kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur cuan dari tempat kongko


Senin, 31 Oktober 2016 / 10:10 WIB
Mengukur cuan dari tempat kongko


Reporter: Dian Sari Pertiwi, Ruisa Khoiriyah | Editor: S.S. Kurniawan

Menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat, entah itu keluarga, kerabat, sahabat, atau kolega menjadi salah satu pilihan sebagian masyarakat untuk menyegarkan diri dari kepenatan rutinitas sehari-hari.

Berkumpul, berbincang, sembari mengudap makanan ringan, berfoto ria, lantas beramai-ramai mengunggah ke akun media sosial, jadi tradisi baru yang tidak kenal usia. Terutama di masyarakat urban.

Kalau Anda ingat, tradisi berkumpul dan narsis bersama-sama beberapa waktu lalu banyak mengambil lokasi di cafe, coffee shop, food court, restoran ataupun convenience store. Namun, kehadiran gerai-gerai dengan berbagai varian konsep itu seakan-akan tidak mencukupi.

Kini mulai bermunculan varian baru tempat nongkrong atau hangout dengan konsep baru. Di lingkungan perkotaan seperti sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang sekarang marak bermunculan tempat nongkrong berkonsep foodcourt atau biasa dikenal dengan istilah pusat jajan serba ada alias pujasera.

Di beberapa negara pujasera disebut juga foodhall.

Konsep pujasera, tempat nongkrong gaya baru ini membutuhkan lahan cukup luas. Sebagaimana foodcourt pada umumnya, pilihan menunya lebih banyak ketimbang gerai makan lazim.

Di satu gerai biasanya tersedia beberapa titik jual makanan dengan beragam menu. Misalnya, gerai menu khusus minuman, menu makanan berat, gerai makanan ringan, dan lain sebagainya.

Setiap transaksi juga berlangsung di gerai masing-masing. Jadi, bila pengunjung hendak membeli menu lengkap mulai dari menu berat, minuman hingga kudapan, dia harus mendatangi satu per satu gerai.

Namun, berlainan dengan pujasera biasa di mana setiap lapak makanan dimiliki oleh orang berbeda dengan akad sebagai penyewa, tempat nongkrong berkonsep foodcourt tidak disewakan tapi digarap sendiri. Meskipun tampilan gerai makanan dengan menu dan dapur berbeda-beda itu sejatinya dikendali satu bisnis.

Konsep inilah yang diterapkan oleh Eat Happens Food Place, gerai makan di Tebet, Jakarta Selatan. Gerai makan ini baru berdiri tahun 2015 lalu.

Bangunan seluas kurang lebih 400 m² dengan dekorasi bergaya industrial. Dinding-dinding berhias mural.

Berbeda dengan gerai makan biasa yang memiliki satu titik dapur saja, di Eat Happens kita bisa melihat empat titik penjualan menu atau biasa disebut station.

Menu di tiap stasiun berbeda-beda menurut jenis. Ada stasiun makanan berat, minuman, kudapan manis seperti kue cubit, ketan, cendol.

Terakhir, ada stasiun martabak. Beberapa stasiun ditampilkan dengan konsep open kitchen sehingga pengunjung bisa melihat proses saat si koki sedang masak.

Dua menu terakhir banyak disebut sebagai menu kekinian oleh kelompok anak baru gede di negeri ini. Martinus S. Susatyo, pemilik dan pendiri Eat Happens menuturkan, konsep pujasera dia pilih agar pengunjung memiliki banyak pilihan makanan, dengan suasana yang berbeda alias unik.

Pengunjung yang ingin mengudap satu menu, hanya perlu mengantre di stasiun kudapan. Bila pilihan menu terpusat di satu dapur, antrean bisa lebih panjang. “Siapapun dan umur berapapun akan senang datang karena bisa menemukan makanan yang cocok,” terangnya.

Eat Happens baru berdiri Mei 2015 lalu. Selain di Jakarta Selatan, ada lagi satu gerai di Bekasi, Jawa Barat.

Martinus mengklaim, pada saat akhir pekan, pengunjung Eat Happens bisa menembus 800 orang. Sedang di hari-hari biasa sekitar 300-an pengunjung.

Konsep pujasera juga menjadi pilihan TengGo Foodstreet di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Mohammad Husni, co-founder sekaligus konseptor gerai, mengungkapkan, gerai makan ini awalnya menjual martabak manis saja.

Namun, akhirnya mereka kembangkan dengan konsep pujasera agar tampil unik sehingga bisa menarik banyak orang untuk datang.

Di TengGo, ada lima divisi yaitu makanan ringan seperti martabak, mie instan, kue cubit. Lalu, stasiun makanan berat seperti nasi goreng.

Stasiun fusion untuk western food. Kemudian, stasiun makanan penutup seperti seblak, roti kari, dan terakhir stasiun kopi lengkap dengan barista.

“Sebenarnya konsepnya adalah membawa makanan pinggir jalan menjadi satu dalam satu gerai yang besar. Maka itu disebut foodstreet,” terang Husni.

