Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minum kopi sudah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini. Gerai-gerai kopi kekinian dengan berbagai inovasi juga mudah dijumpai di berbagai daerah terutama kota-kota besar.
Berbagai daerah di Indonesia tentunya memiliki masing-masing kopi lokal andalan yang memiliki ciri khas sendiri. Mulai dari robusta hingga arabika ada dari Aceh hingga Papua. Kondisi geografis tiap daerah yang berbeda membuat rasa kopi dari satu daerah dengan lainnya belum tentu sama.
Melonjak tren kopi tentunya dirasakan oleh para petani kopi sekaligus juga sebagai pebisnis. Diantara adalah M. Al Ghazali owner dari brand Dr. Coffee asal Lampung. Mulai memasarkan produk kopi asli Lampung pada 2014 Al sapaan akrabnya menyebut tahun ini ia penjualannya naik hingga 30 kali lipat dari awal ia memulai bisnis kopi.
Baca Juga: Harum aroma kopi menyerbak di Kota Tua
"Bagus trennya karena kita sudah mulai di tahun 2015, saya buka kedai 2015, tapi sebelum buka kita sudah jualan kopi dalam kemasan 2014. Kita rasakan peningkatannya. Awal itu per bulan di bawah Rp 10 juta, sekarang udah 30 kali lipatnya. Kerasa banget. Semakin ke sini makin bagus tren bisnis kopi," jelas Al saat ditemui KONTAN di acara Festival Kopi Nusantara di Kota Tua Jakarta, Rabu (18/9).
Pameran menjadi ajang dirinya melebarkan sayap produk Dr. Coffee. Al menyebut dengan mengikuti pameran selain memperkenalkan produknya di tempat lain, ijuga sebagai ajang bertukar informasi dengan sesama pelaku bisnis dan petani kopi dari daerah lain.
"Sebenarnya tantangan kita semakin ke sini itu mengenai semakin baru, upgrade terus, kemarin ada Jakarta coffee week 2019 sebelum festival ini, kita harus ikuti perkembangan sekarang. Ikut pameran jadi ajang kita tukar ilmu sama yang lain nambah link juga," sambungnya.
Al menyebut ia memang fokus pada pelebaran ranah domestik karena memang melihat tren permintaan yang sangat tinggi. Jakarta menjadi tujuan Dr. Coffee lebarkan sayap, tahun depan saja ditargetkan sudah rambah Jakarta dengan adanya Coffee shop sekaligus roastery.
Baca Juga: Kemenperin usul PPN impor kakao jadi 0%
Dr. Coffee bekerjasama dengan dua kelompok tani di Lampung, tepatnya di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat. Tahun ini saja Al menjelaskan mampu panen fine robusta 10 ton. 80% hasil panen kopi dibuat honey proses, sisanya adalah untuk natural proses dan wine proses.
"Wine kita tahun ini hanya satu ton saja, natural juga. Kenapa banyak honey karena demand honey proses ini tinggi. Luasan lahan kita ada 5-7 hektar," kata Al.
Lebih lanjut mengenai pemasaran Al menceritakan, sebagian besar penjualan diserap oleh coffeshopnya, lalu juga beberapa gerai kopi susu dengan brand Kopi Susu John yang sudah diwaralabakan.
Marketplace juga digunakan sebagai media pemasaran namun Al menyebut lantaran banyaknya pelaku lain maka pasar besar diserap oleh coffes shop.
Baca Juga: Sudah 90% transaksi lewat digital, Mandiri perkuat transaksi elektronik lewat kopi
Berbicara ekspor Dr. Coffee juga sedang melakukan penjajakan untuk tembus pasar luar negeri. Al menceritakan beberapa waktu lalu ia sudah mengirim beberapa sampel kopi miliknya ke Belanda. Secara kualitas fine robusta Lampung diakui masuk kualitas bagus di negeri kincir angin tersebut. Sayangnya, lantaran harga belum menemukan kesepakatan maka belum dilakukan ekspor.
Harga produk Dr. Coffee sendiri dibandrol mulai dari Rp 180.000 hingga Rp 250.000. Harga tertinggi tentunya dipatok untuk produk wine coffee. Produk robusta lampung Dr. Coffee ada empat proses pasca panen yaitu, honey proses, full wash proses, wine proses, dan natural proses. Produk tersebut merupakan single varietas dari varietas tugusari dan lengkong.
