kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Manfaatkan kekayaan serat bumi pertiwi jadi komoditas


Kamis, 02 September 2010 / 10:06 WIB
Manfaatkan kekayaan serat bumi pertiwi jadi komoditas


Reporter: Anastasia Lilin Y, Raymond Reynaldi | Editor: Tri Adi


Tahukah Anda jika kain dari serat alam sudah dikembangkan di tanah air sejak dahulu kala? Para perajin yang menghadirkan produk berbahan serat alam ini menyasar pasar menengah ke atas. Potensi bisnis ini masih terbuka lebar lantaran jumlah pemainnya belum terlalu banyak.

Produk ramah lingkungan juga diusung para pelaku industri tekstil. Jenis tekstil yang cukup ramai diperbincangkan, berbahan dasar serat alam, seperti nanas, anggrek, dan batang pisang.

Sejatinya, jenis tekstil berbahan serat alam ini bukanlah hal baru. Menurut perajin batik Benny Adrianto, tekstil berbahan serat alam adalah bagian dari kekayaan kain adat di Indonesia.

Pemilik usaha batik Djawa di Jakarta Selatan ini mendapat pasokan bahan baku kain serat alam dari dalam negeri. "Beberapa tempat memang terkenal dengan produk kain serat alamnya masing-masing," kata Benny.

Kain dari serat nanas dan batang pisang, misalnya, diambil Benny dari daerah Jepara dan Pemalang, Jawa Tengah. Sementara kain dari serat anggrek berasal dari Kalimantan Timur.

Jenis kain berbahan serat anggrek di Kalimantan Timur disebut Ulap Doyo. Ini adalah kain khas tradisional yang dibuat dengan cara ditenun ikat. Rata-rata pengerjaaan kain dari serat alam ini memang seperti itu.

Sebenarnya, masih ada satu lagi bahan serat yang digunakan, yakni serat daun rotan. Untuk pembuatan kain ini, Benny menjalin kerjasama dengan masyarakat Suku Baduy Dalam di Banten.

Untuk mempermudah langkahnya, Benny menggandeng Dewan Kesenian Daerah setempat untuk menjadi penghubung dengan para perajin.

Benny mengolah lagi kain berbahan serat alam tersebut dengan cara dibatik. Motifnya cenderung kontemporer. Kemudian, kain batik tersebut dibuat aneka produk interior rumah.

Baru tiga tahun terakhir ini Benny terjun ke bisnis kain serat alam. Melimpahnya bahan baku berupa serat alam di bumi pertiwi menjadi pendorongnya terjun ke bisnis ini.

Selain itu, besarnya pasar mendorongnya merambah usaha ini. Benny melihat belum banyak pebisnis yang memanfaatkan kain yang bersumber dari kekayaan lokal ini. Padahal, potensi pasarnya besar.

Pasar yang masih menganga lebar itu terutama dari segmen menengah ke atas dan luar negeri.

Harga jual produk berbahan serat alam tak murah, karena dibuat secara manual. Harga produk buatan Benny antara Rp 500.000-Rp 3,5 juta per satuan. Ini harga untuk produk seperti wall hanging, sarung bantal, dan kap lampu. "Omzet saya sebulan Rp 50 juta-Rp 60 juta," katanya.

Produk tersebut diserap pasar di Jakarta. Dari ibukota negara, produk buatan Benny melancong hingga ke mancanegara. Seperti Norwegia, Jepang, dan Amerika Serikat.

Meski pasar produk berbahan serat alam ini menggiurkan, tak dipungkiri jika bisnis ini tak luput dari kendala. Masalah paling berarti yang dialaminya justru pada sumberdaya manusia (SDM) penggarap tenun ikat.

Benny bilang, memang bahan baku seratnya banyak. Namun, para perajin tenun ikat masih harus sering didorong-dorong agar mau memproduksi kain tersebut.

Senada dengan Benny, Sancaya Rini juga membuat produk batik berbahan serat alam. Motif yang dipilihnya juga motif kontemporer alias kreasinya sendiri.

Namun, Rini, demikian dia biasa disapa, lebih banyak memakai serat nanas. Dia terjun ke bisnis batik sejak 2005.
Aneka kain dari serat alam yang sudah dibatik tersebut dibuatnya dalam berbagai ukuran sesuai peruntukannya. Ada yang berupa kain panjang dan ada pula selendang atau scarf. Ada yang menjadi baju pria dan wanita.

Harga tiap produknya berbeda-beda. Harga scarf dan selendang berbahan sutera Rp 250.000-Rp 950.000. Adapun harga kain panjang berbahan sutera sekitar
Rp 1,3 juta- Rp 2 juta, dan kain panjang berbahan lain sebesar Rp 650.000 - Rp 1,2 juta. Untuk kemeja, Rini membanderol seharga Rp 300.000 - Rp 1,2 juta per helai.

Dalam sebulan, Rini bisa memproduksi 100 selendang atau 30 kain panjang. "Omzet saya masih di bawah Rp 25 juta, tapi bagi saya sudah bagus," katanya.

Rini meyakinkan jika prospek bisnisnya sangat bagus, lantaran nantinya semua produk akan mengarah ke produk-produk yang ramah lingkungan.

Sependapat, Lila, pemilik toko batik Lilacs, menyatakan, kain batik dari bahan serat seperti serat nanas tengah naik daun. Selain ramah lingkungan, bahan serat ternyata juga nyaman dipakai. Tak heran bila banyak pelanggannya mencari pakaian dari kain serat nanas tersebut.

Lila mengatakan, penjualannya sejak Juli lalu meningkat dibandingkan bulan biasa. Dua bulan terakhir ini, dagangan Lila bisa laku terjual sekitar tiga kodi saban bulannya. Padahal, biasanya, dia paling banyak menjual dua kodi per bulan.
"Biasanya setelah Lebaran akan turun, dan penjualan akan kembali naik pada akhir tahun," imbuhnya.

Dia menjual harga kain serat nanas berukuran dua meter Rp 150.000. Dengan perhitungan penjualan tiga kodi per bulan maka omzet Lila mencapai Rp 9 juta.

Lila tidak memproduksi sendiri kain serat nanas yang dia jual tersebut. Dia mengumpulkan stok kain dari para perajin di Pekalongan. "Tiap minggu ada dua atau tiga perajin mengantar kain. Tiap perajin bisa memasok sampai lima lembar kain," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×