Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - "Do what you like and like what you do," (lakukan apa yang kamu suka, dan sukai apa yang kamu lakukan) merupakan kalimat sederhana yang memiliki makna mendalam bagi Riko Abdurrahman dalam menggapai kesuksesan karier.
Bagi Riko, kalimat itu menjadi penyemangat untuk bisa terus berkarya dan berprestasi dimanapun dan dalam pekerjaan apapun. Sebab, sebelum menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia pada Februari 2018, Riko lebih dikenal sebagai seorang ahli konstruksi.
Saat berbincang dengan KONTAN beberapa waktu lalu, Riko mengaku tak menyangka akan memimpin perusahaan multinasional sekaliber Visa. Apalagi, saat kecil dia sudah diarahkan oleh orang tuanya menjadi seorang insinyur sipil dan ahli konstruksi. "Nanti kamu akan membangun bangunan seperti itu. Kelak kamu akan menjadi engineer," ujar Riko menirukan kalimat yang sering diucapkan sang ayah saat ia masih anak-anak.
Riko bercerita, ayahnya tidak pernah putus menyemangati anaknya untuk menjadi seperti yang dia inginkan. Bahkan, setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), Riko langsung dikirim meninggalkan Indonesia untuk kuliah di Boston, Amerika Serikat (AS) yakni Worcester Polytechnic Institute pada tahun 1983. Di bangku kuliah, Riko mengambil jurusan teknik sipil.
Namun, tak seperti kampus lainnya di negeri Paman Sam, tempat Riko kuliah, memiliki aturan yang tidak memperbolehkan siswa asing untuk bekerja di luar lingkungan sekolah. Alhasil, Riko pun gagal mengecap pengalaman bekerja di sana untuk mengisi masa libur kuliah.
Tak mau berkecil hati, Riko memanfaatkan liburannya untuk menyelesaikan seluruh mata kuliahnya saat musim panas. Begitu masuk tingkat tiga, dia ikut dalam program magang kerja yang diadakan kampusnya.
Menjalin kerjasama dengan salah satu universitas di Jerman, Riko mendapatkan kesempatan magang di sebuah perusahaan di Jerman bagian selatan selama enam bulan sebagai asisstant project manager. Di sana, laki-laki berkacamata ini bertugas melakukan supervisi dengan subkontraktor dalam proyek pembangunan sebuah kluster perumahan.
Dengan ketekunannya, Riko berhasil menyelesaikan pendidikannya. Dia hanya membutuhkan waktu empat tahun dan lulus tahun 1987.
Tidak terburu-buru mencari pekerjaan, dia memilih meneruskan jenjang pendidikan pascasarjana di Colombia University, New York, AS tahun 1987. Di jenjang tersebut, dia memilih konsentrasi pada bidang Structural Engineering.
Berbeda dari sebelumnya, sambil kuliah Riko bekerja di tempat penyimpanan jaket di kampusnya selama empat jam setiap hari. Setelah jam makan siang, dia kembali ke kelas untuk belajar. Riko mendapatkan gelar masternya hanya dalam waktu satu tahun karena masih terkait dengan bidang teknik sipil yang dipelajari sebelumnya.
Setelah lulus kuliah tahun 1988, Riko tak langsung kembali ke Tanah Air. Dia memutuskan untuk kembali ke Boston dan mencari pengalaman kerja. Dia berhasil diterima bekerja di H. W Lochner, sebuah perusahaan konsultan konstruksi di AS sebagai structure engineer. Proyek yang dipegang Riko pertama kali ketika itu adalah pembangunan jembatan.
Dua tahun bekerja disana, Riko mulai rindu kampung halamannya Jakarta. Makanya pada tahun 1990, dia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan mencari pekerjaan di Indonesia.
Penjelahan di timur dan barat Indonesia
Dengan gelar pendidikan yang dimilikinya serta pengalaman kerja yang pernah dijalaninya, Riko tak sulit menemukan pekerjaan baru. Tak lama setelah mendarat di tanah air, Riko langsung diterima bekerja sebagai fasilitator engineer di Mobil Oil, sebuah perusahaan minyak dan gas pada tahun 1990.
