kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kecintaan tanah air giring kejayaan produk etnik


Sabtu, 12 Mei 2018 / 12:10 WIB
Kecintaan tanah air giring kejayaan produk etnik


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Dunia fesyen tanah air terus bergerak cepat. Produk-produk buatan tangan (handmade) dengan sentuhan kain khas Indonesia seperti batik dan tenun semakin berkembang. Perajin pun semakin kreatif dengan memaudkan berbagai bahan menjadi desain yang etnik.  

Kolaborasi kain-kain khas dalam negeri ini makin banyak digunakan untuk produk fesyen. Mulai dari pakaian, tas, hingga aksesoris. Pasar pun nampak agresif menerima produk-produk fesyen gaya etnik ini.

Iskandarsyah, perajin sekaligus pemilik Alini Fashion Ethnic menilai  perkembangan produk fesyen etnik tanah air makin pesat. Kondisi ini didorong oleh pasar yang terus berkembang dan meluas. "Anak muda sudah mulai aware dengan produk etnik. Mereka kini berpikir, batik menjadi barang yang lebih berharga bila dibandingkan produk impor," katanya pada KONTAN.

Sekedar info, Alini merupakan brand dari produk aksesoris. Iskandarsyah fokus menggarap desain dengan mengkombinasikan  batik dan logam. Jenis aksesorisnya mulai dari gelang, anting, kalung, dan lainnya.

Harga produknya mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 150.000 per item. Dalam sebulan, Iskandaryah bisa memproduksi hingga 1.000 item berbagai produk aksesoris.

Konsumennya pun sudah cukup luas, tidak hanya di Jakarta tapi sudah sampai Palu, Lampung, dan daerah lainnya. Beberapa waktu lalu dia juga sempat ikut dalam ajang pameran di Jepang.

Yang menarik, perajin Alini terdiri dari 15 orang yang seluruhnya merupakan perempuan. Awalnya, mereka merupakan ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan bantaran Sungai Menteng, Jakarta Pusat. Iskandar memberikan pelatihan kerajinan untuk menaikkan taraf perekonomian mereka.

Edi Sakti, disainer sekaligus pemilik Meru menilai produk-produk yang memiliki cita rasa seni, budaya, dan sejarah akan semakin diminati. Pasalnya, penggemar etnik desain ini tidak lagi terdiri dari ibu-ibu setengah baya, tapi mulai bergeser pada kawula muda.

Desain yang nampak unik tapi tetap terlihat modern dan simpel menjadi daya tarik dan disukai hampir seluruh kalangan.

Berbeda dengan Iskandarsyah, laki-laki yang lebih akrab disapa Sakti ini memproduksi tas dengan padu-padan kain tenun nusantara. Menyasar segmen konsumen menengah, harga produknya dibanderol mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 400.000 per unit. Dalam , Sakti bisa menghasilkan 800 hingga 1.000 tas.

Berkembangnya teknologi dan kehadiran media sosial banyak Sakti manfaatkan sebagai tempat berjualan. Alhasil, konsumennya pun tidak hanya berasal dari dalam kota Jakarta. Selain itu, dia juga kerap mendapatkan pesanan langsung dari sejumlah  instansi swasta dan pemerintahan.                       

Pasokan bahan baku masih menjadi masalah utama

Produk fesyen etnik yang tengah digandrungi oleh konsumen dari dalam dan luar negeri mendorong para perajin terus berkreasi. Mereka kian aktif mengembangkan desain baru supaya pasar terus melirik produk kerajinan ini. Selain itu, untuk memenuhi permintaan yang terus mengalir.

Kini, perajin tak hanya berpatokan pada satu jenis kain. Mereka akan menggunakan beragam kain, seperti tenun, tapis, songket dan lainnya. Edi Sakti, desainer sekaligus pemilik Meru pun mendapatkan berbagai jenis kain ini dari para penenun langsung. "Kami membeli dari perajin di berbagai daerah," katanya pada KONTAN.

Meski baru mengembangkan Meru pada 2016 lalu, Edi kapasitas produksinya sudah cukup besar. Dalam sebulan, Sakti membuat 800 hingga 1.000 unit tas etnik. Dia pun mempekerjakan empat karyawan untuk memproduksi tas padu-padan kain tenun nusantara itu.  

Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh Sakti adalah soal bahan baku. Ia mengatakan, kini sulit mendapatkan bahan baku tekstil. Terbatasnya kualitas produk dalam negeri memaksanya untuk mengimpor berbagai kebutuhan bahan baku dari luar negeri.

Selain itu, terbatasnya jumlah kain nusantara dengan corak yang sama membuat mereka kesulitan memenuhi permintaan ada pesanan dalam jumlah besar untuk produk yang sama persis. Maklum, kain-kain tersebut dibuat secara tradisional yang memakan waktu cukup lama.

Namun, berbagai keterbatasan ini tak mematahkan semangatnya. Dengan produk yang punya karakter, dia optimistis bisnisnya akan terus berkembang.  

Asal tahu saja, Meru merupakan usaha ketiga yang Sakti jalankan. Dua usaha yang dia jalankan sebelumnya terpaksa ditutup. Dengan berbekal hobi dan pengalaman membuka usaha dia mulai bangkit dengan ide baru.
Iskandarsyah, perajin sekaligus pemilik Alini Ethnic pun mengakui hal yang sama. Namun, supaya usahanya tetap eksis, dia tak henti membuat inovasi dengan menerbitkan desain-desain baru pada periode tertentu.  

Selain itu, Iskandarsyah juga mematok harga jual yang terjangkau. Ini menjadi strateginya untuk bertahan. 

Sebab, dengan menentukan harga jual yang ramah di kantong, produknya dapat diterima semua kalangan.
Terus melakukan promosi melalui media digital seperti Instagram pun tetap dilakukan untuk memperluas jangkauan pasar.  

Sama seperti pengusaha kebanyakan, kendala yang dihadapinya adalah ketersediaan bahan baku yang berkualitas. Asal tahu saja, semua produk yang didapatkannya berasal dari limbah kain batik.

Sekadar info, Iskandar memulai usaha ini sejak lima tahun lalu. Ide usahanya berawal dari adanya sisa kain dari tukang jahit dan dia ingin mengubahnya menjadi produk bernilai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×