kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eka menggurita di kaus humor


Selasa, 03 Maret 2015 / 13:52 WIB
Eka menggurita di kaus humor
ILUSTRASI. Apa itu Live Activities di iPhone? Ini penjelasannya.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Sebagai kebutuhan primer, permintaan kaus tak pernah surut. Memang, pemain di bisnis ini juga berlimpah. Tak heran, para produsen kaus mengandalkan berbagai jurus untuk menjual produknya. Eka Riani, pemilik kaus Gurita, memancing pembeli dengan memasang kalimat yang humoris. Jurus itu terbukti paten. Kini, kaus Gurita bisa terjual sebanyak 4.000 potong per bulan.

Gurita bagi Bandung tak ubahnya Joger untuk Bali, atau Dagadu di Yogyakarta. Konsep Gurita memang hampir sama dengan kedua merek tersebut, yaitu mengandalkan pesan humoris yang tercetak di kaus. Orang yang membaca pesan dipastikan akan tersenyum. Misalnya saja: “Sumpah, aku pernah kurus”, atau “Aku lagi pura-pura gendut” yang menyasar mereka yang berbobot berat.

Eka menyebut produknya sebagai kaus yang bisa ngomong. Namun kaus ini bukannya membicarakan atau menyindir orang lain, melainkan si pemakai sendiri dengan pilihan kata-katanya. Eka bercerita ide membuat usaha kaus Gurita muncul pada 2006.

Sebelumnya, sang suami, Adrian Ariatin, sangat senang berjualan di berbagai pameran. Produk yang dijajakan Adrian berganti-ganti. Begitu pula dengan rekan bisnisnya selalu berbeda. Menjelang pendaftaran Pasar Seni Institut Teknologi Bandung pada 2006, Eka mengusulkan agar mereka membuat bisnis yang bisa terus eksis alias tidak hanya hadir sekejap pada suatu pameran. “Saat itu kami sama-sama mencari konsep dan merek hingga akhirnya lahirnya ide untuk membuat usaha kaus Gurita,” ujar dia.

Eka dan Adrian menyiapkan konsep bisnis Gurita hampir dua bulan. Mereka memproduksi sembilan lusin kaus, tas sulam dari bahan jins, dan pernak-pernik seperti notes, gantungan kunci, tempat tisu. Pasangan suami istri ini menggunakan tabungan sendiri kira-kira Rp 4 juta sebagai modal awal untuk membiayai produksi kaus, membeli bahan untuk tas kain, pernak-pernik, serta membayar sewa tenda gerai pasar seni sebesar Rp 1 juta. Di acara yang berlangsung sehari itu, Eka dan Adrian mengantongi omzet Rp 7 juta, hasil penjualan sekitar 100 kaus, tas, dan pernak-pernik lain.

Memang, kaus Gurita bukan usaha pertama yang digeluti Eka maupun Adrian. Eka pernah berjualan susu kambing beku dengan memanfaatkan kulkas di rumahnya. Usaha memasok telur ayam, hingga menjajal berdagang bakso dan minuman jus pernah dicoba Eka. “Tapi usaha yang dulu itu belum berkembang dan masih coba-coba,” tuturnya.

Kendati rajin menjajal peluang, Eka mengaku tak pernah terpikir menjadi wirausaha saat menamatkan pendidikannya di jurusan Biologi ITB. Setelah menyandang gelar sarjana, ia malah sempat bekerja di beberapa tempat. “Di situ saya menimba ilmu, terutama ilmu manajemen dan administrasi. Itu merupakan bekal saya mencari solusi ketika menghadapi kendala di usaha saya,” cetus Eka.

Pada tahun 2005, Eka dan suaminya membuka usaha percetakan dengan modal dari pesangon pekerjaan sebelumnya dan sedikit pinjaman bank. Sampai kini usaha bernama Bigstamp itu masih berjalan, namun dikelola Adrian.

Setelah mengikuti Pasar Seni, Eka bertekad terus menggulirkan usahanya. Dus, ia membuka outlet pertama kaus Gurita berupa booth di Bandung Supermal. Lantaran mal tersebut sepi pengunjung, usaha Eka tutup saat berumur tiga bulan.

Gagal di satu tempat, Eka mengincar lokasi lain. Kali ini, pilihannya adalah Cihampelas Walk. Namun, Eka harus mengantre untuk bisa masuk mal itu hingga setahun. Baru pada pada Oktober 2007, Eka bisa menjajakan Gurita di sana.

Untuk kegiatan produksi, terutama penyablonan dan penjahitan, Eka menggandeng pihak ketiga. Para penjahit dan pembordir dipekerjakan dengan sistem borongan. “Saya ingin fokus di masalah penjualan dan desain,” ungkap dia.

Eka memiliki 20 orang karyawan tetap untuk membantu usahanya. Selain di Cihampelas Walk, kaus Gurita dipasarkan di lima lokasi lain, yaitu Hotel de Batara, Kartika Sari Dago, Trans Studio Mall Bandung, Piset Mall, dan Kampung Gajah.

