kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Empuknya laba pembuatan beanbag


Sabtu, 23 Juni 2018 / 07:00 WIB
Empuknya laba pembuatan beanbag


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Banyak kantor di tanah air yang belakangan tampil dengan interior dan furnitur yang lebih santai. Tidak lagi terlihat kaku dengan gaya formal atau konvensional.

Interior kantor memang pelan-pelan mulai bergeser, dari ruangan besar yang disekat kecil-kecil atawa cubicle menjadi terbuka. Perabotnya pun menyesuaikan. Salah satunya adalah: beanbag.

Beanbag adalah sejenis sofa tanpa rangka yang bisa diduduki secara fleksibel, mengikuti lekuk tubuh penggunanya. Bentuknya mirip kantong besar berisi butiran styrofoam.

Sebelum tren jadi perabot kantor, beanbag lebih dulu menghiasi banyak kafe, restoran, hotel, dan resor. Tentu saja, beanbag sudah jadi “penghuni” rumah yang populer sejak beberapa tahun belakangan dan masih tren sampai sekarang.

Pasar beanbag semakin luas lantaran banyak acara juga menggunakan sofa berbentuk tak jamak tersebut. Ambil contoh, pernikahan, pesta ulang tahun, pesta kebun, gathering, bahkan rapat (meeting).

Ini yang membuat produsen beanbag terus bermunculan. Sebut saja, Dina Ratna Juwita. Pemilik Woleshop di Bandung ini baru Februari lalu berbisnis sofa kantong tersebut. “Saya lihat usaha dekorasi rumah lagi booming. Lalu, kepikiran untuk bikin kursi portabel yang mudah dibawa ke mana-mana, ringan, dan simpel,” ungkap perempuan 26 tahun ini.

Meski baru jalan tiga bulan setengah, Dina yang awalnya jualan produk-produk outdoor sejak 2012, seperti celana gunung dan ayunan tidur gantung (hammock), sudah menikmati empuknya bisnis beanbag.

Di bulan pertama, Dina memang baru menjual sekitar 20 beanbag. Tapi pada bulan kedua, penjualannya meningkat dua kali lipat lebih, jadi 50 buah. Dan, terus menanjak di bulan ketiga menjadi 80 buah. “Bulan keempat, baru pertengahan sudah bikin 70 buah. Kami ada order untuk kafe juga, tapi memang paling banyak perorangan untuk rumah,” kata dia.

Harga beanbag buatan Dina mulai Rp 295.000 per buah untuk ukuran medium hingga Rp 500.000 unit ukuran jumbo. Modelnya baru satu, yakni triangle atau segitiga. “Pembeli bisa pesan untuk motif sarung atau bahannya saja,” ujarnya.

Margin bisa 40%

Produsen beanbag yang sudah lebih dulu merasakan empuknya bisnis ini adalah Felicianna Koshan dan Melina Koshan. Pemilik Beam and Co di Bandung ini sudah terjun ke usaha itu semenjak 2016.

Konsumen beanbag bikinan Felicianna dan Melina bukan cuma individu, tapi juga hotel, sekolah, kafe, taman bermain (playground), dan perpustakaan. “Permintaan terus meningkat,” kata Felicianna tanpa mau menyebut angka penjualan, baik volume maupun nilainya.

Harga jual produknya mulai Rp 600.000–Rp 900.00-an. Beam and Co yang awal berdiri bernama Sleepy Beans menawarkan enam bentuk beanbag: teardrop, pizza, kisses, drum, tempe, dan tofu. Yang paling laku atawa best seller adalah beanbag berbentuk teardrop.

Ke depan, menurut Felicianna, bisnis beanbag akan terus maju. Selain kenyamanan, harga produk ini terjangkau dan ekonomis.

“Apalagi, banyak proyek yang memilih untuk memakai beanbag ketimbang sofa yang berkesan lebih serius. Beanbag memberikan kesan yang fun, nyaman, tapi fungsional,” beber Felicianna yang mengawali bisnis ini bersama Melina dari hobi lantaran sama-sama suka desain interior.

Dina juga menolak menyebut omzetnya. Yang jelas, margin usaha ini bisa 30%–40%. Sangat menggiurkan bukan? Tertarik?

Untuk memulai usaha ini, pemilihan bahan baku untuk sarung beanbag jadi faktor penentu. Baik Felicianna maupun Dian kompak memakai kain buatan lokal yang berkualitas. “Lokal dan impor sama-sama bagus, tetapi lebih murah lokal,” sebut Felicianna.  

