kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45904,44   -19,05   -2.06%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyeruput secangkir kopi di teras warga (2)


Sabtu, 05 Agustus 2017 / 08:15 WIB
Menyeruput secangkir kopi di teras warga (2)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

Meski terdapat ratusan ribu hektar perkebunan kopi dan sebagian besar penduduknya menggantungkan diri dari hasil perkebunan tersebut, sentra kopi di Kelurahan Gombengsari, Banyuwangi baru dikenal masyarakat luas sekitar enam tahun lalu. Bahkan, lokasi ini baru dikukuhkan menjadi Kampung Kopi oleh Dinas Pariwisata setempat pada tahun 2016 lalu.

Ali, salah satu petani kopi menceritakan, awal mulanya Kampung Kopi Gombengsari terbentuk karena gagasan dari Moch. Farid Isnaini yang saat itu menjabat sebagai Lurah Gombengsari. "Saat ide itu disampaikan, saya langsung setuju kebetulan saat seminar di Malang ada narasumber yang memaparkan tentang kompung coklat," katanya pada KONTAN, Jumat (21/7).

Setelah melalui proses yang cukup panjang dengan beberapa pihak terkait seperti Dinas Pertanian serta petani kopi lainnya. baru pada September 2016 lalu, digelar festival petik kopi. Festival ini sekaligus menjadi  tanda penobatan lokasi perkebunan kopi di Gombengsari tersebut sebagai Kampung Kopi.

Sebelumnya, laki-laki berbadan tinggi besar ini mengatakan petani disana adalah petani asalan yang tidak mengetahui cara budidaya kopi yang baik. Maklum saja, menjadi petani sudah menjadi pekerjaan turun-temurun. Seperti banyak petani kopi di daerah lainnya, pengetahuan tentang bertanam kopi, berikut perawatan dan cara panen hanya diperoleh dari kebiasaan orangtua mereka.

Pada tahun 2000, pemerintah mulai memberikan pelatihan tentang cara penanaman sampai pasca panen. Tidak hanya itu, mereka juga mulai mendapatkan pelatihan proses pengolahan kopi. Tujuan dari berbagai pelatihan ini tentu saja untuk meningkatkan kualitas kopi sehingga nilai jual buah kopi ini semakin baik.  

Sayangnya, saat itu pelatihan tidak disertai dengan bantuan peralatan untuk pengolahan. Alhasil, para petani masih menggunakan batu dan lesung untuk proses pecah kulit. Baru ditahun 2004, mereka mendapatkan bantuan mesin pemecah kulit. "Dengan alat itu otomatis jumlah produksi petani jadi lebih banyak," terang Ali.  

Namun, saat KONTAN mengunjungi lokasi pada Jumat (21/7) lalu, terlihat bila semua produsen bubuk kopi masih menggunakan cara tradisional sebagai pengolahannya. Nita Senduk, salah satu petani dan produsen kopi mengaku, justru proses tersebut menjadi cirikhas kopi asal Gombengsari.

Bahkan tidak sedikit wisatawan yang datang ingin melihat secara langsung proses pengolahan kopi dari tahap penjemuran sampai tahap penyeduhannya. "Cara ini akan tetap kami gunakan karena banyak tamu yang suka. Citarasa kopinya pun juga berbeda dengan kopi yang dimasak melalui mesin," katanya.

Meski begitu, karakter warga disana tetap terbuka dengan adanya transfer ilmu yang diberikan oleh pemerintah. Baru-baru ini, para petani dan produsen mengikuti seminar tentang pengemasan  dari Badan Kreatif (Bekraf). Ali mengaku cukup terbantu dalam desain logo produknya.

Meski sudah tampak lebih menarik, dia masih belum puas sebelum pasar senang dengan kemasan barunya. Sebelumnya, kopi bubuk miliknya hanya di kemas dalam kemasan plastik dengan logo sederhana tak berwarna.         

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×