kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Innico adalah sukses roti konsep bintang lima


Selasa, 14 Oktober 2014 / 14:39 WIB
Innico adalah sukses roti konsep bintang lima
ILUSTRASI. 5 Tips Makeup untuk Kulit Kombinasi Agar Maksimal dan Tidak Jerawatan.


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Banyak orang sukses menjalani bisnis yang juga menjadi hobi. Apalagi jika didukung dengan pendidikan dan pengalaman selama bertahun-tahun pada bidang yang sama, seperti yang dimiliki oleh pasangan Innico Sjahandi dan Ratna Kusumo. Bisnis roti yang dirintis sejak 12 tahun silam itu mengantar suami istri ini masuk ke dalam daftar pengusaha bakery ternama di Surabaya, Jawa Timur.

Igo, panggilan akrab Innico, dan Ratna dipertemukan oleh kegemaran yang sama, yakni memasak. Berangkat dari hobi tersebut, mereka bersekolah di Akademi Pariwisata NHI Bandung. “Selain itu kami ingin cepat menghasilkan,” ujar Igo yang lulus dari NHI pada 1989.

Selesai kuliah, mereka pun sama-sama merintis karier sebagai chef di sejumlah hotel dan restoran di luar negeri. Hampir tujuh tahun, Igo dan Ratna menghabiskan waktunya di Eropa, untuk bekerja dan meneruskan pendidikan diploma perhotelan di Swiss. Baru pada 1996 mereka kembali ke Indonesia dan bekerja di Bali.

Booming hotel bintang lima di Surabaya tahun 1997 membawa pasangan ini pindah ke Kota Pahlawan ini. Igo mendapat pekerjaan sebagai manajer restoran di Hotel Mandarin Oriental, Surabaya. “Saya ingin lebih mengenal customer karena di Bali saya lebih banyak bertemu dengan tamu turis asing,” jelas Igo.

Setelah lima tahun menetap di Surabaya, Igo merasa cukup mengenal kota Surabaya dan para konsumennya. Dari situ, mereka melihat peluang berbisnis bakery. “Kami bawa konsep bakery kualitas hotel bintang lima, tapi dengan harga tak seperti di hotel,” tutur Igo.

Dengan bekal tabungan selama bekerja dan berbagai pengalamannya bekerja di hotel, Igo membuka gerai di ruang tamu rumahnya, Jalan Biliton, Surabaya, pada 2002. “Gerai Igor’s pertama kami kecil, ukurannya 7 m x 7 m,” kata Igo. Selain Igo dan Ratna, ada 10 orang karyawan membantunya di dapur.


Kualitas bintang lima

Seperti konsep awal yang telah ditetapkan, yaitu bakery yang setara dengan hotel berbintang, Igo sangat mengutamakan kualitas produk. Selain bahan-bahan baku pilihan, dia tak menambahkan pengawet, trans fat, dan penyedap dalam produknya. “Produk kami juga selalu fresh setiap hari,” kata ayah dua putri ini.

Tak heran, harga roti yang kala itu berkisar Rp 4.000-an per bungkus dianggap mahal oleh konsumennya. “Awalnya, kami sempat mendapat klaim soal harga yang mahal. Tapi, mereka puas karena ternyata besoknya kembali lagi berbelanja,” kenang Igo.

Igor’s Pastry juga menjadi pelopor toko roti dan kue yang menyediakan produk untuk orang-orang berkebutuhan khusus. Misalnya, produk bagi konsumen yang ingin mengurangi konsumsi gula, telur, dan gluten. “Jadi, ada produk sugar free, egg free, gluten free, dan lainnya,” ujar pria kelahiran Bandung 17 Agustus 1968 ini.

Lantaran cukup berpengalaman dalam pengelolaan restoran maupun produk bakery di hotel, Igo dan Ratna tak menemui kesulitan dalam pengembangan usaha mereka. Kreasi dan inovasi menjadi kunci utama supaya pelanggan tak mudah bosan. “Itu juga yang selalu kami lakukan saat bekerja di hotel,” kata Igo.

Hingga pada tahun 2005, Igor’s Pastry membuka cabang kedua di Surabaya. Tak hanya melayani pelanggan ritel yang datang ke gerainya, Igo juga memasok produknya ke sejumlah hotel, kapal pesiar, beberapa perusahaan modal asing, korporasi, dan sejumlah konsulat di Surabaya.

