kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (3)


Sabtu, 13 Januari 2018 / 10:30 WIB
Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (3)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Ratusan lembar kain batik beragam motif masih diproduksi di Kampung Batik Laweyan, Solo setiap hari. Seluruh pengusaha melakukan seluruh tahapan sendiri, mulai dari desain, pewarnaan, hingga penjualan. Rata-rata, mereka masih menggunakan pewarna sintetis untuk pewarnaan batik.

Sebagian besar perajin masih menggunakan pewarna sintesis untuk mengelir kain batik. Sadar akan bahaya dari limbah pewarnaan tersebut, mereka menyediakan penampungan limbah pewarnaan yang dihubungkan melalui pipa-pipa khusus dari tiap industri.

Namun, menurut Alpa Febila Priatmono, pemilik Mahkota Batik, belum semua industri tersambung dengan pipa tersebut lantaran posisi pabrik lebih rendah dari tempat penampungan. Gabungan teknologi sederhana dengan bakteri digunakan untuk menguraikan limbah. Alhasil, kadar pencemaraan air berkurang hingga 75%.  

Selain itu, sebagai efisiensi, Alpa juga mulai menggunakan kompor gas elpiji atau bioetanol untuk membakar malam saat proses pembatikan berlangsung. "Kami juga sudah siap dengan pewarnaan alami ini sebagai langkah mengantisipasi bila warna sintetis mulai menghilang," katanya.

Sejauh ini, tak banyak kendala yang dialami oleh Alpa dalam menjalankan usaha batik. Bahan bakunya pun banyak tersedia.  

Banyaknya perajin batik di Laweyan juga tak menimbulkan persaingan. Sebab, setiap pengrajin atau pengusaha punya ciri khas sendiri.  

Tak melulu membuat batik dengan motif pakem, Alpa juga menciptakan batik kontemporer, dengan motif  manusia goa dan lainnya. Bahkan, dia juga rajin menggambar kisah perjuangan dan momen bersejarah melalui batik. Contohnya, kisah perjuangan para pahlawan mendapatkan kemerdekaan Indonesia, Solo banjir dan lainnya.

Dani Arifmawan, generasi ketiga sekaligus pemilik Batik Cempaka pun mengamini bila banyaknya perajin yang berada di Laweyan bisa menjadi daya tarik konsumen untuk datang, tidak hanya sekedar melihat-lihat tapi juga berbelanja.

Disisi lain, kendala yang dihadapinya saat ini adalah susahnya membuka pasar baru. Sebab, patokan harga jual batik cap miliknya lebih tinggi bila dibandingkan dengan batik lainnya. Dani memang mengincar kalangan menengah keatas.

Alhasil, dia masih mengandalkan kunjungan para wisatawan serta pelanggan tetap. Dia belum mau masuk pasar online karena takut tidak bisa memenuhi permintaan konsumen yang hanya satu potong dengan model yang berbeda-beda.

Meski batik saat ini sudah dikenal oleh masyarakat luas dalam hingga luar negeri, laki-laki berperut buncit ini mengaku bila pemerintah serta para pelaku usaha harus terus melakukan edukasi pasar terkait batik. Tujuannya, agar generasi muda tetap mengenal dan menghargai batik sebagai warisan budaya.        

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×