kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ali Sodikin, anak petani yang sukses di mebel


Sabtu, 03 Oktober 2015 / 10:45 WIB
Ali Sodikin, anak petani yang sukses di mebel


Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi

Ketenaran Jepara sebagai kota ukiran dan penghasil furnitur sudah sejak lama mendunia. Tak heran, dari kota di pesisir utara Pulau Jawa itu lahir sejumlah pengusaha bidang furnitur.

Ali Shodikin adalah salah satunya. Meski orangtuanya adalah petani, karena tumbuh dalam lingkungan pengrajin kayu, pria 37 tahun ini tertarik pula pada dunia mebel. Ali lantas memutuskan untuk kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, memperdalam ilmu desain.

Sayang, lantaran keterbatasan biaya, Ali terpaksa berhenti kuliah. Dia kembali ke Jepara dan bekerja sebagai juru gambar. “Saat itu, menggambar masih dengan tangan,” kenang Ali. Ali sempat melanjutkan kuliah di Jepara, namun pada akhirnya ia juga memutuskan untuk berhenti.

Lantaran krisis, banyak pengusaha furnitur di Jepara bangkrut. Ali pun merantau ke Jakarta dan bekerja di bidang yang sama, yakni produsen furnitur. Tak seperti di produsen furnitur di Jepara yang menggunakan kayu solid sebagai bahan baku, produsen furnitur di Jakarta memadukan antara kayu solid dan triplek. Dari sinilah, Ali belajar soal berbagai material pembuat mebel.

Bahkan, Ali mulai berbisnis. Secara tak sengaja, dia mendapatkan pesanan untuk membuat pintu rumah tinggal. “Waktu itu, konsumen mencoba order dengan memesan pintu,” kata Ali. Puas dengan hasil kerjanya, konsumen tadi menambah pesanan berupa furnitur pengisi kantor dan rumah tinggalnya. Sejak itulah, pesanan lain mulai berdatangan.

Untuk menggarap berbagai pesanan itu, Ali semula meminjam peralatan milik kakaknya. Ketika usaha sang kakak bangkrut, dia membeli semua peralatan tersebut seharga Rp 13 juta. “Dengan bekal peralatan itu, saya memberanikan diri sewa tempat untuk produksi,” kata dia.

Setelah memiliki bengkel sendiri pada 2002, Ali makin serius menggeluti usahanya. Dia mulai mengambil order dari perusahaan furnitur di Jepara. Tak hanya furnitur, Ali menerima kontrak pembuatan lantai kayu (flooring) dari sebuah pabrik di Solo. “Saya menerima menerima order-order tersebut supaya karyawan tetap bekerja,” terang dia.

Untuk menambah modal, Ali pun sempat merantau ke Pulau Seram, Maluku. Dia mendapat tawaran dari pemerintah daerah di sana untuk membina para pemuda agar bisa mengolah kayu dengan baik. “Saya pulang tiap dua bulan, jadi tetap bisa memantau usaha di Jepara,” kata pria kelahiran Jepara, 6 Juni 1978, ini.

Hingga pada 2006, Ali pun mulai berkenalan dengan seorang eksportir (buyer). Dari buyer tersebut dia mendapat pesanan furnitur outdoor (garden furniture). Order ini sangat menantang bagi Ali karena tak ada pembayaran uang muka di awal seperti pesanan lainnya. “Waktu itu, saya tak tahu kalau order semacam itu sulit dan mekanisme pembayarannya susah,” ujar dia.

Lantas dia bekerjasama dengan para pengrajin atau pemasok yang sudah lebih dulu dikenalnya sebagai solusi ketiadaan uang muka. Ali memberi harga lebih tinggi ketimbang pemesan lainnya. “Ada sembilan pemasok yang membantu saya saat itu,” kata Ali. Akhirnya, order pertama sebanyak enam kontainer menuai sukses.


Jual desain
Kerjasama dengan buyer itu pun terus berlanjut dari tahun ke tahun. Jumlahnya pun terus bertambah setiap musim. Dari 6 kontainer, menjadi 10 kontainer hingga 24 kontainer dalam satu musim. Bahkan, dalam satu periode, Ali pernah mengekspor hingga 43 kontainer, yakni medio 2009–2010. “Itu jumlah ekspor paling banyak,” ujar dia.

Namun, jumlah pengiriman kontainer yang banyak itu tak bisa menjadi indikasi kesuksesan. Sebab, meski jumlah order besar, produk outdoor itu penuh risiko karena ketiadaan uang muka. Apalagi, pasarnya juga makin kompetitif. “Tuntutan dalam masalah keuangan makin besar,” kata Ali.

Memang, saat menerima pesanan tersebut, suami Yuni Fatciah ini mengaku, merasa kurang tenang. Pasalnya, tak sedikit pengusaha seperti dirinya bangkrut karena tak menerima pembayaran. Bisa jadi, hal tersebut juga terjadi pada dirinya. Padahal, untungnya tipis. “Kalau mau dilanjutkan, kami harus punya modal yang cukup kuat,” ujar dia.

Belajar dari berbagai pengalaman tersebut, Ali lantas  berpikir untuk mencari celah lain. Selama meladeni pasar ekspor, Ali masih melayani order mebel indoor yang datang kepadanya. Dibanding produk garden furniture, nilai dan profit dari bisnis mebel indoor lebih tebal.

Dia pun berniat untuk memperbesar pasar untuk furnitur indoor ini. Ia pilih menjual furnitur dengan model-model yang berbeda dari lazimnya. Ali sekaligus menawarkan desain furnitur bagi klien. Alhasil, bukan lagi menawarkan per jenis perabot, Caraka Creasindo, nama perusahaan Ali, menawarkan solusi furnitur sesuai dengan kebutuhan konsumen. “Misalnya, untuk mengisi ruang lobi sebuah hotel, apa saja yang diperlukan supaya terlihat menarik,” jelas dia. Tak hanya meja kursi, Ali juga melengkapi dengan aksesori untuk mempercantik ruangan.

Pada akhir 2011, dia memulai konsep ini, sekaligus mulai mengurangi pengiriman untuk garden furniture. “Saya tetap mengirim untuk pasar outdoor, namun dengan jumlah sesuai dengan kemampuan keuangan dan kenyamanan saya,” jelas dia. Pengiriman produk outdoor saat ini ditujukan ke negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Kanada.  

Sebaliknya, Ali terus menggenjot pesanan dengan konsep baru tadi, yang berfokus pada pasar lokal, yakni hotel-hotel dan restoran. Kini, jumlah pesanan furnitur indoor dan outdor sudah mulai berimbang. Ali pun yakin, bisnisnya akan terus berkembang sesuai dengan target yang telah dia tetapkan. Dia merasa lebih senang dan tenang dengan bisnisnya yang kini mempekerjakan 60 orang.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×