kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis abon cabai mulai melandai


Sabtu, 03 Oktober 2015 / 10:30 WIB
Bisnis abon cabai mulai melandai


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Bagi sebagian orang, bersantap tanpa ada rasa pedas mungkin bisa diibaratkan makan sayur tanpa garam. Kalau masakan terlanjur dibuat tak pedas, ada saja cara orang untuk menambah rasa pedas. Salah satunya ialah dengan menaburkan pelengkap seperti abon cabai.

Umumnya, kita mengenal istilah abon sebagai makanan yang dibuat dari olahan daging atau ikan. Akan tetapi, sekitar lima tahun lalu, muncul inovasi abon dengan rasa pedas alias abon cabai. Ya, abon cabai ini memang benar-benar terbuat dari cabai tanpa tambahan daging atau ikan.

Penggemar makanan pedas tentu tak asing lagi dengan makanan ini. Pasalnya, selain produsen dengan skala usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), ada juga perusahaan besar yang memproduksi abon cabai. Dus, tak sulit menemukan abon cabai di toko kecil atau swalayan terdekat.

Saking populernya, memang beberapa tahun belakangan banyak yang menggeluti usaha pembuatan abon cabai. Apalagi, pembuatan abon cabai tak sulit.  Saat masih jaya-jayanya, pebisnis abon cabai pun menjamur. Bahkan tak sedikit pula yang menawarkan usaha ini dengan sistem keagenan atau reseller.

Belakangan pasar mulai jenuh. Tak heran bila banyak yang kemudian tumbang. Indikasi ini setidaknya terlihat dari dua produsen abon cabai yang dihubungi KONTAN. Mereka mengakui sejumlah agen penjual memilih memutuskan kerjasama karena mengalami penurunan omzet tajam.

Henny Widjaja, produsen abon Ninoy, mengatakan, sejak dua tahun terakhir, usaha pembuatan abon cabai merosot tajam. Perempuan 41 tahun ini pertama kali kali memproduksi abon cabai pada 2008 silam, ketika tengah mempelajari bumbu masakan ala Italia. “Bumbu masakan yang saya bikin itu mirip sambal tetapi dengan tekstur kering,” jelas dia.

Saat membuka tawaran keagenan untuk produknya, tanpa disangka banyak sekali yang tertarik memasarkan produknya. Henny pun sempat memiliki ratusan agen penjual.

Namun, sejak awal tahun ini, ia mulai mempertimbangkan untuk menghentikan usahanya tersebut. Setidaknya ada dua kendala utama yang menekan pelopor produk abon cabai ini. Pertama, persaingan yang terlalu ketat, ditambah dengan kompetitor pabrikan yang kuat dari sisi distribusi dan promosi, serta bisa menetapkan harga lebih murah. Sebagai pelaku usaha kecil, Henny mengaku kesulitan memasarkan produknya ke masyarakat secara masif. Ia juga enggan menurunkan kualitas agar harga bersaing dengan produk pabrikan.

Agen penjualan abon cabai Ninoy pun satu per satu mengundurkan diri dari pemasaran produk ini. Kalau dulu ada 200 agen, kini agen yang bertahan hanya sekitar empat orang. “Omzetnya turun terus, jadi wajar saja kalau mereka tak mau jualan lagi,” tutur Henny.

Padahal, dulu, perempuan kelahiran Jakarta, 21 Juli 1974 ini sanggup menjual hingga 600 kg abon cabai. Kini, angka itu menurun drastis seiring dengan jumlah agen yang terus berkurang. Saat ini Henny menjual abon cabai Rp 40.000 per botol dengan ukuran 100 gram.

Henny melanjutkan, untuk berpromosi pun sulit karena membutuhkan biaya yang besar. Selama ini, untuk mempromosikan produknya, Henny mengikuti berbagai pameran serta menggunakan jalur internet, terutama penjualan lewat e-commerce. “Tapi karena produk serupa sudah sangat banyak, sulit sekali memasarkan abon cabai ini,” kata dia.

Saat ini Henny masih memproduksi abon cabai, namun hanya dengan alasan menghabiskan stok kemasan. Henny juga tengah mencari distributor untuk memasarkan produknya. “Semoga tahun depan saya sudah fokus hanya produksi, jadi bisa menyerahkan urusan penjualan pada distributor tersebut,” ucapnya.

Henny tak sembarang mencari distributor. Ia berharap mendapatkan distributor yang memang memahami pasar.  Ia pun terbuka untuk kemungkinan mesti mengganti merek produknya. “Kalau harus ganti merek supaya lebih disukai pasar, saya tidak ada masalah,” ujarnya.

