kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Lulu jadi desainer bermodal rancangan unik


Jumat, 10 Juli 2015 / 10:00 WIB
Lulu jadi desainer bermodal rancangan unik


Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi

Keberanian untuk keluar dari pakem pola baju yang biasa, mengantarkan Lulu Lutfi Labibi tampil menjadi desainer muda yang diperhitungkan di negeri ini. Wanita dari beragam profesi, mulai dari dokter hingga artis, memakai  baju hasil rancangannya. Karya-karya Lulu juga wira-wiri di berbagai perhelatan, dalam dan luar negeri.

Lulu jatuh cinta pada dunia busana saat menimba ilmu di Kriya Tekstil, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Namun, kebingungan sempat menderanya, yakni  antara menjadi seniman dengan mengolah batik atau menjadi seorang desainer. Setelah menyadari passion terbesarnya adalah dunia mode, Lulu pun memutuskan menjadi perancang busana.

Dengan pilihan itu, sejak lulus kuliah, tepatnya tahun 2006,  Lulu aktif mencari referensi gaya busana yang akan menjadi ciri khasnya. Dari sinilah, seleranya tumbuh. Pria yang memiliki hobi melukis ini menyukai konsep rancangan desainer asal Jepang. Sebut saja, Kenzo Takada dan Yohji Yamamoto.  

Dengan berkiblat pada mode busana di Negara Matahari Terbit itu, Lulu pun mengusung teknik  drapping sebagai konsep desainnya. “Saya memilih menggunakan teknik drapping juga karena unik dan beda dengan yang lain,” jelas dia.   

Berbeda dengan pembuatan baju dengan pola yang mengungkung badan, dengan teknik drapping akan terlihat rancangan seperti dililit, ditumpuk dan diikat dengan cantik. Boleh jadi, pakaian akan tampak asimetris antara sisi kanan dengan sisi kiri. Biasanya, rancangan dibuat dengan langsung menempelkan kain pada manekin atau tubuh manusia.

Tak berhenti pada pemilihan teknik pembuatan pola, Lulu juga memilih hanya menggunakan kain nusantara untuk menemukan ciri khas rancangannya. “Jadi, kalau orang tanya DNA produk saya, drapping salah satunya, lainnya adalah kain nusantara dan styling,” ujar dia. Detail yang meliuk-liuk, berlapis dan asimetris dengan teknik drapping menjadi ciri khas Lulu.  


Perempuan berkarakter
Sebagai seorang desainer yang ingin meluncurkan produk ready to wear, Lulu harus menyiapkan konsep dan perencanaan yang matang. Tak hanya menentukan ciri khas rancangan yang akan mendongkrak nilai jual, dia juga mesti melihat potensi pasar pasar yang bakal berkembang pada saat itu.  

Asal tahu saja, pemilihan konsep drapery juga berlandas pada perkembangan pasar busana pada saat itu. Lulu melihat, saat itu, pasar busana yang didominasi kaum wanita membutuhkan produk berkarakter. Banyak wanita yang punya daya beli ingin tampil sebagai trensetter dibanding follower. “Wanita-wanita seperti itu ketika memilih baju enggak mau sama. Inilah yang menjadi keyakinan saya, pasti akan ada konsumen dengan konsep yang saya tawarkan,” ujar dia.

Namun, dia juga tak ingin, desain yang unik dan berkarakter ini hanya terlihat di majalah atau panggung catwalk. Sebab, setiap meluncurkan produk busana, Lulu selalu memegang  pedoman, selain unik, rancangannya harus realistis. “Unik itu sangat terlihat secara visual, sementara realistis adalah bajunya bisa dipakai ke kantor, pesta dan lainnya,” terang pria yang berulang tahun setiap 30 April ini. Dengan kata lain, baju itu punya daya pakai dan daya jual yang tinggi.

Lulu meluncurkan produk ready to wear pada 2012 dengan label seperti namanya, Lulu Lutfi Labibi. Untuk mewujudkannya produknya punya daya pakai dan daya jual, Lulu meminta konsumennya menggugah foto saat mereka mereka mengenakan baju rancangannya ke media sosial. “Dengan cara itu, orang bisa melihat koleksi saya bisa dipakai untuk acara apa saja,” kata Lulu.

