kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rudy Lie bangun Obaja Tour dari garasi


Sabtu, 25 Maret 2017 / 18:03 WIB
Rudy Lie bangun Obaja Tour dari garasi


Reporter: Azis Husaini | Editor: Yudho Winarto

MUNGKIN tidak banyak orang mengenal Rudy Lie, pendiri sekaligus Presiden Direktur PT Bet Obaja International, yang kini memiliki enam anak usaha di bisnis tour and travel. Sebelum berbisnis, Rudy adalah marketing officer di Bank Central Asia (BCA). Namun saat ini dia membawahi 300 karyawan dengan omzet perusahaan Rp 1,13 triliun tahun 2016 dan tahun 2017 bisa Rp 1,5 triliun.

Rudy mendirikan usahanya saat keadaan ekonomi negara sedang kacau, pada tahun 1998. Pada saat itu, Rudy diminta menjadi kepala cabang BCA di Jakarta Pusat. Namun karena saat itu banyak orang menarik uangnya (rush), BCA pun mengurungkan niat untuk membangun kantor cabang. "Tidak jadi dibuat. Saat itu BCA ingin diambilalih pemerintah," ungkap pria kelahiran Medan, 29 September 1975.

Tak berapa lama, Rudi memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan yang dulu dimiliki Salim Grup itu. Dia bersama Freddy Chandra, sahabatnya yang kini menjadi Direktur Operasional Obaja, sepakat menjadi perantara penjual tiket. "Saya waktu itu bantu teman untuk menjual tiket Merpati. Modal awal kami waktu itu Rp 100 juta," ujarnya di kantor cabang Obaja di Epicentrum, Jakarta Selatan.

Selain menjual tiket dari Merpati, ia juga menjual tiket pesawat untuk Tenaga Kerja Indonesia. "Belum ada reservation. Telepon dan telepon saja, masih jadi perantara," ungkapnya.

Bersama sang teman, Rudy bekerja di garasi mobil setiap hari. "Ada yang bilang ini travel atau gudang, nama Obaja pun menjadi olok-olok saat itu," imbuh dia. Namun demikian, dari lima orang pegawai termasuk dirinya, Obaja kini memiliki 300 karyawan di 12 cabang perusahaan.

Setelah usahanya berjalan selama 1,5 tahun, Rudy menyadari bahwa jika ingin besar harus membuat badan hukum. Maka sekitar tahun 2001 Obaja pun memiliki badan hukum. Dari sanalah kemudian Obaja Tour and Travel terus menanjak. "Dari 2001 sampai 2017 kinerja kami tidak pernah menurun," ujarnya, Senin (20/3).

Dia mengatakan, tahun 2001 adalah puncak di mana perusahaan terus menanjak dari sisi jumlah coustumer. Salah satu upayanya adalah melakukan berbagai diversifikasi bisnis. Misalnya, perusahaan melakukan bisnis dengan para travel agen kecil yang tidak bisa menjual tiket maskapai ke konsumen secara langsung, karena tidak berstatus member International Air Transport Association (IATA).

Dia mengatakan, jumlah agen travel yang belum menjadi agen IATA sangat banyak. "Kami bekerjasama dengan ratusan agen travel itu. Memang pasti ada risiko. Tetapi saya ingin risikonya di bawah 5% saat pertama kali bekerjasama," ungkap dia.

Rudy menyatakan, saat ini pihaknya bekerjasama dengan agen travel yang menjual tiket di Bandung, Jakarta, Surabaya. "Syaratnya agar tidak bodong harus berbadan hukum dan saya kurangi lagi risikonya jadi 3% sekarang," imbuh dia.

Dia menyadari bahwa menjual tiket melalui pihak ketiga memang penuh risiko. Untuk itu, perusahaan terus menjaga risiko dengan cara melakukan sanksi suspend bagi yang tidak benar. Lalu, pihak ketiga harus membayar hasil penjualan dalam tempo yang sudah ditetapkan. "Istilahnya mereka mendapat fee atas penjualan tiket dan kompensasi," imbuh dia.

Meskipun bermitra, pihaknya juga melayani pembelian tiket langsung ke cabang-cabang terdekat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. "Sekarang persaingan sangat ketat bagi travel kecil, sekarang e-commerce sudah jual tiket. Lalu, airlines sekarang buka cabang di mal," kata dia.

Ia menyatakan, saat ini komposisi bisnis perusahaan untuk bisnis travel disokong dari korporasi dengan pangsa pasar 70%. Pasar ritel hanya 30%. Porsi untuk bisnis tour juga berat ke segmen korporat (60%). Ritel hanya 40%. "Ke depan ritel harus mengejar karena ini bisnis bilangan besar. Kalau bisa 50% korporat dan 50% ritel," ungkap dia.

