kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45910,60   -12,89   -1.40%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menganyam laba dari usaha tikar khas Lamongan


Kamis, 10 Februari 2011 / 15:23 WIB
Menganyam laba dari usaha tikar khas Lamongan
Jeff Bezos dan Elon Musk adalah dua pemimpin perusahaan paling inovatif dengan misi berani saat ini


Reporter: Gloria Natalia, Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Lamongan, Jawa Timur, merupakan salah satu sentra pembuatan tikar. Hebatnya, sebagian besar pembuatnya adalah para petani yang menjadikan usaha tikar sebagai pekerjaan sambilan. Dengan mengupah para petani inilah, seorang pengusaha tikar bisa memproduksi hingga 1.000 tikar sehari.

Bagi petani di Lamongan, Jawa Timur, membuat tikar hanyalah sebuah pekerjaan sambilan. Namun, di mata Imamul Badri, tikar-tikar yang lahir dari tangan-tangan terampil petani Lamongan itu adalah tambang uang.

Badri membuka usaha tikar khas Lamongan dengan merek Elresas sejak 1992. Ia mengumpulkan alas berbahan baku benang dan tali rafia yang dianyam itu dari sekitar 1.000 petani Lamongan. "Itu pekerjaan sampingan, kalau musim panen, mereka tidak kerjakan," kata pria 52 tahun ini.

Bahan baku tikar berasal dari Badri. Saban hari, ia memasok 5 kuintal benang polipropiline dan poliester serta 2 ton tali rafia ke para petani. Ia membeli semua bahan baku itu dari pabriknya langsung di Surabaya dan Bandung, yang kemudian diantarkan ke rumah-rumah petani.

Untuk setiap tikar yang proses pembuatannya membutuhkan waktu tiga hari, Badri membayar Rp 12.000. Sekali jemput, ia bisa memperoleh 1.000 tikar beraneka warna. Kelir yang paling dominan adalah, merah, hijau, dan biru.

Badri lalu menjual tikar ukuran 2x3 meter yang terbuat dari benang dengan harga Rp 48.000-Rp 80.000 per unit. "Bahan baku semua dari benang, maka lebih kuat dan empuk," ujarnya.

Selain di Pulau Jawa, Badri juga memasarkan tikar Lamongan ke Sumatra. Tapi, permintaan terbanyak memang dari pedagang di Jakarta.

Walau memiliki pasar yang besar, ia tetap terkendala dengan meroketnya harga bahan baku tikar. Saat ini, harga benang polipropiline mencapai Rp 29.000 per kilogram, naik 10% ketimbang dua bulan sebelumnya. Harga benang poliester juga naik menjadi Rp 28.000 sekilogram. Namun, "Saya tidak bisa menaikkan harga jual tikar. Bisa-bisa konsumen pada protes," ungkap Badri.

Beda dengan Badri yang mengandalkan penuh petani untuk membuat tikar. Syaiful Wakhid memproduksi tikar Lamongan bermerek Cak Ipung di pabriknya dengan memperkerjakan 50 karyawan. Adapun petani dipekerjakan dengan sistem freelance. "Namun, proses finishing dilakukan di pabrik. Kalau hanya mengandalkan dari petani saja cukup riskan," kata dia.

Dengan menggunakan bahan baku benang linen, Syaiful mampu mengantongi omzet dari penjualan tikarnya sampai Rp 100 juta per bulan. Usaha warisan keluarga ini dulunya fokus ke anyaman bambu. "Pindah ke tenun tikar karena tingginya permintaan," ujarnya.

Syaiful memasarkan tikarnya ke Jawa Tengah, Banten, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Sehelai tikar berukuran 3x2 meter, ia jual seharga
Rp 65.000. Tikar dengan ukuran 2x1,5 meter dihargai Rp 40.000, sedang harga tikar 1x2 meter Rp 30.000.

Namun, Syaiful tidak hanya membuat tikar. Ia juga memproduksi sajadah, taplak, dan tas. Produk-produk itu dia lego dengan harga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per unit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×