Bukannya bekerja di dalam gedung bertingkat di ibukota, Riko ditempatkan bekerja di Kaimana, Papua. Dia mendapat tugas untuk menyelesaikan proyek pertama, yaitu membuat landasan pesawat sekaligus bunker sebagai tempat penyimpanan dinamit milik perusahaan.
Dengan usia yang masih muda dan berjiwa petualang, Riko tidak mendapatkan masalah berarti untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dia juga tidak keberatan di tempatkan di wilayah timur Indonesia. Dia bercerita, saat sampai tiba lokasi, cukup takjub karena di titik pembangunan sudah terdapat landasan pacu (runway) pesawat yang dibangun Jepang dalam periode perang dunia II.
Oleh karena itu dia hanya perlu memanjangkan runway. Sedangkan untuk bunker dinamit rupanya titik yang telah ditentukan sebelumnya sudah diisi oleh bunker dinamit milik Jepang. "Ternyata ilmu perhitungannya sama dari sejak jaman perang dunia II sampai sekarang, ini yang bikin saya takjub," katanya.
Selesai dengan proyek pertamanya, Riko dipindahkan ke Lhoksukon, Aceh Utara. Di sana dia mendapatkan jatah libur untuk kembali ke Jakarta setiap akhir pekan. Namun seiring berjalannya waktu, hal itu membuatnya semakin berat, Sebab dia harus meninggalkan istrinya di Jakarta seorang diri.
Tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarga dan merasa tidak lagi nyaman dengan pekerjaannya sebagai insinyur, bapak empat anak ini memutuskan untuk keluar pada tahun 1992.
Jatuh cinta di marketing
Mundur dari pekerjaan, Riko mulai berpikir kembali soal pilihan profesinya sebagai insinyur. Meski secara keilmuan dan pengalaman matang dan penghasilan lumayan, tapi Riko merasa pekerjaan yang sudah berjalan empat tahun ini bukanlah impiannya. Alhasil, dia pun berpikir untuk mencari "dunia" baru.
Riko mengaku sempat mendapat kritik dari rekan-rekannya. Dia bahkan merasa mengecewakan orang-orang terdekatnya ketika memutuskan mundur dari pekerjaannya. "Namun ketika itu, saya berpikir, saya mundur tiga langkah, tapi untuk loncat 10 langkah ke depan," ujarnya.
Upaya mencari sebuah karier baru, diawalinya dari bangku kuliah. Kuliah menjadi jalan karena sejumlah lamaran pekerjaan di bidang lain yang diajukannya tak berbuah hasil. Karena itu pada tahun 1992, Riko memutuskan untuk kembali kuliah.
Kebetulan, dia memperoleh beasiswa dari salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Good (FMCG) untuk mengambil Pascasarjana di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) Jakarta. Dia kemudian mengambil Master Business Administration (MBA). Di sini, Riko menemukan bidang yang membuatnya nyaman, yakni pemasaran alias marketing. "Bahkan saya jatuh cinta dengan bidang ini," ujarnya.
Mata kuliah manajemen komunikasi, organization behavior, dan lainnya membuat Riko antusias. Bahkan Riko tak menemukan kesulitan mempelajarinya dan berhasil lulus kuliah tepat waktu.
Pada tahun 1994, dia lulus dari pendidikannya dan langsung bergabung dengan perusahaan yang telah memberinya beasiswa yakni Procter & Gamble (P&G). Posisi pertama yang didapatkannya adalah sebagai sales atau tenaga penjual dengan penempatan di Pasar Parung, Bogor, Jawa Barat.
Membawa salah satu brand shampo yang bukan sebagai penguasa pasar serta keterbatasan modal, membuatnya memutar otak agar pekerjaannya tetap selesai dengan baik. Dia pun tidak sungkan untuk menjalin kedekatan dan komunikasi dengan para pemilik warung.
