kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anton, DJ yang piawai meramu bisnis ritel


Rabu, 16 April 2014 / 13:44 WIB
Anton, DJ yang piawai meramu bisnis ritel
ILUSTRASI. Kenali 3 Manfaat Bergamot Oil untuk Kecantikan Wajah dan Rambut


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Bagi sebagian orang, nama Anton Wirjono mungkin tak terdengar asing. Sejak 1990-an, pria kelahiran Kudus, 14 April 1970, ini memang sudah dikenal sebagai DJ andal. Bukan hanya di Indonesia, pamor Anton juga bersinar di China, Jepang, dan Swiss.

Sayang, profesi DJ saat itu belum sepopuler sekarang. “Tahun 1990-an, citra seorang DJ masih jelek, berbeda dengan sekarang yang dianggap keren,”  katanya membuka percakapan dengan KONTAN, pekan lalu.  

Anton pun menekuni profesi ini setelah tamat dari Business Administration di Menlo College, Amerika Serikat pada 1994. Dia mengawali debutnya sebagai DJ di Parkit, Kemang. Musik racikannya berhasil mendatangkan ratusan pengunjung.  

Namun, tak berhenti menjadi DJ. Setahun kemudian, setelah punya cukup uang, Anton tertantang menjajal kemampuannya meracik acara dengan mendirikan Future10. Ia menyulap garasi rumah ayahnya menjadi kantor Future10.

Bersama 20 karyawan, dia menangani berbagai jenis acara, seperti launching produk atau peresmian kantor baru. Beberapa perusahaan besar, sebut saja Nike dan Evian, pernah menjadi kliennya.

Sampai akhirnya, Anton menyadari, bisnis yang digeluti ini  rentan dengan tekanan tinggi. Dia harus turun tangan sendiri untuk menjamin kesuksesan acara yang dihelatnya. “Jujur saja, saya merasa capek karena memang belum punya orang kepercayaan,” tutur dia. Setelah mengelola selama lima tahun, bisnis event organizer itu Anton serahkan ke rekannya.

Anton lantas mencari peluang lain yang tekanannya tidak terlalu tinggi. Lantaran sering menjumpai pasar kaget, saat pulang dari kantornya, Anton terinspirasi mengadaptasi konsep tersebut untuk kalangan menengah atas.

Sebagai langkah awal, Anton  menyewa ruangan kosong seluas 600 m2 di Plaza Indonesia dan mendirikan 25 booth nonpermanen. Untuk membangun bisnis barunya, Brightspot Market, Anton merogoh kocek sebesar Rp 70 juta. Dalam persiapan selama tiga minggu, dia berhasil menggaet 23 vendor fashion pilihan.

Dengan pengalaman sebagai event producer, tak heran, gelaran Brightspot yang pertama cukup sukses. Anton berhasil menjaring 5.000 pengunjung. Meski tak mencatat nilai transaksi yang besar, Anton mengantongi Rp 46 juta dari biaya sewa booth selama empat hari.

Brightspot Market menjadi batu loncatan Anton untuk merintis bisnis ritel yang lebih besar. Kehebohan penyelenggaran Brightspot berhasil mengundang minat investor. Akhirnya, sang investor menggelontorkan modal untuk mengembangkan bisnis ritel milik Anton ini.

Berkat suntikan modal itu,  Anton bisa menyusun konsep bisnis ritel dengan skala yang lebih besar, yakni The Goods Dept. Dia membuka gerai pertama The Goods di Plaza Indonesia tahun 2011.

Utamakan produk unik

Sama halnya dengan Brightspot, Anton melakukan kurasi terhadap sejumlah vendor yang menitipkan barang di The Goods Dept. Anton menerapkan sistem konsinyasi dengan peraturan yang lebih ringan dibandingkan dengan toko ritel lain. Misalnya, dia tidak mengharuskan vendor untuk mengirimkan karyawan dan tidak ada  minimal penjualan setiap bulan. Namun, proses seleksi untuk vendor di The Goods Dept lebih ketat ketimbang seleksi untuk ikut Brightspot Market.

Setidaknya, Anton menyeleksi vendor berdasarkan kualitas produk, konsistensi produksi, dan desain yang anti-mainstream alias tak pasaran. Menurut Anton, proses kurasi sangat penting karena dia harus bersaing dengan raksasa bisnis yang didominasi merek asing. “Kalau bisa, The Goods hanya menjual produk yang berbeda, terutama dari segi desain dibandingkan tempat lain,” tegas dia.