Bukan saja artis, produk Lulu Latfi Labibi disukai konsumen dari beragam profesi. Mereka pun bisa mengombinasikan rancangan Lulu dengan pakaian lainnya. Dokter, misalnya, bisa memadukan koleksi Lulu dengan baju dinasnya.  

Lulu juga rajin mengikuti kompetisi busana demi membangun nama. Pada 2012, Lulu terpilih sebagai pemenang dalam Lomba Perancang Mode (LPM) yang melambungkan namanya di kalangan pencinta mode tanah air.   

Hanya butuh waktu satu tahun bagi Lulu untuk membuat produknya melejit di pasar busana. “Tahun 2013, respons masyarakat sangat baik dan menerima konsep saya, bahwa drape top lurik, misalnya, sangat realistis ketika dipakai ke kantor atau acara malam hari,” kata Lulu. Sebagai nilai tambah, Lulu memberi panduan styling untuk pelanggannya.

Strategi branding pun menjadi kunci sukses untuk menembus pasar. Untuk menguatkan brand Lulu Lutfi Labibi, dia menggandeng sejumlah pesohor di negeri ini untuk memakai koleksinya. Selain itu, untuk menjaga eksklusivitas, Lulu juga membatasi produksi tiap koleksi hingga 50 helai untuk tiap model. “Kecuali koleksi best seller yang terus saya produksi,” ujar dia. Produk Lulu dibanderol dengan harga mulai Rp 975.000–Rp 5 jutaan.

Meski sebagian besar konsumennya datang dari Ibukota, Lulu membangun workshop dan gerainya di Kotagede, Yogyakarta. Dari sanalah, dia meluncurkan koleksi-koleksi baru setiap enam bulan sekali. Seringkali, pelanggan juga menyambangi gerainya yang hangat dan kental dengan nuansa Jawa.

Hingga kini, Lulu masih mendesain dan menentukan konsep semua produknya. Bukan hanya desain baju, dia juga menggambar motif, baik lurik atau batik untuk produk busananya tersebut. “Saya desainer sekaligus konseptor,” kata pria kelahiran Banyumas ini.

Untuk bahan kain tradisional, selain mendapat pasokan dari pembatiknya sendiri, Lulu juga menjalin kerjasama dengan pembatik di Klaten dan Bandung. Sedangkan, pasokan lurik diperolehnya dari perajin lurik di Klaten. “Mereka menerima desain khusus dari saya,” ujar Lulu.     


Tantangan konsep baru
Mengusung konsep baru di industri mode busana melahirkan sebuah tantangan bagi Lulu Lutfi Labibi. Saat memutuskan untuk menekuni produk busana dengan teknik drapping, Lulu menyadari akan menghadapi tantangan yang cukup menguras energi.  

Menurut dia, tantangan itu bukan soal dia membuat konsep yang kuat, tapi bagaimana waktu itu masyarakat Indonesia melihat rancangan berkonsep drapping. “Pakaian itu mau dipakai dalam acara seperti apa,” jelas dia. Oleh karena itu, saat meluncurkan produk ready to wear pada 2012, dia menganggapnya sebagai masa pemanasan.

Lewat respons yang diterima melalui media sosial Facebook, Lulu mengetahui produknya bisa diterima baik oleh masyarakat. “Orang-orang bisa melihat ternyata cutting ‘berat’ dekonstruktif itu realistis,” ujar Lulu, yang waktu pengenalan juga menyiapkan tutorial pemakaian drapping kepada konsumennya.


Teori Wabi Sabi
Kini, bukan cuma perempuan yang jadi pasar Lulu Lutfi Labibi. Seperti terlihat di akun Instagram Lulu Lutfi Labibi, Lulu juga menyiapkan rancangan bagi pria dengan tetap mengusung teknik drapping dan kain tradisional sebagai ciri khasnya.

Namun, dia tak mau egois pada idealismenya. Untuk mempertahankan pasar, dia selalu melihat apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pasar tanpa harus meninggalkan karakter brand Lulu Lutfi Labibi. “Selalu membuat kebaruan dan desain yang unik tapi tetap realistis,” ungkap Lulu yang menyimpan mimpi membuka butik di Jakarta.  

Pengaruh estetika Jepang pun menjadi acuan dan mood dalam merancang. Dia mengatakan, teori Wabi Sabi  selalu menjadi kunci dalam berproses kreatif. “Wabi Sabi adalah teori tentang estetika keindahan pada suatu hal yang tidak sempurna,” ujar pria 33 tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×