Cerita kopi lokal yang ingin berjaya di domestik juga datang dari kopi asal Papua. Mengusung brand Wamena Arabica Coffee Jonathan Adhi Karnanta memulai bisnis sejak tahun 2011. Produknya dihasilkan dadi 4 kelompok tani di Wamena.
"Kita ada Coffee Shop Wamena Coffee di bandara Wamena dan juga kebun sendiri sekitar 2 hektar," kata Jonathan.
Sekali panen dijelaskan Jonanthan dalam satu hektar mampu menghasilan 500-700 kilogram dalam bentuk green bean. Jenis kopi yang digunakan oleh Wamena Coffee adalah arabica karena kondisi geografis Wamena yang memang cocok ditanami jenis ini.
Sama halnya seperti Al, Jonathan juga menyebut potensi bisnis kopi saat ini sangat menjanjikan. Terlebih Indonesia merupakan produsen kopi terbesar yang ada.
"Saya yakin ke depannya harga kopi akan terus naik dan mahal karena posisinya pertumbuhan penduduk semakin banyak dan lahan semakin sempit jadi ke depannya kopi ini menjanjikan," tuturnya.
Baca Juga: Saat netizen mengusulkan nama ibu kota baru, ada yang serius ada yang bikin senyum
Pemasaran produk Wamena Arabica Coffee saat ini masih di pasar lokal seperti Sorong, Manado, Denpasar, Surabaya, Jakarta. Ia menjelaskan fokus penjualan memang baru di domestik lantaran terbentur ongkos kirim dari Wamena yang cukup tinggi.
"Kita belum ada di e-commerce karena jujur jaringan internet masih jadi kendala. Kita mau upload foto di facebook aja butuh 30 menit. Jadi selama ini penjualan kita manual aja," katanya.
Sebenarnya pasar online memang memungkinkan namun lagi Jonanthan menyebut biaya pengiriman menjadi kendala. Ia berharap ada upaya pemerintah untuk menurunkan biaya ekspedisi terutama bagi para pelaku umkm.
Ia sendiri juga menyebut kerap mengikuti acara pameran kopi dengan tujuan yang sama dengan pebisnis kopi lain selain memasarkan via konvensional.
Sama seperri Dr. Coffee Lampung, Wamena Arabica Coffee juga belum sentuh pasar ekspor. Lantaran kembali segi harga belum ada yang sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Ada pernah beberapa tahun lalu tawaran ke luar, mereka kasih harga murah tapi grade satu. Padahal kalau segi rasa kopi Wamenan ini hampir sama Jamaica blue mountain coffee," terang Jonathan.
Keunggulan Wamena Arabica Coffe selain segi rasa mirip kopi termahal di dunia yaitu juga organik dari segi penanaman, tanpa menggunakan pupuk kimia.
Baca Juga: Orang butuh koneksi stabil dan on terus
Fokusnya saat ini adalah memenuhi pasar domestik yang tengah mengalami demand yang tinggi. Wilayah Wamena dan sekitaran Papua menjadi fokusnya. Jika ada permintaan ekspor pun Jonathan menyebut ia mungkin baru bisa memenuhi kuota yang kecil dahulu. "Kita serap ke coffeshop kita yang utama," katanya.
Potensi kopi memang besar namun kembali perlu ada peningkatan dari SDM agar petani mampu memproses pasca panen dengan benar.
Wamena Arabica Coffee memiliki porduk dengan proses Full Wash dan Natural proses. Namun permintaan paling tinggi ada pada full wash, hal tersebut lantaran natural proses kerap terkendala cuaca di Wamena yang tak menentu. Wine proses dan honey proses juga di produksi Wamena Arabica Coffee namun ia masih tergantung permintaan pembeli.
Saban bulan normalnya rata-rata ia mampu menjual 200 hingga 500 pack dengan ukuran per 200 gram. Biasanya Jonanthan menitipkan produknya ke mall atau supermarket selain menjual dalam bentuk olahan kopi di coffe shop miliknya.
Baca Juga: Laba usaha jus buah masih menyegarkan
Green bean Wamena Coffe dibandrol Rp 120.000 perkilogram, dan untuk roasted bean Rp 70.000 per 200 gram untuk harga di Wamena. Tantangan saat ini di bisnis kopi adalah pemerintah perlu memperketat penjualan kopi dari daerah. Atau dengan kata agar tak ada pemalsuan kopi dari daerah tertentu terutama di pasar e-commerce.
"Ya pernah beli di online dibilang kopi wamena saya roasting itu beda sama kopi wamena, kan kita tahu khas kopi wamena seperti apa," ungkap Jonathan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News