kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menabur laba di lukisan pasir yang masih terbuka


Senin, 21 Maret 2011 / 15:14 WIB
Menabur laba di lukisan pasir yang masih terbuka
ILUSTRASI. Para peneliti yang berasal dari Universitas Cambridge, Inggris dan Jerman menemukan, ada tiga varian berbeda dari virus corona baru. Mereka menyebutnya sebagai A, B, dan C.


Reporter: Ragil Nugroho, Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Lukisan tak melulu harus berasal dari sapuan cat. Kini, pasir pun bisa membentuk sebuah lukisan yang indah. Hanya, pemasaran lukisan pasir masih terbatas pada orang-orang terdekat sang seniman. Meski begitu, prospek lukisan ini sangat baik.

Selama berabad-abad suku Indian Navajo telah menggunakan lukisan pasir dalam ritual keagamaan dan penyembuhan. Lukisan pasir itu mulai dibuat ketika ritual dimulai dan dimusnahkan saat ritual berakhir.

Kini, seni melukis dengan pasir itu bisa dinikmati di Tanah Air. Beberapa seniman pun mulai melirik seni lukis yang antik ini.

Salah satunya, Wawan Munawar. Sejak setahun lalu, Wawan mulai menggeluti seni lukis pasir. Ia mendapat pengetahuan soal melukis pasir dari seorang temannya di Tasikmalaya, Jawa Barat. "Teman saya membuat kaligrafi pasir dan saya mengembangkannya ke realis," kata Wawan.

Dalam sepekan, Wawan bisa membuat satu lukisan pasir. Harga jual lukisan itu sesuai dengan apresiasi calon pembeli. Lukisan berjudul Tiga Dara misalnya, dilepasnya dengan harga Rp 750.000.

Wawan menjual lukisan termurah dengan ukuran A3 seharga Rp 150.000, sementara lukisan termahal yakni lukisan kaligrafi berharga Rp 2,5 juta.

Pembeli lukisan pasir hasil karya Wawan ini baru berkisar teman-temannya saja, dari Ciamis dan Bali. “Sejauh ini, pesanan paling banyak kaligrafi. Kalau realis saya harus lihat dulu gambarnya,” kata Wawan.

Wawan fokus memakai pasir alami, tanpa sentuhan pewarna sedikit pun. Ia memanfaatkan pasir sungai dan pantai karena butiran pasirnya lebih bulat. Ia mendapatkan pasir dari Tasikmalaya. Pasir yang dipakai harus benar-benar kering. Sebelum ditabur, Wawan menyaring pasir terlebih dulu supaya butirannya seragam.

Setelah pasir siap, ia pun mulai membuat pola di atas media dengan menggunakan alat tulis waterproof. Alat antiair ini berguna mencegah pola hilang saat dilapisi lem.

Setelah mengolesi lem sesuai dengan pola dan warna yang direncanakan, pasir pun mulai ditaburkan. Pelapisan pasir tak hanya dilakukan sekali. Wawan melakukannya berulang-ulang sampai diperoleh ketebalan yang sama. Pengerjaan satu lukisan pasir berukuran 50 x 50 cm membutuhkan waktu empat hari.

Sementara itu, Cin Pratipa Hapsarin dan Untara, keduanya berada di bawah bendera Desain Komunikasi Indonesia, menghasilkan lukisan pasir berbagai bentuk. Mulai dari wayang, yang beraliran realis, hingga lukisan orang atau binatang yang lebih dekoratif. Berbeda dengan buatan Wawan, produk Desain Komunikasi lebih menekankan corak hitam putih.

Menurut Cin, pasir yang digunakan harus pasir pantai yang tidak terlalu berat supaya mudah dipindah ke kanvas. "Pasir yang paling bagus biasanya kami ambil dari daerah Wonosari dan Selatan Yogyakarta," ujarnya.

Dengan harga mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 2,5 juta, mereka bisa menjual sekitar 10-20 lukisan per bulannya. Saat ini, mereka baru memasarkan ke teman-teman dekat saja. "Nanti, kami juga akan mencoba pemasaran lewat pameran," ujar wanita menggeluti bisnis ini sejak tahun 2008.
Mayoritas pemesan lukisan klasik biasanya datang dari pasangan yang akan melangsungkan pernikahan atau pun merayakan momen perayaan ulang tahun.

Cin menilai, prospek bisnis ini masih sangat baik. Selain pemainnya masih sedikit, produk ini memiliki nilai klasik yang tinggi sehingga tak terpengaruh tren atau musiman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×