kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jehan menjahit untung dari fashion muslimah


Rabu, 10 September 2014 / 14:30 WIB
Jehan menjahit untung dari fashion muslimah
ILUSTRASI. Kentang tidak boleh dimakan mentah.


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Sudah lazim jika seseorang memendam sebuah cita-cita dalam hidupnya. Sebab, cita-cita bisa menjadi penggugah semangat seseorang dalam meniti kehidupannya. Seperti, Nanida Jenahara Nasution, yang sejak awal memang punya mimpi untuk memiliki brand fesyen Jenahara.

Jehan, panggilan akrab Jenahara, sudah akrab dengan dunia fashion sejak kecil. Sang ibu, Ida Royani, yang seorang perancang, kerap mengajaknya melihat berbagai jenis kain dan busana. “Jadi, dunia saya memang tak jauh dari fashion,” ujar ibu dari dua anak ini.

Tak heran, selepas Sekolah Menengah Atas (SMA), Jehan pun melanjutkan pendidikannya di Susan Budiharjo Fashion Design School. Namun, perempuan kelahiran Jakarta, 27 Agustus 1985, ini tak langsung mendesain baju muslim.

Pada 2005, setelah menyelesaikan pendidikan, bersama teman-temannya, Jehan justru mengembangkan brand baju umum. “Jujur saja, saya tidak percaya diri untuk membuat brand sendiri waktu itu. Selain itu, saya belum melihat hijab menjadi tren,” kenang dia.

Sayang, proyek bersama teman-temannya ini hanya berjalan setahun. Tahun-tahun berikutnya, Jehan lantas disibukkan dengan persiapan pernikahan dan kehidupan keluarga barunya. Namun, di sela-sela waktunya, Jehan mulai memikirkan konsep yang ingin ia kembangkan untuk brand miliknya sendiri. Dia tetap ingin menggenapi mimpinya, sambil menunggu waktu yang tepat.

Pada 2010, tren hijab mulai berkibar di industri fashion negeri ini. Dia melihat teman-temannya mulai berhijab dengan gaya unik dan kreatif. Banyak komunitas hijab yang terbentuk. Tak ingin melewatkan kesempatan, Jehan segera mewujudkan pemikirannya, yakni menciptakan brand fashion muslimah. “Ini pasar yang saya tunggu. Saat itu, orang-orang mencari ikon hijab yang kuat,” tandas dia.

November 2010, Jehan mulai dengan persiapan untuk membuka Jenahara. Beruntung, dia tidak mengalami kendala berarti, lantaran kedekatannya dengan dunia fashion sudah berlangsung lama. Jehan bisa menemukan bahan-bahan, maupun penjahit serta konveksi yang sesuai kriteria dengan mudah. Dengan modal Rp 10 juta, Jehan membuat 200 pieces produk busana, yang terdiri dari pakaian, kerudung dan lainnya.   


Produk berkarakter

Lantaran ingin serius mengembangkan brand yang kuat untuk fashion muslimah, Jehan benar-benar memikirkan dengan matang konsep desain maupun bisnisnya. Untuk menggarap bisnisnya, dia menggandeng seorang partner yang bertanggung jawab dalam agenda pemasaran dan strategi bisnis lainnya.

Dari awal, Jehan memang menyadari peran partner bisnis ini sangat penting. Menurut dia, antara bisnis dan kegiatan desainer memang harus dipisahkan. Ketika desainer bikin baju yang bagus dan kreatif, harus ada orang lain yang memikirkan penjualan. “Kreativitas desainer kadang tak pernah didasari oleh hal yang berhubungan dengan bisnis,” jelas dia.

Supaya imaji Jenahara tertanam kuat di industri fashion muslimah, Jehan pun menciptakan karakternya sendiri. Langkah ini juga menjadi strategi diferensiasi bagi produk yang ada di pasar. Dia menggariskan desain simetris dan asimetris dengan model-model yang  simpel dan modern. Perpaduan warna-warna yang primer, seperti merah, hitam, putih, menjadi kekuatan Jenahara.

Begitu pula, jahitan yang rapi menjadi keharusan bagi Jehan. Produk juga harus tampil bersih (clean), dalam arti bagian dalam tetap terlihat rapi tanpa adanya jahitan obras.