Omzet penjualan kaus Gurita sekarang berkisar Rp 150 juta hingga Rp 300 juta per bulan. Di bulan yang banyak tanggal merahnya, omzet Gurita biasanya lebih tinggi. Adapun laba bersih bisa mencapai 30% dari omzet bulanan.

Untuk menarik perhatian pembeli, Eka menempelkan berbagai pesan lucu dengan huruf berwarna-warni di outletnya. Orang pun tertarik untuk membacanya. Memang, mereka yang tergoda untuk membaca pesan lucu itu tidak selalu membeli. Namun banyak dari mereka yang tertarik untuk membaca pesan-pesan humoris itu, lantas memotret outlet kaus Gurita dan mengunggahnya ke  situs media sosial. Nama Gurita pun ikut meroket.

Eka mendapat ide pesan lucu dari obrolan, tulisan, ataupun usulan pelanggan. Ide itu diolah dulu, hingga tampil menggoda saraf ketawa saat ditampilkan di sehelai kaus. Eka tak menargetkan jumlah desain kaus baru tiap periode.


Nyaris bangkrut

Eka belajar banyak dari berbagai pengalamannya berbisnis. Pada 2010, roda bisnis Eka sempat seret. Bahkan, ia hampir bangkrut karena kesulitan melunasi utang ke pemasok kaus. Pada saat yang sama, omzet sedang tipis-tipisnya.

Saat itu pula, Eka dan suaminya memutuskan untuk berpisah, dan masing-masing membesarkan usaha yang mereka pilih. Eka membesarkan kaus Gurita, sedangkan Eka kebagian sampur di Bigstamp.

Agenda pertama Eka sebagai pengendali tunggal Gurita adalah menutup outlet yang jumlahnya waktu itu sebanyak lima gerai. Ia hanya menyisakan satu outlet di Cihampelas. Dengan fokus di satu gerai, Eka membenahi administrasi dan stok barang sekaligus mencari input dari pembeli.

Dari situ, Gurita bisa bangkit. Setelah mulai stabil, Eka memberanikan diri untuk membuka gerai baru di Bandung. Sebagai ibu rumahtangga, Eka tak mau mengambil risiko membuka geraidi luar Bandung.

Saat ini, produk Gurita saat ini yang paling banyak dicari orang adalah kaus kata-kata. Eka bilang, setiap datang ke toko, pelanggan selalu meminta kaus dengan kata-kata yang baru. Banderol harga kaus semacam itu Rp 65.000–Rp 90.000 per potong. Produk lainnya adalah kaus bergambar, tas jins, topi, dan pin.

Setelah delapan tahun menggeluti bisnis kaus, Eka menyebut agenda tersulit adalah menjaga perputaran barang tetap lancar. Ada kaus yang jumlah produksinya tinggi, tapi tidak laku di toko. Buntutnya, utang ke pemasok menumpuk.                                    


Berpisah biar lebih nyaman

Banyak pasangan suami istri yang berhasil mencetak sukses bisnis bersama-sama. Tapi, ada juga pasangan yang justru menikmati pahitnya berbisnis bersama. Ambil contoh Amancio Ortega dan Rosalia Mera yang justru setelah bercerai merek mereka, Zara, mendunia.

Untuk menghindari dampak negatif berbisnis bersama bagi rumahtangganya, Eka Riani pun memilih mengelola kaus Gurita sendiri, tanpa sang suami, Adrian Ariatin. “Setelah didiskusikan, kami merasa tidak nyaman jika dalam satu kapal ada dua nakhoda. Jadi kami putuskan untuk memisahkan antara bisnis istri dengan suami,” ujar dia.

Eka mendapatkan usaha Kaos Gurita dan Stempel Express. Adapun  suami dipercaya menangani bisnis Bigstamp dan musik entertainment. Walau awalnya merintis usaha bersama-sama, masing-masing memilih lini usaha yang akan dikembangkan. “Jadi, kami tidak berdebat soal usaha jika di rumah,” kisahnya.

Eka menuturkan, ia sempat merasa nyaman berbisnis bersama suaminya. Alasan dia, waktu untuk berdiskusi lebih lama dan lebih fleksibel. Ia juga menilai sang suami sebagai orang yang bisa diandalkan dalam bisnis kaus, terutama untuk urusan desain. “Desainer lain belum tentu paham apa yang saya inginkan,” ungkap dia.

Namun, situasi ideal itu tak berjalan selamanya. Eka menuturkan, ia cenderung mengikuti perkataan sang suami. Dalam kehidupan rumahtangga, tentu sikap itu ideal. Namun, tidak halnya dalam berbisnis.

Jika menilai keputusan bisnis sang suami kurang tepat, Eka pun enggan berbicara terus terang. Daripada situasi tidak menyenangkan itu terus berlangsung, Eka lantas memutuskan pisah bisnis. “Saya lebih nyaman berbisnis dengan gaya sendiri mulai 2010. Salah atau benar, saya pertanggungjawabkan sendiri,” tutur dia.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×