kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berburu kerajinan bambu di Legok (1)


Rabu, 20 Januari 2016 / 15:42 WIB
Berburu kerajinan bambu di Legok (1)


Reporter: Teodosius Domina | Editor: Tri Adi

Sejak lama Kecamatan Legok, Tangerang, dikenal sebagai sentra kerajinan bambu. Saking lamanya, tidak ada yang tahu persis kapan sentra ini berdiri. Yang jelas, mayoritas perajin adalah generasi penerus usaha yang sudah dirintis orang tuanya. Ada tiga kampung yang menjadi sentra kerajinan bambu di daerah ini.

Tanaman bambu banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Tak terkecuali di daerah Legok, Tangerang, Banten. Melimpahnya tanaman bambu mendorong masyarakat di sekitar daerah ini untuk mengolahnya menjadi aneka kerajinan.

Ada tiga kampung di Kecamatan Legok yang menjadi sentra kerajinan bambu. Di antaranya, Cadas, Rancagong Legok, dan Manuntung. Produk yang dihasilkan sangat beragam, di antaranya topi bambu atau caping, tampah, bakul, ayakan, keranjang, dan lain-lain.

Letak sentra kerajinan bambu ini tidak jauh dari Lippo Karawaci yang merupakan kompleks perumahan modern di Tangerang. Kendati tidak jauh dari kawasan perumahan, tapi nuansa desa di perkampungan ini masih sangat kental.

Bangunan-bangunan rumah terbilang masih sederhana. Ada pula beberapa rumah yang masih menggunakan dinding dari anyaman bambu atau gedek. Akses jalan menuju perkampungan pun masih ada yang tanah. Sebagian ada juga yang sudah di beton.

Kondisi jalan tidak terlalu lebar,  sehingga menyulitkan mobil yang masuk ke perkampungan ini. Ketika KONTAN menyambangi kampung yang menjadi pusat kerajinan bambu ini, tampak kesibukan warga kampung tengah membuat kerajinan dari bambu.

Seperti sudah menjadi kesepakatan, masing-masing kampung sudah memiliki spesialisasi produk kerajinan. Kampung Legok hanya membuat bakul, Kampung Cadas ahli membuat tampah, dan Kampung Manuntung fokus membuat ayakan.

Inang, salah seorang perajin menuturkan, bahwa spesialisasi produk ini dipengaruhi faktor sejarah. "Kami tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Usaha kerajinan ini kan sudah turun temurun juga. Istilahnya sudah dari nenek moyang,” terang Inang.

Perajin lain di Kampung Cadas, Asmuni menuturkan hal yang kurang lebih sama. Ia mengaku sudah menjadi pembuat tampah sejak muda. Ayah enam orang anak ini juga hanya meneruskan usaha orang tuanya.

Mengenai harga jual, bervariasi tergantung ukuran dan kerumitan. Contohnya produk bakul ukuran besar dihargai Rp 13.000 per buah di tingkat pedagang pengumpul (pengepul). Dalam seminggu Inang bisa mengerjakan 30 bakul-50 bakul, dengan omzet Rp 390.000.

Keuntungan dari kerajinan ini lumayan besar. Menurut Inang, biaya produksi membuat lima bakul hanya Rp 15.000. “Biaya murah karena saya punya kebun bambu sendiri. Bambu yang sudah berumur satu tahun sudah bisa dijadikan bahan baku,” terangnya.

Sementara harga jual tampah lebih murah ketimbang bakul. Satu tampah dihargai Rp 11.000. Namun, rata-rata jumlah produksi setiap minggunya lebih banyak dibandingkan bakul, yakni mencapai 40 tampah per minggu.      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×