kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kampung Binong Jati: Transaksi rajutannya miliaran rupiah tiap pekan (3)


Rabu, 16 Februari 2011 / 12:03 WIB
Kampung Binong Jati: Transaksi rajutannya miliaran rupiah tiap pekan (3)
ILUSTRASI. DIGITAL BANKING BNI


Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Sebagai salah satu kawasan industri pakaian terbesar di Bandung, perputaran uang di kampung Binong Jati terbilang fantastis. Setiap pekan, transaksi penjualan di sana bisa mencapai total miliaran rupiah. Kampung dengan 10 RW ini memiliki warga berprofesi sebagai perajut dan memiliki 400 rumah industri rajut.

Perajut sudah menjadi profesi utama warga kampung Binong Jati. Ada yang turun temurun menjalankan usaha rajut, banyak pula yang memulainya dari nol dan belajar pada warga setempat. Ada yang sukses mempertahankan bisnis keluarga, tapi banyak juga pendatang yang sukses.

Dedi Irawan, Ketua Paguyuban Rajut Muda Bandung mengatakan tolok ukur kesuksesan para perajut di Binong Jati terletak pada jumlah rajutan yang terjual dan banyaknya mesin yang berjalan di masing-masing rumah. "Makin banyak mesin yang berjalan berarti makin besar usahanya," kata Dedi.

Salah satu usaha rajutan yang terbilang maju di Binong Jati adalah My Collection. Pemiliknya, Suyatna kini memiliki 70 mesin untuk produksi rajutan. My Collection memiliki 20 mesin lingking dan 50 mesin rajut yang dijalankan para perajut terampil. "Sebelum bekerja ada pelatihan khusus supaya bekerjanya lebih efisien," tutur Wien, istri pemilik My Collection yang memberi pelatihan pekerja baru dua pekan hingga sebulan.

My Collection mampu menghasilkan 70 lusin rajutan yang siap dipasarkan tiap hari. Pemain lain, Dedi Suherman pemilik Nugs Collection mampu memproduksi 40 lusin rajutan dengan menjalankan 24 mesin untuk pesanan normal.

Kedua pemilik usaha rajut ini mengaku meski ada pesanan setiap bulan, datangnya tak menentu. Tapi mereka selalu memproduksi jumlah normal sesuai dengan kemampuan dari produksi industri rumahan mereka. Produksi normal ini untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu pesanan membeludak.

Para pemborong yang membeli rajutan di Kampung Binong Jati tidak hanya berasal dari Pulau Jawa tapi juga seluruh pulau di Indonesia. "Pesanan paling banyak tetap datang dari Jakarta meski banyak juga pembeli yang datang dari luar Jawa," tutur Wien. Setiap bulan para pembeli dari luar Jawa datang ke kampung Binong Jati untuk memborong rajutan. Kalau ditotal, berbagai model rajutan terjual 120 hingga 200 kodi tiap pekan.

Meski menolak menyebut omzet yang diraih setiap bulannya, Wien bilang di bulan-bulan biasa ia mampu menjual sekitar 500 kodi dengan harga per lusin mulai dari Rp 250.000 sampai Rp 350.000. Penjualan ini belum termasuk penjualan eceran dari galeri di rumahnya.

Para pembeli ritel kebanyakan pelajar atau mahasiswa yang melakukan penelitian di Binong Jati dan para wisatawan. "Biasanya yang mampir orang-orang yang kebetulan ingin melihat proses produksi, kemudian tertarik membeli," kata Wien.

Sementara itu, Dedi mengirimkan barangnya 200 lusin ke Jakarta. Dedi bilang dengan harga per lusin Rp 240.000 hingga Rp 360.000 ia mampu meraih omzet Rp 50 juta sampai Rp 60 juta tiap pekan. Lain lagi dengan Cepi Andiana, pemilik dari Alfiana Production yang setiap pekan bisa menjual 100 lusin rajutan dengan harga per lusinnya sebesar Rp 250.000.

Pendapatan yang berbeda ini tak lantas menjadi sebuah kesenjangan. Para pemilik rajutan mengaku, mereka justru semakin bersemangat dalam melebarkan bisnis rajutan mereka. Sayang, kendala modal dan jaringan pemasaran menghambat ekspansi ke luar negeri.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×