kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Akademisi dorong revisi PP Gambut


Rabu, 22 Februari 2017 / 10:52 WIB
Akademisi dorong revisi PP Gambut


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Kebijakan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menuai kontroversi. Pasalnya, sejumlah kalangan, baik dari petani dan akademisi menilai, beleid tersebut menghambat pembangunan perkebunan dan kehutanan. Karena itu, mereka mendesak pemerintah merevisi beleid tersebut.

Peneliti Utama Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Chairil Anwar Siregar mengatakan, harusnya semangatnya PP No. 57 tahun 2016 harusnya diarahkan untuk mendukung sektor perkebunan dan kehutanan di lahan gambut. Aturan-aturannya harus bisa diaplikasikan masyarakat dan dunia usaha. Namun yang terjadi justru menyulitkan masyarakat mengembangkan perkebunan dan kehutanan akibat kebijakan tersebut.

Ia mengatakan ditetapkannya muka air di lahan gambut paling rendah 40 cm tidak realistis dengan kondisi di lapangan, karena air gambut sulit mencapai ketinggian tersebut, apalagi di musim kemarau. Bila itu pun bisa direalisasikan, maka berpotensi membuat akar tanaman membusuk karena genangan air. "Selain itu, penetapan 30% dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagai fungsi lindung akan mematikan ekonomi rakyat dan investasi," ujarnya, Rabu (22/2).

Pakar gambut Institut Pertanian Bogor (IPB) Gunawan Djajakirana menilai, banyak pasal di PP 57/2016 tiidak memiliki kajian ilmiah terutama dalam penentuan tinggi muka air tanah gambut yang tidak boleh kurang dari 0,4 meter. Menurut Gunawan, terbakar atau tidaknya gambut sangat dipengaruhi oleh faktor kelembaban tanah/kadar air tanah, dan bukan dari tinggi muka air tanah.

Relief muka gambut sangat bergelombang, dengan perbedaan antar muka bisa mencapai 70 cm. Begitu juga untuk muka air tanah gambut yang juga tidak rata dan bahkan perbedaannya bisa mencapai 100 cm. “Lalu bagaimana angka 0,4 tersebut akan diterapkan. Ini aturan yang tidak logis,” kata Gunawan.

Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto, menilai, revisi perlu segera dilakukan karena aturan itu akan menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×