kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menjadi kiblat wisata muslim dunia, ini yang harus dilakukan


Kamis, 31 Mei 2018 / 21:52 WIB
Menjadi kiblat wisata muslim dunia, ini yang harus dilakukan
ILUSTRASI. Ilustrasi Wisata Syariah


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pariwisata mancanegara sekarang mulai mengambil pasar untuk wisatawan muslim dari berbagai negara, salah satunya dari wisatawan Indonesia. Melalui industri halal, banyak negara memberikan fasilitas yang memanjakan wisatawan muslim untuk berwisata di negara non muslim. Apalagi faktanya, wisatawan muslim kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 hanya ada sekitar 25 juta wisawatan muslim secara global. Kemudian, berkembang pesat menjadi 121 juta di 2016 dan meningkat 131 juta pada 2017. Angka tersebut diperkirakan terus bertambah hingga 156 juta wisatawan pada 2020.

Dalam catatan Mastercard-Halal Trip Muslim Millenial Travel Report 2017 (MMTR2017), bahwa perjalanan wisatawan muslim generasi milenial di dunia diprediksi akan terus tumbuh pesat hingga mencapai nilai US$ 100 miliar pada tahun 2025. Sementara secara keseluruhan segmen perjalanan muslim diperkirakan akan mencapai US$ 300 miliar di tahun 2026.  Sementara data Word Travel and Tourism Council pada tahun 2013, nilai transaksi dari segmen wisata muslim telah mencapai US$ 140 miliar dan diperkirakan terus meningkat menjadi US$ 238 miliar pada tahun 2019.

Fouder & Chairman Indonesia Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Priyadi Abadi mengatakan, Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya Muslim harus lebih maju dibanding dengan negara lain. “Jangan sampai malah justru tertinggal. Bahkan, Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat wisata halal dunia,” ujarnya, Selasa (29/5/).

IITCF juga akan terus mengedukasi masyarakat dengan merubah mindsetnya, bahwa selama ini mindset masyarakat misalkan bila ingin berlibur ke Jepang, Korea, Eropa pasti akan pesan ke travel umum, sebenarnya travel muslim juga mampu menggarap wisata muslim di luar umrah dan haji. “Memang ini tidak mudah dan butuh waktu,” tuturnya.

Selain mengedukasi masyarakat di bidang pariwisata, ITCF sejak tahun lalu telah merintis terobosan untuk menyatukan produk travel muslim melalui konsorsium. Tujuannya, bisa memberikan layanan kepada wisatawan muslim yang ingin travelling ke mancanegara dengan konsep islami, Muslim Holiday Konsorsium. Saat ini  anggota yang sudah tergabung di Muslim Holiday Konsorsium telah mencapai 20 perusahaan tour dan travel. Adapun fokus dari konsorsium ini adalah edukasi kepada para anggota konsorsium ini seperti pada setiap bulan selalu dibuat acara sharing destinasi, evaluasi dan problem solving.

Dari sisi sumber daya manusia, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar namun secara kualitas masih rendah. Berbeda dengan Malaysia, walau penduduknya tidak begitu besar, tapi wisata muslimnya berekembang pesat karena didukung SDM yang berkualitas. Lahirnya Muslim Holiday ini, tambah Priyadi sebagai bentuk keprihatinan karena masih minimnya travel muslim yang menggarap pasar wisata muslim, akibat terbatasnya SDM yang memiliki skill dalam membuat produk-produk wisata muslim.

Hal ini juga tidak terlepas dari mayoritas travel muslim yang ada masih bermain di zona aman, yakni menggarap pasar haji dan umrah. Masih sangat sedikit, bahkan kurang dari 20% yang menggarap pasar wisata muslim. Akibatnya, pasar wisata muslim yang prospektif dan potensial ini masih dipegang oleh travel umum. Priyadi menjelaskan, saat ini pihaknya memiliki dua agenda besar melalui IITCF yang concern pada edukasi, berbagi dan bersinergi antarsesama travel muslim, khususnya dalam menggarap wisata muslim. Begitu juga rutin mengadakan pelatihan wisata muslim (edutrip) di dalam maupun luar negeri. Edutrip tersebut diikuti oleh para pemilik travel muslim, tour leader maupun tour planner.