Untuk sarung beanbag, Felicianna menggunakan kain jacquard, kanvas, dan artificial leather. “Kebetulan kami ada rekanan produsen kain, makanya produk kami bisa custom sesuai keinginan customer dan pilihan kain kami juga sangat bervariasi,” imbuh dia.

Sementara Dian menggunakan kain kanvas, parasut, dan suede. Tapi, kalau konsumen meminta kain jenis lain, ia siap memenuhi order itu.

Dia menggunakan kain parasut jenis taslan untuk beanbag luar ruangan (outdoor). Sebab, bahan ini gampang dibersihkan kalau kotor, cukup dilap.

Untuk beanbag dalam ruangan (indoor), Dian menggunakan kain kanvas karena lebih kuat dan lentur. “Biasanya beanbag indoor sering dipakai, kalau yang outdoor enggak sesering yang indoor,” ujarnya.

Sedang kain suede yang permukaannya sama dengan beludru juga untuk sarung beanbag indoor. Kelebihannya, bahan suede lebih lembut dan adem. Kekurangannya, suede lebih gampang kotor.

Ketiga bahan kain tersebut, Dian menjelaskan, untuk sarung bagian luar. Adapun sarung bagian dalam, ia memakai kain parasut taslan. “Semua bahan saya beli di Bandung, enggak susah, kok, mencarinya. Sekarang yang jual secara online juga banyak,” ucap dia.

Harga kain parasut dan kanvas, Dian membeberkan, berkitar Rp 30.000-an per meter, sedangkan suede di atas Rp 100.000-an semeter. “Untuk membuat satu beanbag ukuran medium, butuh kain sekitar tiga empat meter,” katanya.

Inovasi jadi kunci

Buat isi beanbag, Dian dan Felicianna menggunakan butiran styrofoam. Sebab, lebih enak dan lentur mengikuti badan pengguna. Harganya, Dian menyebutkan, mulai Rp 50.000 hingga Rp 80.000 per kg.

Untuk membuat beanbag, ujar Dian, bisa menggunakan mesin jahit biasa. Sementara Felicianna memakai mesin jahit bahan tebal. Harganya tergantung merek, mulai Rp 5,5 juta per unit.

Untuk itu, butuh karyawan yang punya keahlian menjahit. “Karyawan saya sekarang cuma tiga orang. Satu bagian menjahit, satu menggunting pola, satu lagi membantu mengepak barang,” jelas Dian.

Hanya, Dian tidak menyediakan beanbag yang siap jual (ready stock), melainkan berdasarkan order yang masuk. “Jadi, begitu ada pesanan baru kami buat. Prosesnya tiga sampai lima hari,” tambah dia.

Jalur utama penjualan Dian dan Felicianna adalah dengan “membuka toko” di Instagram.  “Instagram, kan, memang sudah lifestyle orang Indonesia saat ini, selain jualan melalui marketplace,” kata Felicianna.

Guna mendongkrak penjualan via Instagram, Dian memakai jasa selebgram, yakni ibu-ibu yang gemar mendekorasi rumah. Terlebih, sekarang lagi musim shabby chic, gaya dekorasi rumah yang elegan, kasual, nyaman, lagi menarik

Dian memilih ibu-ibu yang punya pengikut atau follower banyak. Dan, isi unggahan atawa posting di akun Instagramnya tentang dekorasi rumah. “Saya kasih produk kami untuk mereka tampilkan di akun IG-nya, jadi saya tidak perlu bayar.mereka,” ungkap Dian.

Walau pesanan banyak datang dari kanal online, Dian juga Felicianna tetap memanfaatkan saluran offline. Dian menggelar lapak di Pasar Kaget Gasibu, Bandung, saban akhir pekan. Ia membidik wisatawan dalam negeri yang liburan ke Bandung saat weekend.

Kanal offline Felicianna adalah bazar. Tapi, tetap selektif dalam memilih. Dia hanya mengikuti bazar yang memang cocok dengan produknya.

Nah, agar bisa sukses di bisnis ini, Felicianna menambahkan, inovasi jadi salah satu kunci. “Berkreasi dan tahu apa yang konsumen mau,” sebutnya yang baru bulan lalu merilis beanbag tempe dan tofu.

Selain itu, harus terlibat dalam beberapa komunitas, seperti komunitas furnitur, desainer interior, juga produk-produk Indonesia. “Bekerjasama dengan produsen lain yang sebidang untuk menciptakan produk baru. Contohnya, dulu kami pernah bekerjasama dengan Artitude untuk membuat limited edition,” imbuhnya.  

Mau merasakan juga empuknya laba dari beanbag?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×