Maklum, dengan pengalamannya bekerja di hotel, Igo paham benar seluk-beluk dalam dunia bakery. Tak hanya mengandalkan kreasi-kreasi baru, Igo juga melengkapi usahanya dengan sejumlah sertifikasi. Sebut saja, sertifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau sertifikasi sistem keamanan pangan. “Ini semacam SIM bagi operator food and beverage karena harus mengetahui persyaratan penanganan makanan, dari pendataan, penyimpanan, pengolahan bahan makanan dan lain-lain,” jelas Igo. Selain itu, ada pula sertifikasi Tuv Nord dari Jerman.

Sertifikasi ini juga merupakan cara Igo untuk mengontrol usaha bakery-nya. “Dengan bertambahnya cabang-cabang baru, tidak mungkin saya bisa meng-handle sendiri seluruh kegiatan,” cetus dia.

Yang jelas, kedua sertifikat ini mempermudah Igo’r Pastry memasok produknya ke hotel-hotel berbintang dan kapal pesiar. Kini, Igo menjual rotinya berkisar Rp 15.000 per bungkus.

Dua tahun kemudian, pada 2007, Igo membuka cabangnya ketiga di Surabaya. Lalu, pada 2010, mereka mulai merambah pasar Bali. “Untuk memperbesar pasar, kami harus membuka cabang di luar kota karena seluruh Surabaya sudah terkaver,” jelas Igo.

Pemilihan cabang di Bali karena lokasi yang lebih dekat dibandingkan dengan Jakarta, sehingga pengiriman logistik lebih mudah. Selain itu, karena pernah tinggal di Bali, dia lebih mengenal pasar bakery di Bali. Semula, cabang Bali hanya melayani penjualan ritel, namun, kini, Igor juga banyak memasok produknya untuk mengisi kafe, restoran dan hotel di Bali. “Hotel biasanya tak membuat sendiri pastry karena merepotkan,” terang pria yang kini memperkerjakan 300 orang ini.

Baru pada 2014, Igo memberanikan diri merambah pasar bakery Ibukota. Bulan lalu, Igor’s Pastry meresmikan gerai pertama di Jakarta. Tak seperti di gerai-gerai sebelumnya, Igo melengkapi cabang terbarunya ini dengan kafe. Langkah ini dia lakukan berdasar survei maupun saran dari teman-temannya.  

Kini, dapur Igor’s Pastri menyuplai ribuan potong roti ke sejumlah gerai setiap hari. Ke depan, tak ada rencana muluk dalam pikiran Igo. Dia hanya ingin menambah gerai baru di Jakarta, supaya lebih dekat dengan konsumen.    

Konsisten pada kualitas

Innico Sjahandi termasuk pekerja keras. Semasa muda, dia rela menghabiskan waktunya di dapur. “Bos saya sampai bingung, kenapa enggak pulang-pulang. Yang lain bekerja delapan jam, saya bisa 15 jam,” kenangnya. Tak heran, dalam enam setengah tahun, pria berusia 46 tahun ini naik jabatan lima kali.

Begitu pula saat ini, Igo, panggilan akrabnya, juga banyak menghabiskan waktu untuk pengembangan usaha. Namun,  kini dia melihat ada perbedaan antara bekerja sebagai karyawan dan sebagai pemilik usaha. “Lebih pusing punya bakery sendiri,” kata dia.

Pasalnya, bila jadi pekerja, Igo bisa benar-benar berhenti berpikir ketika off. “Sementara, punya usaha sendiri, harus terus berpikir. Kerja tujuh hari, mikirnya bisa delapan hari,” cetus dia.

Dalam pengelolaan Igor’s Pastry, Igo pun berbagi peran dengan istrinya, Ratna Kusumo. Igo lebih banyak berperan dalam bisnis dan pengembangannya, sang istri fokus mengurusi produksi, karena lebih ahli di pastry dan bakery. “Enggak bisa, satu dapur dua nakhoda. Berantem terus,” tutur ayah dari Chenyl ( 9 tahun) dan Kathleen (11 tahun) ini.

Meski dalam perjalanan bisnisnya, pasangan suami istri ini tak pernah mengalami kendala berarti, mereka menyesalkan aksi bajak-membajak karyawan yang ia alami dalam beberapa waktu terakhir. “Bagi kami, pembajakan kurang etis. Ini sedihnya,” kata Igo.  

Meski punya mimpi besar menjadi gerai pastry dan bakery terbaik di Indonesia,  baik dalam kualitas dan kuantitas, Igo tak ingin memperbanyak jumlah gerai secara berlebihan. Sebab, menurut Igo, dengan jumlah gerai berlebihan, akan sulit mempertahankan kualitas. “Kami tidak ingin memiliki gerai dalam jumlah banyak, karena kami lebih mengutamakan kualitas,” kata Igo yang melansir sekitar 500 varian per gerai.                 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×