kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kampung Binong Jati: Memangkas untung agar bisa bertahan (4)


Kamis, 17 Februari 2011 / 10:27 WIB
Kampung Binong Jati: Memangkas untung agar bisa bertahan (4)
Elon Musk - SPACEX-HYPERLOOP


Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Menjadi sentra rajutan tertua di Bandung sejak 1970 membuat para perajut mengecap banyak asam garam. Kampung Binong Jati masih bertahan saat badai krisis ekonomi 1997-1998. Tapi, mereka harus memangkas laba menyusul kenaikan harga bahan baku dan persaingan dengan produk-produk China.

Kampung Binong Jati tetap bercokol di tengah-tengah maraknya industri fesyen modern di Bandung. Sentra rajutan ini tetap bertahan di tengah menjamurnya butik, distro, hingga factory outlet di Kota Kembang.

Sebelumnya, pelaku usaha rajutan di Kampung Binong Jati juga mampu melewati badai krisis ekonomi 1997-1998. "Justru, saat itu, para perajut mengalami masa kejayaan," tutur Dedi Irawan Suherman, Ketua Paguyuban Rajut Muda Bandung. Kala itu, ada 600 hingga 700 perajut di sentra ini.

Meski ekspor rajutan ke Malaysia, Brunei Darussalam, dan Arab Saudi anjlok, pasar lokal tetap ramai. "Setiap hari truk-truk besar datang ke kampung ini untuk mengambil pesanan rajutan," tutur Dedi. Bisa dibilang, pembeli yang datang sendiri.

Harga produk rajutan yang murah dengan kualitas bersaing membuat perajut Kampung Binong Jati kebanjiran pesanan. Kondisi ini bertahan tujuh tahun.

Namun, memasuki 2007, para perajut di sentra ini mulai berguguran. Kenaikan harga bahan baku, seperti benang wol, benang katun, dan jarum rajutan menjadi faktor utama rontoknya usaha para perajut. Maklum, mereka juga harus menanggung ongkos produksi yang tinggi karena kenaikan harga bahan bakar untuk menjalankan mesin.

Kondisi ini terus terjadi pada 400 perajut yang tersisa di Kampung Binong Jati hingga awal 2011. "Kami mencoba bertahan di tengah harga bahan baku yang tinggi dan pasar yang sepi," tutur Cepi Andiana, pemilik Alfina Production yang sekarang cuma memproduksi 15 lusin produk rajutan sehari.

Angka produksi ini turun ketimbang lima tahun lalu yang mencapai 40 hingga 50 lusin per hari. Situasi semakin parah lantaran harus menghadapi persaingan dengan produk impor China yang lebih murah harganya.

Tahun 2010 menjadi pukulan telak bagi para perajut Kampung Binong Jati. Sebab, usaha mereka terancam gulung tikar. "Kami tidak mampu bersaing di pasar dengan harga produk yang murah," kata Cepi.

Cepi mengungkapkan, ongkos produksi satu produk rajutan mencapai Rp 22.000. "Kami menjual ke pembeli rata-rata Rp 25.000," imbuhnya. Untung kotor yang sudah tipis tersebut masih harus dikurangi gaji pekerja.

Padahal, kalau bicara soal model, model-model rajutan buatan para perajut di Kampung Binong Jati termasuk bagus dan tidak ketinggalan zaman. Pasalnya, selalu mengikuti perkembangan fesyen. Terbukti, model-model sweater bikinan para perajut di sentra ini jauh dari kesan kolot.

Sayangnya, bermacam himpitan persoalan yang dihadapi para perajut di Kampung Binong Jati belum juga mengetuk hati Pemerintah Kota Bandung untuk membantu mereka.

Kondisi ini kian parah dengan infrastruktur jalan ke sentra itu yang rusak berat. Padahal, Kampung Binong Jati telah menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Bandung. "Tentu, kondisi ini amat miris, dijadikan sebagai kawasan wisata tapi jalan menuju ke sini hancur bukan main," keluh Dedi.

Dedi berharap, pemerintah lebih peduli lagi dengan kondisi para perajut di Kampung Binong Jati. Contoh, dengan memberi subsidi harga bahan baku yang kian mahal.


(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×