Tampilan gerai juga didekor bergaya industrial bercampur  gaya tradisional dengan kehadiran barang lawas seperti joglo, wayang, sepeda onthel, dan lain-lain. Tampilan tempat nongkrong seperti ini termasuk memegang peranan penting.

Pasalnya, pasar utama yang dibidik adalah kalangan muda yang akrab dengan media sosial. Gerai dengan desain menarik, nyaman serta bagus untuk tempat berfoto ria, layak pamer di media sosial atau instagramable. Karenanya jadi daya tarik besar yang tak kalah dengan daya tarik kelezatan makanan.

Martinus mengungkapkan, modal terbesar ketika membangun Eat Happens paling banyak dia habiskan untuk merenovasi dan mempercantik gerai. “Sekitar Rp 600 juta total biaya dan terbesar adalah untuk renovasi,” ungkap dia.

Biaya besar untuk renovasi dan mendesain gerai juga dihabiskan oleh Putra, pemilik OTW Foodstreet di Meruya, Jakarta Barat. Bersama tiga pemodal lain, Putra membelanjakan kurang lebih Rp 1 miliar untuk investasi awal gerai yang baru beroperasi sejak April 2016 tersebut.

Pada lokasi ini, OTW Foodstreet mengusung konsep garage style.

Biaya lebih besar

Anda yang tertarik menjajaki peluang bisnis membuka tempat nongkrong berkonsep foodstreet perlu menimbang beberapa hal sebelum melangkah. Pasalnya, gerai makan ini sedikit berbeda dengan gerai food and beverages pada umumnya.

Pertama, kebutuhan lahan. Dengan kehadiran beberapa titik penjualan menu yang masing-masing membutuhkan dapur, Anda membutuhkan lahan  luas untuk gerai dan parkir.

OTW Foodstreet, sebagai contoh, memanfaatkan lahan seluas 700 m² untuk memuat empat stasiun menu sekaligus mendekor gerai hingga bisa memuat sekitar 380 orang. Bahkan TengGo memakan lahan hingga 1.000 meter persegi.

Luas lahan juga harus menghitung kebutuhan untuk parkir sepeda motor dan mobil. Apalagi bila gerai Anda berada di pinggir jalan yang ramai.

Maklum, saat ini tempat parkir jamak menjadi pertimbangan pengunjung saat  hendak mendatangi sebuah gerai makan.

Kedua, biaya investasi lebih besar. Konsep pujasera menuntut lahan lebih luas karena menghadirkan banyak dapur sesuai tema menu. Alhasil, peralatan memasak, sistem kasir, peralatan sistem pembayaran pun harus lebih banyak.

“Kira-kira biayanya jadi tiga kali lipat lebih besar ketimbang satu dapur saja,” ungkap Husni.

Ketiga, membutuhkan banyak karyawan. Konsep foodcourt yang memakan lahan luas dengan beberapa pusat menu, otomatis menuntut kehadiran karyawan lebih banyak. Setiap stasiun paling tidak diisi dua sampai tujuh orang yang memegang urusan pembayaran, dapur hingga pengantaran makanan.

Eat Happens, sebagai contoh, saat ini mempekerjakan sekitar 35 orang untuk melayani gerai seluas kurang lebih 500 m². Sedangkan TengGo didukung oleh 20 pekerja.

Dengan jumlah karyawan yang banyak, otomatis pos biaya pembayaran gaji juga tidak sedikit. Untuk mengakali, para pemilik gerai makan foodstreet ini umumnya menerapkan sistem shift dan pekerja paruh waktu.

Keempat, kekuatan konsep dan dekorasi gerai. Tempat nongkrong tidaklah sama dengan gerai makan biasa. Gerai makan biasa tidak terlalu mementingkan desain interior karena mengasumsikan orang datang untuk makan saja.

Sebaliknya, tempat nongkrong harus memiliki visualisasi atraktif sehingga pengunjung juga mau “membeli” suasana. Nah, bila saat ini kebanyakan pemilik tempat nongkrong mengusung tema desain interior bergaya industrial, bukan berarti tema lain tidak berpeluang menjadi tren.

Anda bisa bereksperimen memilih tema desain lain sesuai pangsa pasar yang Anda incar. Misalnya, vintage style, shabby, chic, dan lain sebagainya.

Kelima, bagaimanapun kualitas rasa menu yang Anda suguhkan juga harus oke. “Sebagus apapun tampilan makanan, kalau rasanya tidak enak, orang enggak akan kembali lagi,” terang Martinus.

Pengelola juga harus rajin melakukan inovasi makanan agar pengunjung tidak bosan dan justru tertantang mencoba menu-menu baru. “Harus ada menu andalan yang membuat orang selalu mau kembali datang,” kata Martinus.

Rasa oke dan tampilan menu yang menarik juga menjadi strategi promosi jitu di abad media sosial ini. Pengunjung tak segan memotret dan memamerkan menu yang dia pesan ke berbagai aplikasi pemburu restoran seperti Zomato atau Qraved.

Dengan berbagai strategi itu, pemain bisnis segmen ini optimistis bisa balik modal dua sampai tiga tahun. Sedang margin bisa dikantongi di kisaran 20%.

Anda tertarik menggeluti bisnis ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×