sekitar sekitar 1,5 ton sampah setiap hari atau sekitar 45 ton per bulan dari para klien tersebut. Jika dibandingkan dengan jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Bali per hari yang sekitar 5.000 ton, jumlah sampah kelolaan Ketut tergolong masih sangat kecil. Harapannya, ke depan Eco Bali mampu menyerap lebih banyak sampah.

Saat ini permintaan pengelolaan sampah juga banyak berdatangan dari kota lain di luar Bali. Belum lama ini, kata Ketut, pihaknya diminta mengelola sampah dari sebuah perusahaan yang ada di Jakarta. Namun, karena tidak memiliki perwakilan di Ibukota, dia tidak menyanggupi permintaan itu.

Menurut Ketut, komersialisasi yang dilakukan untuk pengelolaan sampah membuat program ramah lingkungan berjalan dengan baik. "Banyak yang bisa mengajarkan soal dampak sampah," katanya.

Namun, lanjut dia, jika tidak ada yang bisa mengangkutnya hanya akan jadi wacana saja. Jadi, bisnis ini memang harus tetap ada.

Meski bersifat komersial, Eco Bali tetap melakukan sejumlah kegiatan sosial masyarakat. Beberapa kegiatan sosial yang dilakukan seperti membuat kelas khusus bagi murid-murid sekolah. Kelas khusus itu memberikan pengetahuan akan sampah dan dampaknya. Saat ini sudah ada 18 sekolah yang memperoleh pelatihan pengelolaan sampah dari Eco Bali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×