Tengok saja, produk-produk yang dijual di The Goods Dept  hampir semuanya sesuai dengan selera anak muda dengan desain unik, bahkan beberapa cenderung aneh. Misalnya, baju yang hanya menutupi separuh badan, sisanya hanya dilapisi bahan jaring transparan. “Banyak barang di The Goods Dept yang tidak dijual di tempat lain, kalau sudah dijual di tempat lain, menurut saya tak menarik lagi dijual di sini,” kata Anton.   

Produk yang dijual di The Goods Dept sangat beragam, tapi fokus pada produk fashion dan gaya hidup, mulai dari aksesori, pakaian, bahkan alat dapur. Rentang harganya pun sangat luas, mulai Rp 25.000 hingga Rp 15 juta per item.

Sejak awal berdiri, Anton sudah punya konsep, tokonya bukan sekadar tempat berbelanja, lalu pembeli pulang. Dia berharap The Goods Dept bisa jadi tempat nongkrong yang komplit. Selain membeli barang, orang-orang bisa berkumpul, misalnya untuk berdiskusi.

Kini, The Goods Dept telah buka gerai di Pacific Place, Pondok Indah Mall 2, dan Lotte Shopping Avenue. Memang, Anton hanya mau mengambil lokasi mal. Alasannya sederhana, orang lebih nyaman berbelanja di mal daripada di luar ruangan. Pemilihan tempat itu juga sesuai dengan pasar yang dibidik oleh The Goods Dept, yaitu kalangan anak muda. Untuk memperluas pasar, setahun terakhir, The Goods Dept juga berjualan online.

Kini, lebih dari 200 vendor menjalin kerja sama dengan usaha yang berada di bawah bendera PT Cipta Retail Perkasa ini. Kebanyakan vendor berdomisili di Jakarta dan Bandung. Sekitar 80% dari total vendor merupakan merek lokal. Anton ingin mempertahankan komposisi ini agar ritel yang mempekerjakan 400 karyawan bisa mendukung produk lokal agar makin bergigi.    


Passion dan bisnis

Banyak orang bilang, yang paling baik adalah menjalani bisnis yang sesuai dengan panggilan jiwa diri Anda. Begitu pula, pendapat Anton Wirjono, “Bisnis harus dijalani dengan passion,” tutur dia.

Sejak mendirikan Future10, Anton menyadari bahwa menjalani bisnis dengan passion, dalam arti tanpa paksaan, ikhlas, dan sesuai panggilan hati, akan sangat mengasyikkan. Lebih lagi, sejak awal, Anton memang tidak mengutamakan profit.

Sejatinya, pria yang berusia 43 tahun ini pernah juga menjajal bisnis distribusi. Sayang, bisnis tersebut berhenti di tengah jalan. Ketiadaan passion ia sebut sebagai alasan kegagalan bisnis distribusi tersebut. Demikian pula, ketika dia harus memprodu-seri acara yang tidak sesuai dengan karakternya yang dinamis dan anti-mainstream. Anton merasa terpaksa menjalaninya. Ujungnya, hasil yang diperoleh, menurut dia, tidak memuaskan.

Alhasil, Anton mengatakan, strateginya berbisnis tidak jauh berbeda saat nge-DJ. Maklumlah, selain pebisnis, Anton juga berpengalaman sebagai DJ.

Ketika berbisnis, misalnya, ia mengikuti intuisi dalam memilih vendor, ataupun saat hendak meluncurkan event. Berkat intuisi pula, Anton bisa menjadi pengusaha yang menciptakan selera pasar, bukan sekadar mengikuti arus.

Meraih kesuksesan di umur 40-an tak lantas membuat ayah dari tiga anak ini puas dengan dirinya. Ke depan, Anton sudah menyiapkan beberapa rencana ekspansi untuk membesarkan nama The Goods Dept.

Rencana terdekat Anton adalah membuka 10 gerai baru The Goods Dept. Selain Jakarta, dia membidik beberapa lokasi seperti di Surabaya dan kota di Bali.

Selain membidik pasar domestik, Anton berniat membuka cabang di negara lain Asia Tenggara. Maklum, banyak permintaan barang ternyata datang dari Singapura, Filipina, Malaysia, bahkan Amerika Serikat (AS). Baru-baru ini, Anton mendapat kucuran dana dari angel investor yang menolak disebut namanya. Namun, sampai kini Anton belum terpikir untuk bekerja sama membuka gerai dengan pebisnis mancanegara.                         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×