Alasan kedua, yakni pasar yang jenuh. Dus, ia tak begitu merekomendasikan pemain baru untuk terjun pada usaha pembuatan abon cabai. “Sebenarnya bisa saja ada pemain baru, tapi benar-benar pikirkan bagaimana menjual, atau yang penting sudah punya pasar dulu,” tambahnya. Dengan banyaknya produk serupa di pasaran, pemain baru harus terus berinovasi untuk memenuhi selera pasar.


Peluang terbatas
Produsen abon cabai lainnya yang pernah merasakan manisnya penjualan abon cabai ialah Rita Dewi yang berdomisili di Semarang, Jawa Tengah. Perempuan berusia 39 tahun ini mulai memproduksi abon cabai dengan merek Mooi sejak 2009.

Rita yang memang penyuka makanan pedas kerap kecewa karena sambal buatannya tak tahan lama meski sudah disimpan di kulkas. Dari hasil berselancar di internet, ia menemukan cara mengeringkan cabai sehingga ia mulai membuat abon cabai. Dulu, hanya ada tiga varian abon cabai Mooihot yang terbuat dari cabai lombok merah dan abon lombok ijo. Ketiga varian rasa abon Mooihot ialah original, teri, dan ebi. “Abon yang saya buat bisa tahan sampai sebulan,” ujar dia.

Dengan menggunakan kemasan botol, ia sempat mematok harga abon cabai Rp 29.000 untuk kemasan 100 gram abon cabai original dan teri. Sementara, rasa ebi dijual Rp. 32.000. Abon Mooihot dengan kemasan 250 gram, abon cabai original dan teri harganya Rp. 69.000, sedang rasa ebi Rp. 72.000.

Ketika abon cabai sedang tren sekitar tiga tahun lalu, Rita bisa mengantongi omzet di atas Rp 43,5 juta per  ulan. Omzet itu berasal dari penjualan 2.000 botol abon cabai Mooihot.

Sejak dua tahun lalu, Rita mengganti kemasan Mooihot dengan bahan aluminium foil. Walaupun lebih mahal, Rita memilih kemasan ini agar kualitas produknya bisa tahan lama. Bahan aluminium foil yang kedap cahaya membuat kualitas abon cabai tak berkurang meski disimpan cukup lama.

Sayang, sejak dua tahun lalu pula, ia mulai mengamati kejenuhan pasar terhadap produk abon cabai. Saat itu pemain di usaha ini sudah sangat banyak. Tak heran bila satu per satu produsen abon cabai bertumbangan. Namun Rita tetap bertahan. Ia masih melihat celah bisnis untuk produk abon cabai. “Banyak orang Indonesia yang suka membawa abon cabai untuk dikonsumsi di luar negeri,” katanya. Dus, sebagian besar konsumen Mooihot ialah warga Indonesia yang berdomisili
di luar negeri.

Masih punya nyali untuk terjun di bisnis ini? Ingat pesan Henny: pikirkan dulu!    

Menyiasati kompetisi lewat diversifikasi

Kompetisi yang ketat memang bisa bikin bisnis sekarat. Perlu terobosan-terobosan agar sebuah usaha bisa bertahan dan berkembang. Salah satunya lewat jurus diversifikasi produk.

Langkah tersebut dilakukan oleh Rita Dewi, produsen abon cabai Mooihot. Melihat permintaan abon cabai yang tak sebanyak dulu seiring dengan kompetisi yang kian ketat, ia pun mulai menciptakan produk baru yang masih berasa pedas, yaitu keripik kentang pedas. Ia menjuluki produk yang ia buat sejak 2013 ini, keripik kentang mercon. “Ini untuk mengimbangi penjualan abon cabai yang mulai turun,” ujar dia.

Strategi ini cukup berhasil karena terbukti keripik kentang mercon buatan Rita yang kini mendominasi penjualannya. Hingga sekarang, permintaan terhadap abon cabai kerap merosot. Omzet dari produk abon cabai turun drastis hingga
Rp 10 juta per bulan.

Namun, ia melihat, peluang untuk usaha abon cabai sebenarnya masih ada walaupun sangat terbatas. Oleh karena itu, ia menolak untuk menghentikan produksi abon cabainya. Ia fokus memasarkan produknya lewat internet dan melalui toko oleh-oleh di Semarang. “Permintaan masih ada, jadi saya masih ada untung walau tidak sebanyak dulu,” tuturnya.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×