kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bersaing sehat dalam kualitas dan kemasan tempe (3


Senin, 05 Oktober 2015 / 13:11 WIB
Bersaing sehat dalam kualitas dan kemasan tempe (3


Reporter: Izzatul Mazidah | Editor: Tri Adi

Dalam menjalankan bisnis pembuatan tempe, para perajin di sentra Kali Sipon, Kelurahan Poris, Tangerang, harus menghadapi persaingan bisnis. Salah satunya soal kualitas dan kemasan tempe. Toh, perajin telah memiliki pelanggan masing-masing.

Tak ada sebuah usaha sejenis tanpa persaingan. Begitu pula bisnis pembuatan tempe di sentra Kali Sipon, Kelurahan Poris, Tangerang, Banten. Meskipun tidak terlalu vulgar, nyatanya persaingan bisnis tempe di Kali Sipon  tetap terlihat.

Para perajin di sentra tersebut memproduksi tempe dengan cara dan strategi masing-masing. Ini termasuk dalam mengemas tempe hasil produksi. Ada perajin yang mengemas tempe hanya dengan plastik, ada pula yang memakai daun pisang.

Menurut Andi, salah satu perajin tempe di sentra Kali Sipon, sebagian pelanggannya ada yang lebih suka tempe dengan kemasan daun pisang. Alasannya, tempe dengan kemasan daun pisang dinilai lebih awet dan tahan lama dibandingkan yang memakai kemasan plastik.

Namun, ada juga pelanggan yang lebih suka tempe dengan kemasan plastik. Dalihnya, karena terbungkus rapi, tempe dengan kemasan plasti kebersihannya lebih terjaga dibandingkan tempe kemasan daun pisang.  

Toh, di luar alasan itu, para perajin tempe memiliki cara sendiri untuk menjaga loyalitas pelanggan.  "Saya selalu menjaga kebersihan kedelai saat perebusan dan pengolahan menjadi tempe. Sehingga, tempe produksi saya terlihat lebih menarik bagi pelanggan,” kata Andi.

Sunan, perajin tempe lainnya di sentra Kali Sipon, menambahkan, masing-masing perajin telah memiliki pelanggan tetap. Dia bilang, selain dijual langsung ke pasar tradisional, banyak pedagang dan warga sekitar yang membeli langsung ke rumah para perajin. "Kalau di pasar pembelinya dari warga sekitar Serpong, Karawaci, dan Tangerang. Tapi untuk pembeli yang langsung datang ke rumah, kebanyakan warga sekitar Kelurahan Poris," ungkap Sunan.

Untuk menggenjot penjualan, Sunan juga melancarkan strategi lain. Salah satunya, ia menjual tempe dalam bentuk camilan gorengan yang dijual di depan rumahnya. "Untuk menambah pemasukan, saya menjual gorengan tempe. Sebab, kalau menjual tempe mentah untungnya tidak seberapa, karena harga kedelai tak stabil," imbuh dia.

Menurut Sunan, saat ini harga kedelai di pasaran dalam negeri memang tengah melambung tinggi akibat efek pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Saat ini, harga kedelai bisa mencapai Rp 8.000 per kilogram (kg).

Selain menyetok bahan baku, perajin punya strategi lain dalam menghadapi tingginya harga kedelai. Cara paling efektif yang bisa ditempuh perajin dalam menghadapi kenaikan harga kedelai hanya dua pilihan: memperkecil ukuran atau menaikkan harga jual tempe.

Menurut Sunan, yang paling mungkin dilakukan adalah memperkecil ukuran tempe. Contohnya, untuk tempe dengan panjang 20 sentimeter (cm) yang biasa dijual Rp 6.000-Rp 7.000 per potong, diperkecil jadi 15 cm.

Jika membuat ukuran tempe sama, mau tak mau para perajin harus mendongkrak harga jual sebesar Rp 3.000-Rp 4.000 atau menjadi Rp 10.000-Rp 11.000 per potong. “Tapi, kalau kami akan menaikkan harga jual, konsumen sudah diinformasikan terlebih dahulu soal adanya kenaikan harga bahan baku kedelai. Jadi, konsumen mengerti,” kata Sunan.       n

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×