kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kerajinan yang lestari selama puluhan tahun (3)


Rabu, 20 September 2017 / 13:27 WIB
Kerajinan yang lestari selama puluhan tahun (3)


Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Menapak di Desa Sulahan, sekilas tak ada yang berbeda dengan lokasi lainnya di Bali. Sepanjang kiri kanan jalan rayanya berdiri rumah-rumah khas Bali, lengkap dengan gapura berukir di pintu masuknya. Selain perumahan warga, berdiri pula pura serta bangunan perkantoran.

Namun, siapa sangka, ternyata desa ini telah lama dikenal sebagai pusat perajin anyaman bambu. "Kebanyakan penduduk di sini menganyam bambu di rumah.

Maklum, sekitar 80% penduduknya menggeluti kerajinan anyaman. "Sisanya, menjadi pekerja kantoran," tutur Ni Wayan Susilawati, salah satu perajin anyaman bambu di Sulahan.

Memang tak semua penduduk menjadikan anyaman bambu sebagai  pendapatan utama. Wayan bilang. sebagian penduduk juga beralih menjadi pegawai, buruh dan bertani. Perajin anyaman bambu di Suluhan pun biasanya memasarkan produknya lewat pengepul.

Wayan sendiri juga menjadi pengepul produk kerajinan dari penduduk setempat. Produk anyaman bambu ini kemudian ia jual lewat kiosnya maupun secara online. Sejauh ini, Wayan masih memasok produk kerajinan ke pasar-pasar untuk dijual kembali atau mengirimnya ke beberapa daerah seputar Bali.
Di kiosnya, produk kerajinan bambu dijual dengan harga berkisar Rp 3.000 hingga Rp 3 juta per unit. Tak ada minimum pembelian untuk mendapatkan harga grosir. Jika ingin menjual kembali, satu produk pun akan mendapat diskon dari Wayan.

Mengaku belum pernah memasarkan produk ke Luar Pulau Dewata, Wayan mampu meraup omzet sekitar Rp 20 juta per bulan. "Ramainya ketika menjelang Galungan dan ada upacara pengabenan. Ndak tentu pendapatannya, kadang bisa lebih," tutur Wayan.

Dalam proses pemasaran, Wayan memang tak banyak menghadapi kendala. Ia pun mengaku, bahwa usahanya terus berkembang sejak pertama didirikan sepuluh tahun silam. Hanya saja, menurutnya, menjadi pengepul kerajinan harus mengantongi modal banyak.

Sebab, "Perajin tetap bikin pas musim sepi dan kami  harus tetap menampung, supaya ketika ramai tak kekurangan barang," jelasnya. Ditambah lagi jika musim hujan datang, proses produksi terganggu karena bambu rentan berjamur.

Lain halnya dengan Jeruh, yang juga menjadi perajin dan pengepul. Menurut Jeruh, kini persaingan antar perajin cukup ketat. Selain menjual ke pengepul, juga ada perajin yang berkeliling menjajakan karyanya sendiri. Tak jarang, mereka merusak harga di pasaran.

Menurut Jeruh puncak penjualan di tokonya ada di tahun 2000. Kala itu persaingan belum terlalu ketat. Ia pun bisa mendulang omzet hingga Rp 50 juta per bulan. Selain di Bali, dulu Jeruh juga sempat mengekspor produk ke Jepang, Amerika, Belanda, dan Perancis. "Sekarang 50% ada penurunan penjualannya. Saat ini, sebulan rata-rata dapat  Rp 15 juta-Rp 20 juta," jelas Jeruh.  

Selain persaingan, peristiwa bom Bali kedua turut menekan penjualan kerajinan bambu di kiosnya. Meski masih ada, pasar ekspor turun drastis.            

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×