kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Kepulan laba sate tak lagi tinggi


Sabtu, 23 September 2017 / 09:05 WIB
Kepulan laba sate tak lagi tinggi


Reporter: Jane Aprilyani, Mia Chiara, Venny Suryanto, Yovi Syarifa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Siapa yang tidak kenal dengan sate. Panganan dengan potongan daging kecil-kecil ini amat sedap setelah dipanggang matang dengan arang. Tentu setelah dibaluri dengan sambal kacang atau kecap. Tak heran bila sate termasuk salah satu makanan favorit di tanah air. Bahkan, menjadi salah satu makanan terlezat di dunia versi CNN.

Fakta inilah yang membuat sate kerap dijajakan di mana-mana. Mulai dari pedagang keliling, kedai tenda, hingga masuk ke restoran mewah yang ada di gedung bertingkat atau pusat belanja.

Para pebisnis pun kerap memanfaatkan kelezatan sate untuk menjajakan program kemitraan. Salah satunya lewat waralaba.

Dalam review kali ini, harian KONTAN kembali akan mengulas sejumlah program kemitraan sate yang pernah diulas harian ini. Mari kita simak pembahasannya.

1. Sate Batibul Bang Firman

Saat ini Sate Batibul Bang Firman sudah berubah merek menjadi Sate Batibul Kambing Muda Bang Agus. Perubahan ini bukan tanpa alasan. Menurut Sidik Rizal, pemilik Sate Batibul Bang Firman, pihaknya kala itu kewalahan mengelola kemitraan Sate Batibul. Saat itu program kemitraan yang dimulai 2010  ada tiga paket, mulai dari Rp 35 juta sampai Rp 100 juta.   

Rupanya, Sidik kewalahan mengelola ada dua paket investasi utama. "Pusingnya sama dengan mengelola dua outlet seharga Rp 200 juta," tukas Sidik Rizal kepada KONTAN.

Alhasil, terjadi kemunduran dalam penjualan outlet lantaran kurang optimal dalam pengelolaan. Imbasnya, mitra Sate Batibul Bang Firman yang sudah ada tujuh mitra undur diri alias dan berubah konsep menjadi sate Tegal dengan bumbu kacang.

Beruntung Sidik bermitra dengan investor mengembangkan Sate Batibul. Lantaran ada investor yang masuk,  logo Sate Batibul pun berubah menjadi Sate Balibul Bang Agus. Saat ini baru ada satu  kedai sate itu di Banjarbaru, Kalimantan Selatan dalam persiapan operasional. "Jadi nanti kami menjual dengan merek baru Bang Agus," kata Sidik ke KONTAN.

Bila tidak ada halangan, Sidik akan membuka Satu Balibul Bang Agus pada bulan September ini. Selain itu, ia juga akan membuka gerai sate lagi milik mitra pada Oktober 2017 nanti di BSD. Sidik sendiri saat ini masih memiliki satu gerai sate sendiri yang ada di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Tak cuma merek baru, Sidik juga terus berupaya menambah menu sate. Seperti ada gulai kambing, sop kaki kambing, hingga nasi goreng kambing. Adapun menu andalan adalah sate kambing beragam bumbu. Ada bumbu sambal bawang putih sangrai, bumbu kecap dan madu.

Bahan dasar daging kambing gerai ini adalah memakai daging kambing muda yang berusia di bawah lima bulan. Makanya nama gerai ini ada kata balibul yang artinya bawah lima bulan.

Begitu pula dalam hal penyajian. Kalau sebelumnya ia memakai piring bambu beralaskan daun, kini sajian dengan memakai piring plastik dan gelas plastik saja. Selain itu pasangan sate cuma lotong tidak lagi ada nasi. Rupanya, Sidik ingin meniru konsep makanan cepat saji di gerai sate tersebut.

Nah, apakah Anda masih tertarik? Menurut pengalaman Sidik, mitra bisa segera balik modal diperkirakan selama 14 bulan. Asalkan, tempat gerai sate tersebut adalah milik sendiri atau bisa juga di tempat tinggal alias rumah.

Tapi kalau mitra menyewa gedung atau ruangan, maka perkiraan balik modal bisa molor sedikit antara 14 bulan sampai 18 bulan. Asumsi tersebut tentu dengan kondisi si mitra sanggup menjual sebanyak 500 sampai 2.500 tusuk per hari.

2. Sate Ayam Ponogoro Siboen

Usaha turunan keluarga asal Kediri ini telah berdiri sejak tahun 1973. Bayu Syahrul, sebagai generasi ketiga penerus usaha, menawarkan kemitraan sejak tahun 2007.

Sebelumnya, KONTAN sempat mengulas kemitraan ini di 2014. Saat itu, ada sembilan gerai yang beroperasi. Rinciannya, tiga gerai milik pribadi dan sisanya milik mitra.

Menu gerai sate itu tergolong beragam. Selain sate ayam ada  sate telur, ati ampela, aneka sup dan balung ayam berkuah. Harga jual menu adalah dari Rp 10.000 – Rp 25.000 per porsi. Dalam sehari, Sate Ayam Ponogoro Siboen bisa mengantongi omzet sekitar Rp 5 juta dengan keuntungan bersih sekitar 25% per bulan.

