kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membaca untung dari buku kreatif anak


Senin, 21 November 2016 / 14:28 WIB
Membaca untung dari buku kreatif anak


Reporter: Oginawa R Prayogo, Ruisa Khoiriyah | Editor: S.S. Kurniawan

Ajang obral buku internasional Big Bad Wolf Book Sale yang baru hadir di Indonesia tahun ini menyuguhkan fenomena baru. Gelar obral jutaan buku yang kebanyakan buku impor itu, menjadi trending topics bukan cuma di komunitas para pencinta buku.

Kalangan keluarga muda juga tak kalah heboh. Maklum, di ajang obral buku itu pengunjung bisa mendapatkan buku dengan diskon hingga 80%.

Banyak buku anak impor yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Usaha jasa titip pembelian buku pun panen pesanan. Tengok saja di ajang BBW di Surabaya yang berlangsung selama 11 hari hingga akhir 31 Oktober lalu.

Icha Lysa Octaviani, seorang debutan personal shopper buku anak dari Surabaya mengaku bisa membukukan order pembelian belasan juta rupiah setiap kali membuka jasa titip beli di ajang BBW itu.

Untuk jasanya, Icha mengutip fee minimal 10%. “Ketika saya gelar live shop kemarin, pembelian mencapai Rp 17 juta,” cerita Icha sumringah, kepada Tabloid KONTAN.

Animo para orangtua muda pada buku anak memang tinggi. Bukan cuma royal membelanjakan uang untuk kebutuhan primer anak, para orangtua muda juga tak segan menghabiskan uang jutaan rupiah untuk membeli buku demi anak mereka. Bahkan, ketika anak mereka baru bisa merangkak.

Keinginan untuk terus menstimulasi tumbuh kembang anak didukung oleh kekuatan finansial, menjadi kombinasi apik yang membuat pasar buku anak menggiurkan sebagai ladang bisnis.

Itu pula yang dilihat oleh Devi Raissa, pendiri dan pemilik usaha penerbitan buku anak Rabbit Hole. Usaha pembuatan buku anak yang baru berdiri tahun 2014 itu dirintis oleh Devi dengan modal awal Rp 15 juta.

Harga buku dia lepas mulai harga Rp 24.750 hingga Rp 165.000 per eksemplar. Walau baru berjalan dua tahun, usaha Devi saat ini sudah mampu membukukan omzet penjualan 4.000 eksemplar setiap bulan, sekitar Rp 400 juta per bulan.

“Belakangan, penjualan semakin tinggi padahal di awal tahun penjualan tak sampai 1.000 eksemplar,” cerita Devi, gembira.

Devi yang berlatarbelakang sebagai seorang psikolog anak, mengendus peluang dari kekosongan produk buku anak yang bagus dan atraktif di Indonesia.

“Banyak orangtua bercerita, buku anak buatan Indonesia sangat jarang, kebanyakan adalah buku impor yang harganya mahal. Di situ saya melihat sebagai peluang,” terang Devi.

Perempuan 29 tahun itu menggali ide dan membuat sendiri isi buku, lalu mencari ilustrator. Buku anak membutuhkan tampilan semenarik mungkin agar anak tidak bosan.

Buku produksi Devi juga dilengkapi dengan fitur pop-out, gunting tempel, dan fitur lain yang dipercaya bisa merangsang tumbuh kembang anak.

Bila di awal usaha, Rabbit Hole memproduksi buku yang menyasar segmen anak usia 3 tahun sampai 7 tahun, kini, usaha publishing ini juga melebarkan segmen untuk bayi usia 6 bulan hingga 3 tahun.

Pemain lain yang juga menikmati gurih bisnis penerbitan buku edukatif untuk pasar anak adalah Khairun Nisa, pendiri dan pemilik Menthilis Project.

Produk yang ditawarkan Menthilis berbentuk unik dan tidak melulu berupa buku dengan lembaran kertas sebagaimana biasa.

Sesuai tagline, paket kreativitas anak, kebanyakan produk Menthilis berbentuk kotak atau boks berisi mainan edukatif dari kertas atau karton, ada pula buku stiker, rumah boneka, papan gambar, dan lain sebagainya.