Sementara Muslim Holiday Konsorsium membuat paket-paket tour muslim dan produk tersebut dijual secara bersama, sehingga lebih efisien dan dapat saling membesarkan travel-travel muslim yang tergabung dalam konsorsium tersebut.  "Muslim Holiday Konsorsium ingin menjadi rumah bersama menuju sukses bagi pemilik travel muslim. Konsorsium ini berupaya netral dan memberi solusi bagi anggota yang kesulitan memenuhi kuota," tuturnya.

Tentu saja, untuk bergabung dalam konsorsium tersebut, ada aturan main atau komitmen bersama yang harus dipatuhi. “Salah satu yang terpenting adalah harga jual harus sama. Tidak boleh ada yang menjual lebih murah atau lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan oleh konsorium. Intinya, semua travel muslim yang bergabung dalam Muslim Holiday Konsorium harus amanah,” tukas Priyadi.

Rasa nasionalis

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal, Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Tazbir mengimbau para travel muslim yang tergabung dalam Muslim Holiday Konsorsium tidak hanya semangat menjual paket-paket wisata muslim ke mancanegara atau outbound tours tapi juga paket-paket wisata halal di dalam negeri (inbound tours) untuk menjaring wisatawan mancanegara (wisman) muslim ke Tanah Air.

Semangat berbinisnya, lanjut Tazbir harus diimbangi dengan rasa nasionalis yang tinggi pula. “Misalnya kalau ketemu partner di luar negeri bisa sekalian mempromosikan kalau Indonesia adalah negara muslim terbesar dan punya destinasi serta produk-produk wisata halal yang bagus. Dan tak lupa bersemangat menjual paket-paket wisata halal yang ada di Indonesia,” imbau Tazbir yang kini masuk dalam Tim 100 Calendar of Event Kemenpar.

Tazbir menambahkan, semua pemangku kepentingan di industri pariwisata muslim harus serius menggarap potensi yang besar ini, bahkan jangan malu belajar dari keberhasilan negara tetangga, Malaysia. Di negara jiran itu, pemerintah dan swastanya memberikan perhatian besar terhadap pengembangan wisata muslim. Tak cuma dari sisi pelancong saja, wisata halal juga terkait produk seperti kuliner. "Jangan sampai produknya juga diambil pihak luar. Contoh saja coklat halal, itu banyak dari Thailand dan Malaysia. Jadi memang butuh komitmen dari industri halal dan lainnya," ungkap Tazbir.

Pada akhirnya, jangan sampai peringkat Indonesia terus dibawah Malaysia dalam hal wisata halal jika merujuk Muslim Travel Index (GMTI) yang dirilis April lalu. Berdasarkan riset sekaligus penilaian dari Global Muslim Travel Index (GMTI) yang dirilis oleh Mastercard-CrescentRating, Indonesia masuk peringkat kedua sebagai tujuan wisata muslim dunia pada 2018.

Posisi ini meningkat dari 2017 yang masih menempati rangking tiga. Sementara pada posisi pertama masih diduduki oleh Malaysia. Malaysia mendapat skor 80,6, Indonesia memiliki kedudukan yang sama dengan United Arab Emirates memiliki skor 72,8. Selanjutnya Turki berada di peringkat empat dengan skor 69,1. Lalu Arab Saudi menyusul pada peringkat lima yang skornya mencapai 68,7. Indeks tersebut dibuat dengan membandingkannya berdasarkan 130 destinasi di dunia, dan Indonesia menduduki peringkat kedua dari negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Sedangkan untuk destinasi Non-OKI, Singapura berada di posisi teratas diikuti oleh Thailand dan Inggris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×