Paket investasi yang ditawarkan mulai dari Rp 50 juta sampai Rp 100 juta. Khusus paket Rp 50 juta berlaku di kota kecil seperti Jombang atau Sidoarjo.

Selang dua tahun, saat KONTAN kembali menghubungi Agus Rini ternyata Sate Ayam Ponogoro Siboen sudah tutup. “Saya sudah tutup, karena pelanggan saya jauh. Mungkin karena sekarang banyak yang memilih makanan lain,” Kata Agus Rini pemilik Sate Ayam Ponogoro Siboen.

Meski demikian, Agus Rini tetap menerima pesanan, seperti pernikahan, acara kantor dan lain sebagainya. Pelanggan setia sate ayam Ponogoro Siboen  biasanya memesan melalui telepon.

Dalam sebulan, Agus Rini mengaku bisa menerima empat kali pesanan dan rata-rata klien memesan 300 sampai  1.000 tusuk. Bahkan bulan depan Agus Rini sudah mendapat tiga pesanan, salah satunya untuk acara di Mabes Cilangkap. "Halal Bihalal pesanan mencapai 4.000 tusuk. Kalau pesanan 300 tusuk diantar gojek, kalau banyak saya antar sendiri. Biaya transportasi kalau jauh Rp 200.000," tambah Agus Rini.

Rencananya, bila ada tempat yang strategis dan harga sewa terjangkau, Sate Ayam Ponogoro Siboen akan buka kembali. Namun sementara, bagi yang ingin memesan sate ayam Ponogoro Siboen bisa langsung datang ke Jl Bina Lontar 2 No. 3 Rt 0003/Rw15, Jatiwaringin, Pondok Gede. Harganya per porsi adalah Rp 23.000.

 

3. Sate Padang Mak Adjat

Sate padang Mak Adjat ini sudah dibuka sejak tahun 1958. Saat KONTAN ulas pada tahun 2013, tidak banyak perubahan. Selain itu, hingga saat ini Sate Mak Adjat tidak menawarkan paket kemitraan dan masih memiliki satu gerai pusat berlokasi di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 50.

Menurut Akmal Zulkarnaen, pengelola Sate Padang Mak Adjat dan cucu dari Mak Adjat, sejatinya ada pemikiran untuk membuka cabang atau menawarkan program kemitraan. Bila ini bisa terealisasi, kalau bisa di akhir tahun ini. "Tapi masih banyak hal yang mesti dipertimbangkan dengan matang. Di tempat ini saja, saya sudah cukup banyak pelanggan," kata Akmal ke KONTAN.

Apalagi semenjak era transportasi online mulai mewabah. Sejak awal tahun ini, pesanan sate Mak Adjat melonjak drastis. Sebelum ada ojek online, rata-rata dalam sehari Mak Adjat bisa menjual sebanyak 2.000-an tusuk, tapi setelah ada layanan transportasi online langsung menandak antara 2.500 tusuk sampai 3.000-an tusuk per hari.

Adapun harga sate padang Mak Adjat sebesar Rp 35.000 per porsi. Selain itu ada juga menu yang lain yakni Soto Padang dengan harga Rp 30.000 per porsi. Bila pakai nasi atau ketupat ada tambahan biaya Rp 5.000 per porsi.

Mengenai kendala Akmal bilang setiap usaha pasti ada hambatan yang mesti dipecahkan. Tapi ia klaim kendala tersebut masih bisa ia tangani. Sayang ia tidak merinci jenis kendala tersebut. Adapun untuk persoalan bahan baku dan karyawan sejauh ini tidak ada persoalan.       

Pengamat : Balik Modal Wajar Dua Tahun

Menurut Erwin Halim, Konsultan Waralaba dari Proverb Consulting, bisnis sate ayam dan sejenisnya mudah ditiru sehingga pemilik kemitraan harus dapat menjawab tantangan bila terjadi persaingan usaha di menu makanan tersebut. Maklum, kedai atau gerai sate banyak bertebaran di mana-mana.

Sehingga untuk mengukur keberhasilan kemitraan sate bukan berdasarkan dari jumlah cabang yang banyak. Melainkan harus menunjukkan kualitas dan kelebihan dari merek atau brand sate tersebut. "Apa kelebihannya? Mungkin juga bukan dilihat dari kelebihan atau keunikan melainkan juga bisa dari pelayanan dan pemilihan lokasi usaha yang tepat," ujar Erwin ke KONTAN.

Untuk itu Erwin menyarankan kepada mitra atau pelaku usaha di bidang ini supaya mencari lokasi yang dekat dengan pusat keramaian. Seperti perkantoran, perumahan, apartemen dan kampus. Pasalnya, menu sate bisa dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat dan dalam kondisi cuaca apapun.

Nah, supaya gerai atau outlet sate bisa terus berkembang dan tidak stagnan, pelaku bisnis harus terus menambah menu makanan dan minuman tambahan. Misalnya, ada menu nasi bakar, soto atau yang lainnya yang bisa membuat orang tertarik datang ke gerai mitra. Biasanya, pelaku usaha kerap melupakan strategi tersebut.

Dengan strategi tersebut, Erwin memproyeksi pengusaha bisa balik modal sekitar 1,5 tahun sampai dua tahun. "Untuk makanan skala restoran wajar balik modal lebih dari setahun. Yang penting tempat menarik dan menu berlebih," timpalnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×