Jadi, anak diajak untuk bermain aktif dengan buku tiga dimensi, tidak sekadar membaca.

Produk kreatif yang dijual oleh Menthilis mendapat sambutan bagus dari pasar. Nisa mengklaim, sejak berdiri tahun 2013 lalu, sekarang ini Menthilis mampu menjual sekitar 300 dus  sampai 500 dus dengan harga jual mulai Rp 190.000.

Di awal usaha, Nisa mengaku meraih untung bersih sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan. “Sekarang sudah bisa Rp 30 juta per bulan,” ujar dia.

Pemain belum banyak

Bisnis buku edukasi dan stimulan kreativitas anak seperti yang dijalankan oleh Devi dan Nisa memang menawarkan untung menggiurkan. Dengan pasar spesifik, usaha pembuatan segmen buku ini memungkinkan pelaku usaha mengambil keuntungan tak terbatas.

Maklum, produk buku anak dengan kelengkapan fitur untuk menstimulasi tumbuh kembang anak, masih sedikit pemain di Indonesia. Pesaing utama kebanyakan adalah buku impor.

Sedang pemain-pemain lama seperti Bhuana Ilmu Populer (BIP), Cikal Aksara, Erlangga Kids, dan lain-lain, kebanyakan tidak menggarap segmen buku 3D ataupun pop-out book.

Bahkan, beberapa penerbit memilih meninggalkan segmen pasar buku untuk bayi yang umumnya membutuhkan kertas karton (board books). “Biaya produksi lebih mahal sehingga agak sulit memberi harga yang kompetitif pada konsumen,” terang Nofiandi Riawan, Managing Director Cikal Aksara, lini buku anak Agromedia Group.

Ini bisa bisa menjadi peluang bagi pemain-pemain baru untuk turut menggarap kue pasar.

Anda yang tertarik menjajal peluang bisnis segmen ini, ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan:

Pertama, buku edukasi dan kreativitas anak sangat mengandalkan kekuatan konten dan ilustrasi. Selain juga teknis tampilan buku. Anda perlu memastikan sudah memiliki tim ide yang kuat untuk konten buku.

Penulis konten buku anak sebenarnya banyak di pasar.  Tapi, belum tentu Anda bisa mudah menemukan penulis dengan konten sesuai harapan dan standar Anda.

Bahkan, boleh jadi Anda butuh berkonsultasi dengan psikolog anak sebagai penasihat konten. Hal ini dilakukan oleh Nisa ketika menggodok sebuah ide buku.

Di sisi lain, menyiapkan sebuah buku juga memakan waktu lama. Pasalnya, fitur seperti gunting tempel juga membutuhkan tes pasar ke anak-anak langsung. “Karena belum tentu yang menarik bagi kita, menarik di mata anak,” kata dia.

Kedua, segmen buku ini biasa dilengkapi dengan fitur pop-out, 3D, gunting tempel, membutuhkan dua kali kerja dan biaya. Rabbit Hole, sebagai contoh, mencetak materi lembaran kertas di percetakan.

Percetakan biasanya memberi batas minimal cetak sekitar 1.000 eksemplar. Devi mencatat, biaya percetakan memakan 60% total biaya produksi.

Setelah dari percetakan, proses selanjutnya seperti menempel, finishing hingga pengemasan, mereka tangani sendiri. Buntutnya, Devi banyak merekrut karyawan untuk menggarap proses tersebut.

“Ini untuk mengantisipasi kesalahan oleh percetakan. Karena kalau salah, harus cetak ulang dan berarti biaya lagi,” kata Devi.

Ketiga, edukasi pasar. Masyarakat kita belum seluruhnya akrab dengan produk buku edukasi dan kreativitas seperti ini. Ide dan kreativitas produsen menjadi nilai jual utama.

Harga pun relatif lebih mahal dibanding buku anak umum. Pelaku usaha perlu aktif mengedukasi pasar tentang nilai produknya sehingga pemasaran bisa dikerek lebih kencang.

Berani mencoba?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×