kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini penyebab UKM sulit naik kelas


Senin, 28 November 2016 / 15:08 WIB
Ini penyebab UKM sulit naik kelas


Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Sebagai salah satu sektor yang menopang pertumbuhan ekonomi, Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki potensi yang besar bagi Indonesia. Namun, di saat yang sama potensi UKM untuk tumbuh dan membesarkan usahanya terbilang masih sulit.

Dr. Nining I Soesilo, MA pendiri UKM Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengatakan, ada banyak faktor yang membuat UKM tak berkembang atau mengembangkan usahanya. "Ada juga sebagian dari mereka yang secara sengaja tidak mau membesarkan usahanya karena takut pajak," ujar Nining (28/11).

Terlepas dari itu, Nining mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan sektor UKM tidak berkembang. Pertama, tidak ada visi dan misi yang jelas. Dalam lima tahun, ke mana para pelaku usaha ini akan membawa usahanya. Kedua, tidak ada pencatatan yang baik terutama soal cash flow. "Mayoritas dana usaha dan uang rumah tangga tercampur sehingga walau penjualan bagus banyak yang tidak tahu ke mana uang mereka pergi," kata Nining.

Ketiga, sulitnya akses permodalan. UKM tidak memiliki fasilitas akses permodalan dan dianggap tidak bankable bagi perusahaan pembiayaan.

Alhasil, kebanyakan para pelaku UKM tidak naik kelas. Mayoritas mereka tidak memproduksi produk yang mereka jual alias menjadi reseller atawa pedagang. Padahal, UKM yang naik kelas adalah pelaku UKM yang mulai berbisnis dari jualan produk orang lain, lalu mulai memproduksi produknya sendiri.

Selain itu, Nining juga menambahkan adopsi para produsen UKM terhadap teknologi dan internet masih terbilang rendah. Terakhir, UKM di Indonesia kurang inkubasi dan pendampingan. Sektor UKM di Indonesia sejatinya masih banyak yang di bawah UKM alias ultra mikro. "Usaha ultra mikro ini jumlahnya lebih banyak dari UKM dan mereka tidak terindentifikasi, sulit untuk berkembang karena minim pendampingan," ujar Nining.

Para pengusaha ultra mikro ini tidak terindentifikasi dan tidak mendapat fasilitas inkubator sehingga sulit bagi mereka mengembangkan usahanya lebih lanjut. Di satu sisi, mereka masih kena pajak walau hanya 0,25%. Padahal, di negara lain, sektor ini masih dikatakan tahap belajar berbisnis sehingga tak dikenakan beban pajak sama sekali.

Nining bilang, pemerintah diharapkan mampu masuk dan berperan lebih dalam mengembangkan UKM di Indonesia. Seperti melakukan pembimbingan lebih intensif kepada para pelaku UKM tanah air. "Karena dengan memperbanyak pelaku usaha mikro adalah satu-satunya cara agar memperkecil jurang antara si miskin dan si kaya serta memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen khususnya di sektor konsumsi," tandas Nining.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×