kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45999,83   6,23   0.63%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berawal dari koleksi, kini tenun jadi bahan baju


Sabtu, 21 April 2018 / 14:10 WIB
Berawal dari koleksi, kini tenun jadi bahan baju


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Dua tahun terakhir, jenis kain tradisional yang tengah naik daun adalah tenun. Kain tenun dari beberapa daerah seperti Palembang, Sumba, Bali, Lombok dan Timor tengah jadi pusat perhatian dan buruan bagi para pecinta kain tradisional.

Ignasio Haumara, pemilik Gading Haumara Gallery menjelaskan, tren tenun mulai menggeliat sejak dinobatkan UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. Pamor kain tenun makin menggeliat karena didukung pula oleh promosi destinasi wisata di NTT.

Kain tenun asli NTT dengan berbagai motif seperti motif Sumba, motif Timor, motif Rote dan motif Flores dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, mulai Rp 1,2 juta-Rp 15 juta per lembar. Bahkan, koleksi khusus yang dibuat dengan benang hasil pintalan para perajin sendiri dan pewarna alami dibanderol sampai Rp 75 juta per lembar. Ignasio bilang, harga itu sepadan  dengan proses penggarapan yang rumit dan lama. "Semua tenun NTT dibuat dengan cara manual dengan waktu 8 bulan sampai setahun," ungkap Ignasio yang kebanyakan pelanggannya merupakan kolektor.  

Selain membeli berupa lembaran kain, kini mulai banyak konsumen yang mencari produk jadi. Pasalnya, tak semua penjahit bisa pas menjahit kain tenun NTT. "Setahun belakangan banyak pelanggan yang minta pakaian jadi, terutama ibu-ibu ya," ujar Ignasio.

Tujuh tahun rutin mengikuti pameran Adhiwastra Nusantara, pria asli NTT ini mengungkapkan minat masyarakat terhadap tenun NTT makin meningkat. Jika pelanggan Gading Haumara Gallery  kebanyakan datang dari Jakarta, kini pelanggan dari daerah lain seperti Surabaya, Bandung dan Bali juga mulai bermunculan.

Sepakat dengan Ignasio, Wignyo Rahadi, desainer sekaligus pemilik Tenun Gaya juga mengatakan kain tenun mulai diperhitungkan dalam dunia fesyen. Berbeda dengan Ignasio yang mengangkat tenun NTT, Wignyo lebih memilih tenun modifikasi untuk diaplikasikan dalam kainnya. "Tenun Gaya ini lebih ke modifikasi berbagai motif tenun nusantara yang kita aplikasikan dalam satu kain," jelas Wignyo, saat ditemui di pameran Adhiwastra Nusantara 2018, beberapa saat lalu.

Aneka kain Tenun Gaya dibanderol mulai Rp 450.000 sampai Rp 2,5 juta per lembar. Ada pula pakaian jadi seharga Rp 650.000-Rp 1,5 juta. Wignyo mengatakan, jika dirinya banyak terinspirasi dari motif tenun Bali dan Lombok serta beberapa motif batik yang diaplikasikan dalam kain karyanya.

Menurut Wignyo, tren pasar kain tradisonal saat ini tidak lagi memetingkan motif dan corak. Konsumen lebih mengutamakan kenyamanan kain dan warnanya. "Konsumen jaman sekarang itu lebih cari kain tradisional yang nyaman dipakai, bukan lagi cari motif apa. Jadi bahan kain harus yang nyaman dipakai. Tenun Gaya sebagian besar menggunakan bahan kain sutera," tandasnya.      

Tak cuma motif klasik, warna tabrak lari tenun NTT juga membetot minat

Kain tenun setiap daerah di Indonesia punya corak, motif dan warna khas masing-masing yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Sama seperti kain tenun asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang punya ciri khas yang tidak sama dengan daerah lain di Tanah Air.

Menurut Ignasio Hapu, pemilik Gading Haumara Gallery, memang ada sedikit perbedaan soal motif tenun asal NTT ketimbang daerah yang lain. Malah, di antara daerah di Nusa Tenggara sendiri motifnya pun bisa berbeda.

Ia mengambil contoh motif Sumba yang biasanya menggunakan gambar-gambar primitif serta memakai bahan pewarna alami. Lain lagi motif asal Flores yang biasanya bermotif gambar berukuran kecil-kecil, seperti  gambar bunga dan yang lainnya. Yang jelas ukuran motif Flores lebih kecil dari Sumba
Ada lagi motif asal Timor. "Kalau ini pasti memakai warna-warni yang cerah, seperti kuning, hijau, biru dan merah," jelasnya kepada KONTAN.

Dari ragam motif tersebut, konsumen saat  ini lebih banyak mencari  motif Sumba. Selain karena dampak pariwisata yang makin maju, motif tenun Sumba ini punya daya tarik tersendiri dari gambar primitif dan warna-warni alami yang nampak klasik, vintage namun elegan. Apalagi memakai pewarna alami dari akar mengkudu.

Dua tahun belakangan, rasa ingin tahu konsumen terhadap motif tenun NTT semakin besar. Ini terjadi karena banyak konsumen yang ingin tahu kisah dibalik motif yang tertera dalam sebuah hasil kain tenunan. "Saya senang karena konsumen sekarang banyak belajar," katanya.  

Di sisi lain, Wignyo Rahadi, desainer sekaligus pemilik Tenun Gaya berpendapat jika tren tenun saat ini lebih memilih perpaduan warna-warni meriah. Dan tren tenun dengan aneka warna meriah tak hanya digunakan  kalangan anak muda, tetapi generasi tua juga mulai percaya diri mengenakannya.

Ia mengistilahkannya dengan tren warna tabrak lari. "Semisal, warna kuning dipadukan dengan hijau. Perpaduan warna jadi lebih berani dan generasi tua mulai menyukainya," tandasnya.

Menurut Wignyo, perpaduan warna meriah yang lebih berani mungkin merupakan salah satu cara untuk menarik minat kalangan anak muda. Jika kalangan anak muda disajikan kain tenun dengan warna klasik, maka akan terkesan tua. Perpaduan warna-warna meriah kata Wignyo lebih bisa menampilkan jiwa anak muda yang dinamis.

Nah, yang terjadi saat ini adalah semua generasi, baik itu yang muda serta yang tua banyak yang memakai corak tenun NTT dengan warna  yang mencolok dan saling tabrak sana-sini. Generasi tua pun mulai pede mengenakan corak tersebut dan mulai banyak dipakai di acara semi formal. "Banyak ibu-ibu yang memakai corak tersebut dan tetap cantik dan fresh," sahut Wignyo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×