kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,77   5,31   0.58%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Butuh waktu empat tahun untuk riset (2)


Senin, 02 Maret 2015 / 16:29 WIB
Butuh waktu empat tahun untuk riset (2)
ILUSTRASI. Erick Thohir akan menutup anak dan cucu BUMN yang dianggap tidak perlu. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.


Reporter: Izzatul Mazidah, Yuthi Fatimah | Editor: Rizki Caturini

Ketertarikan Tissa Aunilla menjalankan bisnis pembuatan cokelat lokal berawal ketika dia menempuh pendidikan di Belanda. Waktu dia menemukan banyak sekali produk cokelat dari Indonesia yang dijual di negara-negara Eropa seperti Swiss. Itu menunjukkan cokelat dari Indonesia diterima di negara lain, bahkan di Eropa. Dari situ tercetus ide untuk mengembangkan bisnis pembuatan cokelat di Indonesia dengan bahan baku asli dari dalam negeri.

Tissa membutuhkan waktu tiga tahun sampai empat tahun untuk melakukan riset dan perencanaan yang matang sebelum bisa membuka usaha produksi cokelat sendiri di dalam negeri. Awalnya dia harus melakukan rangkaian eksperimen menu-menu olahan cokelat. Lantaran belum memiliki tempat usaha, dia menggunakan ruang tamu rumahnya sebagai tempat pembuatan cokelat. Anggota keluarganya menjadi pencicip cokelat buatannya.

Selain itu, dia juga rajin melakukan survei kepada masyarakat untuk menemukan rasa cokelat yang cocok dengan lidah masyarakat Indonesia. Salah satu kendala utama yang dihadapi Tissa saat menjalankan proses riset ini adalah sebagian besar orang Indonesia suka rasa cokelat yang manis dengan campuran susu.

Sementara, karakter cokelat buatannya adalah cokelat batangan yang benar-benar asli berbahan baku cokelat tanpa campuran susu. Ini membuat rasa cokelat Pipiltin Cocoa Factory lebih khas karena tidak manis. Namun begitu, Tissa tetap terus innovasi membuat cokelat yang memiliki rasa lebih manis untuk menyesuaikan segmentasi masyarakat Indonesia. Berbeda dengan pasar luar negeri yang cenderung menyukai cokelat yang tanpa campuran susu. "Sehingga respon pasar luar negeri lebih bagus untuk produk kita," ujar Tissa.  

Kesulitan lainnya dalam menjalani usaha ini adalah memenuhi persediaan bahan baku cokelat yang sesua standar. Sebab, pada musim tertentu ada kalannya pasokan biji cokelat dari beberapa daerah kurang baik. "Saya sering bolak balik ke Aceh dan Bali untuk menukar bahan baku cokelat yang sesuai standar," kata dia.

Dengan mengusung misi memajukan biji kakao asli Indonesia, Pipiltin Cocoa menjalankan konsep open factory. Artinya, produksi cokelat di gerai Pipiltin yang menjual aneka dessert bertema cokelat di Jalan Barito II No. 5, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini bisa dilihat proses produksinya oleh konsumen. Tempat produksi hanya dibatasi dinding kaca bening. Di sanalah tempat kakao difermentasi dan diolah menjadi aneka makanan penutup yang digemari masyarakat.

Tissa mengatakan, tiap daerah memiliki ciri khas rasa cokelatnya masing-masing. Misalnya kakao asal Bali rasanya agak asam. Sementara kakao asal Aceh memiliki sedikit rasa kacang-kacangan. "Di situlah tantangannya membuat karakter biji cokelat yang berbeda-beda ini menjadi menu makanan atau cokelat batangan yang memuaskan selera lidah banyak orang," ujar mantan pengacara ini.          n

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×