kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dollar AS menguat, penjualan drone turun


Jumat, 28 Agustus 2015 / 15:29 WIB
Dollar AS menguat, penjualan drone turun


Reporter: Izzatul Mazidah | Editor: Tri Adi

Bukan hanya sektor usaha yang mengandalkan bahan baku impor terkena efek pelemahan rupiah. Bisnis impor barang jadi juga kena 'getahnya'. Salah satunya adalah bisnis kamera terbang atawa drone. Sejak nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, permintaan drone terus menyusut hingga sebesar 50%-70% dari masa sebelumnya.  

Hampir semua sektor bisnis UKM di Indonesia ketiban efek buruk pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Bukan hanya sektor usaha yang mengandalkan bahan baku impor terkena efek pelemahan rupiah. Bisnis impor barang jadi juga tersengat pelemahan rupiah.

Salah satunya adalah bisnis kamera drone. Sejak rupiah terus loyo hingga menembus kisaran Rp 14.100 per dollar AS, bisnis pesawat mini tanpa awak yang dikendalikan remote control ini ikut terpuruk.

Budhi Putra, salah satu penjual drone di Jakarta mengaku, sejak dollar AS perkasa, daya beli masyarakat terhadap drone mulai terpukul. Biasanya, kata dia, toko online-nya dengan bendera usaha Budh One Drone bisa menjual drone 24 unit per pekan. Kini, jumlahnya menyusut menjadi hanya 10 unit per pekan. Selama ini, Budhi biasa mengimpor drone dari AS dan Inggris.

Celakanya, karena merupakan barang elektronik impor, harga drone juga menyesuaikan pergerakan nilai tukar rupiah. Di saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar, Budhi harus mengimpor drone dengan harga lebih tinggi. Alhasil, harga jual drone di tokonya ikut naik.

Sebelum dollar AS menguat, Budhi biasa menjual drone Rp 800.000-Rp 1,5 juta per unit. Kini, Budhi membanderol drone rata-rata Rp 2 juta per unit. Merek drone itu ialah Zano, Syma, dan Parrot.

Tapi, itu baru drone untuk kalangan amatir. Untuk produk drone asli dari AS, harganya bisa lebih tinggi. Jika sebelumnya Budhi menjual drone untuk kalangan profesional Rp 19 juta, kini melonjak menjadi Rp 29 juta per unit. "Kenaikan ini terjadi karena pajak cukai atau bea masuk barang-barang impor juga naik. Jadi kita juga harus mengerek harga jual," kata Budhi.

Untuk menyiasati pelemahan rupiah, Budhi terpaksa harus mencari produk drone impor yang lebih terjangkau. Salah satunya, lebih banyak menyediakan stok drone impor dari China. Alasannya, transaksinya menggunakan mata uang yuan. Jadi, tidak membebani biaya impor.

Menurut Budhi, saat ini nilai tukar rupiah terhadap yuan masih berada di level Rp 2.300 per yuan. Selain itu, produk drone dari China harga jual terjangkau, yakni di bawah Rp 1 juta per unit.

Saat ini, lanjut dia, semua penjualan drone dilakukan di dunia maya, seperti jejaring sosial dan forum jual beli seperti Kaskus. Pelanggannya adalah kalangan menengah atas yang suka travelling.

Penjual drone yang juga terkena dampak pelemahan rupiah adalah Muhamad Mulis Mujianto dari Surabaya, Jawa Timur. Sebagian besar drone diimpor Mulis dari AS dan China. Mulis menjual drone di toko online bernama Golden Hand.

Mulis mengklaim, penjualan drone di tokonya turun 50%-70% sejak dollar AS terus menguat. Sebelumnnya, ia mengaku bisa menjual 10 unit per bulan. "Kini, banyak pelanggan pemula yang ingin membeli drone berpikir dua kali, karena kenaikan harganya tidak tanggung-tanggung,” beber Mulis.

Mulis mengaku, sebelum dollar AS melambung, rata-rata harga jual drone di tokonya Rp 4,5 juta-Rp 15 juta per unit. Yang paling laris adalah drone tipe Dji Phantom FC40 seharga Rp 4,5 juta hingga 6,5 juta per unit. Kini, harga drone tipe itu naik 25%. "Saya mau beralih ke jual drone produk lokal yang tak kena efek pelemahan rupiah," katanya.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×