kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kurangi produksi saat harga kedelai tinggi (2)


Senin, 13 Maret 2017 / 15:40 WIB
Kurangi produksi saat harga kedelai tinggi (2)


Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Sama seperti perajin tempe lainnya, sentra produksi tempe di Kampung Irian, Kelurahan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat juga menggunakan bahan baku kedelai impor.

Lantaran impor, harga kedelai sangat fluktuatif di pasaran. Kondisi ini kerap mengganggu produktivitas para perajin tempe. Ada banyak cara yang mereka lakukan guna menyiasati tingginya harga kedelai. Antara lain dengan mengurangi jumlah produksi.

 Kusnoto, salah seorang perajin tempe mengaku, menyiasati tingginya harga kedelai dengan mengurangi jumlah produksi tempe. Menekuni usaha pembuatan tempe selama 19 tahun, Kusnoto mengaku sudah biasa menghadapi lonjakan harga kedelai impor asal Amerika. Kendati harga kedelai tinggi, ia tidak pernah berhenti memproduksi dan menjajakan tempe ke Pasar Serdang. “Saat melemahnya nilai tukar rupiah pasti daya beli turun,” kata Kusnoto.

Dibanding era Pemerintahan Soeharto, Kusno menyebut perajin tempe sekarang lebih diuntungkan. Di zaman Soeharto, kata Kusnoto,  semua bahan baku kedelai diambil dari koperasi dengan harga yang telah ditentukan oleh ketua koperasi.

"Nah, kalau sekarang, bebas mau ambil bahan baku dari mana dengan harga bisa bersaing,” tuturnya.

Sebagai informasi, koperasi perajin tempe di Kampung Irian ini sudah tidak aktif dalam beberapa waktu terakhir. Walhasil, mereka pun tidak memasok bahan baku ataupun mendapat bantuan pemasaran dari koperasi. Dengan mengandalkan kemampuan sendiri, para pedagang pun aktif menjcari pasokan ke delai ketempat-tempat lain. Mereka juga rela menggelontorkan modal sendiri untuk membeli peralatan mengolah tempe.

Kendati tanpa bantuan koperasi, ia mengaku tak sulit mencari bahan baku produksi. Begitu juga dengan pemasarannya. Mengeluarkan modal Rp 1,5 juta setiap minggu, Kusno bisa memproduksi 175 kilogram (kg) kedelai menjadi 300 potong tempe.

Hampir setiap hari Kusnoto melakukan produksi menggunakan alat produksi stainless juga alat tradisional lain seperti drum. Menurutnya, para perajin tempe terus belajar bagaimana memproduksi tempe agar tetap higienis. Demi kebersihan, drum-drum yang mereka gunakan tersebut selalu dicuci bersih, baik setelah dipakai maupun saat akan dipakai.

Pasalnya, ketika drum yang digunakan sebagai wadah kedelai tersebut tidak benar-benar bersih, kualitas citarasa tempe yang dihasilkan akan ikut terpengaruh.

Senada dengan Kusnoto, Wahyu juga selalu menjaga kebersihan peralatan usaha yang digunakan. Sebab, dengan begitu, pembeli akan loyal memborong tempe buatannya.

“Walaupun jual tempe gerobakan dan bercampur dengan gorengan lain, tempat masak harus tetap bersih agar pembeli tidak kabur,” kata Wahyu.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×