Saat ini, Obaja sudah mendapatkan banyak perusahaan besar, seperti Astra, Indomobil dan BTPN sebagai klien. "Ada sekitar 300 perusahaan yang kami tangani tour and travel nya. Tahun ini bisa tambah 30 perusahaan lagi," kata dia.

Dia mengatakan, belanja tour and travel perusahaan terbesar memang datang dari perbankan. Adapun yang bisa menjadi klien korporat adalah perusahaan yang nilai belanja minimumnya di atas Rp 300 juta, dan maksimum Rp 3 miliar per bulan. "BTPN itu saat acara training UMKM sebulan belanjanya Rp 2 miliar waktu itu," kata dia. Bahkan ada klien perusahaan yang belanjanya bisa sampai Rp 20 miliar per tahun.

Dia mengklaim, korporasi yang bekerjasama dengan Obaja sebenarnya sangat diuntungkan. Sebab, pembayaran dan pembelian tiket serta service lain dilakukan oleh Obaja.

"Nanti ada penggantian di bulan berikutnya. Jadi tentu saja kas perusahaan kami saat ini sangat solid. Sebab misalnya kalau sebulan mereka belanja Rp 1 miliar, kami harus siapkan Rp 2 miliar," klaim Rudy.

Kunci solidnya kas perusahaan karena selama ini perusahaan tidak meminjam uang dari perbankan. Sebab, bila meminjam perbankan, maka margin yang didapat akan tergerus. Misalnya saja bunga perbankan sebulan 1%, sementara margin dari travel itu 3%-4% gross. "Itu belum menghitung gaji karyawan, biaya listrik dan sewa kantor?" ujar dia.

Marjin dari usaha tur bisa lebih besar, sekitar 7%-10%. Untuk itu, kunci sukses dari bisnis ini adalah mengejar volume. "Kalau nilai omzetnya besar, baru kelihatan marjinnya," imbuh dia.

Untuk itu, Obaja berusaha menjaga cash flow. "Saya bahkan 1 tahun sudah punya cadangan kas untuk gaji karyawan, andai penghasilan bisnis ini zero sekalipun dalam setahun," imbuh dia.

Sudah ditawar asing

Saat bisnis Obaja mulai menanjak, ujian datang dari sisi bisnis. Rudy mengatakan, sudah ada perusahaan Singapura yang ingin membeli Obaja. "Saya sudah ketemu sekali," kata dia.

Namun saat itu ia menolak penawaran pembelian. Alasannya, ia ingin membesarkan perusahaan ini dari nol sampai menjadi leader di industri ini. "Banyak perusahaan sejenis sudah dua generasi, atau berdiri tahun 70-an. Kami baru satu generasi, sudah masuk ke 10 besar," ungkap dia.

Bahkan dalam rangking versi maskapai, Obaja menempati rangking keenam sebagai perusahaan tour and travel yang menjadi prioritas untuk diajak kerjasama. "Bahkan di Garuda Travel Fair kemarin, kami nomor tiga dari sisi penjualan. Nilainya Rp 14 miliar dalam tiga hari," ungkap dia.

Dia mengungkapkan, bahwa perusahaan-perusahaan asing memang sedang banyak mengincar perusahaan tour and travel. Sebab potensi menggarap bisnis di sini sangat besar karena jumlah penduduk yang banyak sekaligus lokasi destinasi yang menarik.

Obaja pun melakukan inovasi agar bisnisnya tak cuma eksis, melainkan juga terus berkembang. Salah satu bentuk perluasan itu adalah menjelajah e-commerce. "Kalau kita nyaman dengan nama besar kita akan jadi dinosaurus," ujar dia.

Pengembangan lain yang dilakukan Obaja adalah memperbanyak destinasi. Termasuk, fokus mempromosikan tujuan wisata domestik ke pasar luar negeri. "Kami akan gencar ikut pameran," ujar dia. Dia juga memiliki banyak strategi ke depan. Rencana yang disiapkan seperti mencari pendanaan melalui bursa, jika anak usaha atau unit usaha semakin berkembang. "Tujuannya untuk mempertahankan perusahaan, dikenal di dalam negeri dan di luar negeri agar bisa melakukan manuver bisnis ke depan," imbuh dia.

Saat ini, yang terpenting, bisnis Obaja sudah autopilot. "Kami memasuki era eksistensi. Baik era perbaikan sistem manajemen maupun organisasi sudah berlalu. Bahkan, sekarang pekerjaan saya hanya menandatangani MoU," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×