Produk Jenahara juga dibuat dalam konsep mix and match yang dijual piece to piece. Tujuannya, supaya produk ini lebih friendly, tak hanya bisa dipakai oleh kaum berhijab, tapi juga oleh perempuan yang tidak menggunakan kerudung. “Ini supaya orang memperhatikan Jenahara,” ujar Jehan.

Mulai dari penjualan di pameran, bazar, dan membuka konter di Mozaik, Jehan akhirnya membangun butik sendiri di kawasan Kemang pada 2012. Bersamaan dengan itu, dia juga meluncurkan merek baru, Jenahara Black Label (JBL). Lewat merek baru ini, Jehan ingin membidik pasar yang menginginkan produk premium dan eksklusif, karena desain JBL lebih elegan dan berkelas.

Memang, selama perjalanan membesarkan bisnisnya, bukan berarti Jehan tak menghadapi kendala yang berarti. Dia mengakui, ada juga desain yang kurang mendapat respons baik di pasar, atau produk dengan jahitan yang kurang bagus. “Trial and error pasti ada. Ibaratnya, saya ini learning by doing,” ujar dia. Namun, karena komitmen dengan brand yang teguh dipegangnya, Jehan menganggap semua itu sebagai pembelajaran bagi dirinya.

Kini, Jehan sudah membuka delapan butik Jenahara yang berlokasi di Jakarta, Bandung, Yogya, Makassar, Samarinda dan Balikpapan. Saban bulan, Jenahara bisa memproduksi hingga 1.000 pieces produk fesyen untuk pelanggan butiknya. Asal tahu saja, banderol harga produk Jenahara berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan, produk JBL, yang masih diproduksi dalam jumlah terbatas,  harganya bisa mencapai Rp 10 juta per potong.

Selain mengisi etalase butiknya sendiri, Jehan berencana mengambangkan pasarnya melalui penjualan online. Proyek terdekat ibu dari Rosemary Malika Zuri dan Oliver Mahkah Putra ini adalah bekerjasama dengan Zalora, untuk mengembangkan produk Jenahara yang sesuai dengan pasar dari situs  e-commerce tersebut.

Melihat potensi pasar yang besar, Jehan tak mau melewatkan kesempatan emas dalam industri fashion muslimah. Pasalnya, pada 2015, pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim se-Asia. “Saat itu, Jenahara sudah siap,” kata dia.        


Membuktikan kerja keras sendiri

Meski berstatus anak dari artis sekaligus perancang busana muslim, Nanida Jenahara Nasution tak mau memanfaatkan ketenaran orangtuanya. Ia menampik anggapan hanya mendompleng popularitas sang ibu.

Namun, istri dari Ari Galih Gumilang ini mengakui bahwa sang bunda merupakan sumber inspirasinya dalam membangun bisnis fashion. Jehan bercerita, ibunya sudah sejak lama memintanya meluncurkan brand baju muslim. “Bahkan, ibu sempat sebal ketika saya meluncurkan brand bersama teman-teman, bukan busana muslim sendiri,” cetus dia.

Saat Jehan meluncurkan Jenahara, sang ibu justru tak menyadari. “Saya sengaja bikin surprise, karena tak mau berada di bawah bayang-bayang popularitas beliau,” kata Jehan. Dia ingin membuktikan, kesuksesannya merupakan hasil kerja kerasnya sendiri.

Keinginan itu terwujud. Banyak yang baru tahu bahwa Jehan adalah anak Ida Royani pada 2012, ketika dia meluncurkan merek Jenahara by Ida Royani. “Banyak yang tanya kenapa saya berkolaborasi dengan Ida Royani,” kenang dia.

Jehan mengungkapkan, potensi Indonesia untuk fesyen muslim terbuka sangat lebar. Maklum, mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum muslim.

Menyadari kondisi itu, Jehan punya mimpi untuk membesarkan Jenahara menjadi peritel terbesar untuk produk fashion muslim. Apalagi, setelah dia melihat antusiasme masyarakat Indonesia terhadap produk ritel asing, seperti Zara, Mango, H&M, begitu besar. “Dari situ, saya paham, orang Indonesia punya keterikatan khusus terhadap brand besar,” ujar dia.

Dia pun memasang target paling lama lima tahun untuk mewujudkan mimpinya itu, bersamaan dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×