Tujuannya agar produknya bisa diberikan tempat yang strategis agar dapat dilihat oleh konsumen. "Saat itu saya bilang, tolong lah bapak/ibu, diberikan sedikit ruang di depan. Bos saya mau lihat kesini," ungkap Riko mengenang masa awalnya membangun karier sebagai marketing di P&G.
Terjun langsung menjadi tenaga penjual dan mengelola manajemen perusahaan membuat Riko mendapatkan banyak pengalaman. Hal itu memberikannya keberanian untuk melangkah lebih jauh. Pada tahun 1996, dia memutuskan hengkang dari P&G dan bergabung dengan perusahaan perbankan multinasional Citibank.
Posisi pertamanya saat itu adalah Asisstant Vice President Marketing. Di Citibank dia cukup lama bergabung hingga menempati posisi Vice President dan Head of Card Marketing Communications untuk Consumer Bank. Lalu dia memutuskan hengkang tahun 2005.
Tahun 2005, Riko masih meminati bidang perbankan. Dia bergabung dengan ABN AMRO Bank pada tahun 2005 sebagai Head of Custumer Finance. Tahun 2008, Riko pindah lagi ke ANZ Bank sebagai Card Business Director dan bertahan hingga tahun 2010. Pada tahun 2010, Riko mendapatkan puncak karier pertamanya setelah diangkat Presiden Direktur Metrobank Card Corporation. Ini merupakan perusahaan penyedia jasa pembayaran termuka di Filipina. Riko pun hijrah ke Manila, Filipina.
Riko memimpin perusahaan dengan 3.500 orang karyawan ini dengan cukup baik. Buktinya, reputasi sebagai bos perusahaan pembayaran di Filipina terpantau radar Visa selaku perusahaan serupa, namun berskala global. Pada Februari lalu, Riko resmi menjadi orang nomor satu Visa Indonesia. Ini tantangan baru dalam 30 tahun kariernya sebagai profesional.
Tak pernah melupakan kampung halaman
Akhir pekan bagi Riko Abdurrahman, Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia adalah waktu untuk melepaskan semua atribut jabatan dan pekerjaan di kantor. Di akhir pekan itulah Riko sepenuhnya menjadi ayah dan suami bagi keluarganya.
Aktivitas yang sering dilakukannya bersama keluarga adalah nonton film di bioskop. Riko bilang, setiap Sabtu adalah jadwal nonton film di bioskop, oleh karena itu dia selalu meminta anaknya untuk mengecek jadwal pemutaran film. Dia mengaku suka menonton film berbagai genre, sesuai dengan permintaan sang anak atau istri. "Cuma saya suka dengan film yang ringan karena untuk santai saja," katanya.
Namun, kecintaannya menonton film di bioskop tersendat semenjak kembali ke Indonesia pada akhir Januari 2018. Riko mengaku, dari Januari 2018 sampai hari ini belum sempat untuk mengunjungi bioskop. Alasannya, sibuk dengan pekerjaan sebagai bos Visa Worldwide Indonesia yang diemban sejak tiga bulan lalu. Ditambah rumah yang ditinggalinya masih direnovasi. Sehingga, seluruh barang bawaannya masih berada di dalam koper. Dia berharap, sebelum Lebaran proses renovasi properti sudah selesai.
Sempat tinggal cukup lama di Filipina dengan memboyong anak dan istrinya, membuat Riko tidak melupakan kampung halamannya yaitu Jakarta. Alih-alih memilih untuk berpetualang ke negara lain, lelaki berkacamata ini memilih untuk pulang dan tinggal di Indonesia.
Alasannya, dia ingin mengenalkan anak-anak pada kampung halaman dan keluarganya di Indonesia. "Saat saya pindah anak saya yang paling kecil masih tiga tahun, kalau tidak dikenalkan, saya takut dia tidak mengenal kampung halaman dan saudara-saudaranya di Indonesia," jelasnya.
Itu sebabnya pula, setiap liburan sekolah Riko selalu mengambil cuti untuk kembali ke Indonesia. Momen hari raya Idul Fitri menjadi momen mudik ke Tanah Air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News