kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,70   -13,79   -1.49%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengintip produksi songket di Gelgel, Bali (3)


Kamis, 08 Juni 2017 / 10:05 WIB
Mengintip produksi songket di Gelgel, Bali (3)


Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Johana K.

Keahlian menenun masyarakat Desa Gelgel, Kabupaten Klungkung, Bali diperoleh secara turun temurun. Proses belajar menenun pun dilakukan sejak kecil. Namun, kini kegiatan menenun di desa ini minim pelestarian.

KONTAN berkesempatan mengunjungi salah satu rumah tenun bernama UD Dian yang ada di Dusun Pegatepan, Desa Gelgel. Rumah tenun milik Dian Agustini ini terdiri dari dua area, yakni area workshop dan area galeri.

Dian sendiri mendirikan rumah tenun ini sejak tahun 1996. Menurutnya, kala itu, Gelgel memang sudah terkenal dengan kain tenunnya. Rumah tenun UD Dian pun dibangun tak lepas dari sentuhan tangan sang mertua yang lebih dahulu melakoni kegiatan menenun. "Dulu ibu mertua saya yang penenun, saya belajar dari beliau," ucap Dian.

Dian  mengaku, awalnya cukup sulit untuk masuk ke pasaran karena memang mayoritas penduduk Gelgel kala itu sudah melakukan produksi kain tenun. Sebagai orang baru, ia pun sempat kesulitan menawarkan hasil produksi tenun ke pasar. "Dulu kami cuma taruh ke Pasar Klungkung," ujar Dian.

Setelah tragedi bom Bali 1 pada 2002, usahanya mulai berkembang. Pasalnya, saat itu pengepul kain tenun mulai gulung tikar satu per satu. Celah itulah yang ditangkap olehnya. Kini UD Dian sudah dapat dibilang mapan.

Selain memproduksi kain songket dan kain tenun sendiri di workshop miliknya, Dian juga menjadikan penenun lokal sebagai mitra. Saat ini setidaknya ada 50 penenun yang rutin mengumpulkan hasil tenunan mereka ke galeri milik Dian.

Sebagaimana kebiasaan masyarakat sekitar, usaha rumah tenun ini mulai diturunkan ke anaknya. Dian bilang, kini putra sulungnya lebih banyak mengelola aktivitas rumah tenun tersebut. Namun demikian, Dian mengaku tidak satu pun anaknya yang bisa menenun.

Dian mengakui, bahwa minat anak muda kini sangat rendah terhadap aktivitas tenun. Kebanyakan penenun yang bekerja pada Dian pun berusia 30-40 tahun. "Kalau anak-anak sekarang itu kan pelajarannya saja sudah susah, gimana mau belajar menenun," ucap Dian.

Kekhawatiran Dian akan punahnya budaya menenun di Gelgel mulai muncul. Sebab, belajar menenun cukup sulit. Butuh niat dan ketekunan hingga bisa menghasilkan songket dari Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang kini masih banyak digunakan di Gelgel.

Hal yang sama juga dirasakan Nyoman Sukerti. Salah satu penenun di Desa Gelgel ini bilang, perlahan-lahan minat warga untuk menenun mulai turun. "Teman-teman saya yang dulu menenun banyak yang dagang, atau ke sawah bantu suami," ujarnya.

Sukerti tak heran, karena memang sulit mendapat penghasilan yang besar dalam waktu singkat dengan menenun. Satu songket tenun butuh waktu pengerjaan hingga satu bulan.       n

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×