kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merajut omzet ratusan juta dari kain tradisional


Rabu, 11 Oktober 2017 / 12:35 WIB
Merajut omzet ratusan juta dari kain tradisional


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Berawal dari toko kecil milik sang ayah, kini Robert Maruli Tua Sianipar sukses berbisnis ulos. Di bawah bendera Galeri Ulos Sianipar, dia membuka sejumlah galeri di luar Medan. Bahkan, hingga Penang, Malaysia.

Tak hanya ulos, Robert juga memproduksi kain tradisional hingga baju siap pakai. Hingga kini, dia masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Pusat produksi masih dilakukan di kota Medan.  Pertimbangannya, efisien mencari penenun serta biaya produksi lebih murah.

Sekarang, jumlah penenun yang membantunya dalam tahap produksi ada sekitar 200 orang. Dalam sehari, mereka mampu menghasilkan 200 sampai 300 lembar kain tenun.

Hasilnya banyak didistribusikan disekitar kota Medan, Siantar, Tarutung, Palembang, Jakarta, Lampung, Papua, dan kota lainnya. Selain sudah mondar -mandir dipasar lokal, tenun miliknya banyak diborong wisatawan mancanegara.

Dia mengaku pernah mendapatkan permintaan 1.500 lembar kain untuk dikirimkan ke Jerman dan 1.000 lembar untuk diterbangkan ke Amerika. Disana, kain tersebut digunakan untuk suvenir.

Banderol harga kainnya cukup bervariasi, tergantung ukuran serta desain. Paling murah Rp 15.000 sampai yang paling mahal Rp 6 juta per helai. Dalam sebulan, dia dapat mengantongi omzet lebih dari Rp 100 juta.

Saat musim libur sekolah, permintaan pun dapat meningkat. Sebab, pada waktu-waktu libur sekolah banyak orang yang menggelar pesta. Alhasil, kebutuhan kain tenun sebagai busana atau aksesorisnya meningkat. Momen lainnya adalah saat perayaan Natal.

Meski produksinya besar, Robert tak pernah terkendala dalam urusan pengadaan bahan baku. Dia menjalin kerjasama dengan pabrik asal Bandung, Jawa Barat.

Sekadar info, ayah dua anak ini tak melakukan tahap pewarnaan sendiri. Sebab, dia tidak mengantongi ijin dari pemerintah daerah  setempat untuk proses tersebut. "Dulu saya melakukan pewarnaan sendiri, karena masalah lingkungan akhirnya ijin dicabut sekitar 1998,"  jelasnya.                     

Pasang surut Robert berbisnis kain tenun

Dibesarkan dalam keluarga penenun, Robert Maruli Tua Sianipar pun mengenal dunia bisnis sejak muda. Saat duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, ia sudah berjualan tenun produksi orangtuanya.  

Kian besar minatnya kan tenun, anak ketiga dari delapan bersaudara ini belajar menenun otodidak. Saat lulus dari Sekolah Menengah Atas pun dia menantang dirinya untuk membuat pabrik tenun.

Dengan dorongan dari orangtuanya, dia terus mengumpulkan modal untuk membuka pabrik tenun. Ia mulai membeli tanah, peralatan tenun dan bahan baku dengan uang Rp 100 juta hasil tabungannya.

Akhirnya, pada 1992, Robert resmi membuka pabriknya. Saat itu, dia baru mempekerjakan 17 karyawan. Pemasaran hasil produksi pabriknya pun dia lakukan sendiri. Lewat door to door, dia mendapat penolakan dari konsumen.

Meski sudah punya pabrik sendiri, Robert tak puas diri. Ia juga terus mengembangkan ketrampilannya memintal benang di sejumlah kota, seperti Bandung, Balige, dan Siantar. Butuh waktu hingga setahun bagi dia untuk menguasai kemahiran memintal benang.

Meski sempat tertipu, namun perjalanan bisnis tenun Robert terus menapakkan keberhasilan. Pasar sudah mulai menerima kain tenun produksinya. Hingga pada tahun 1998, bisnisnya terjun bebas akibat imbas krisis moneter yang melanda Indonesia.

Produksinya menumpuk. "Konsumen tidak ada yang beli karena mereka takut mengadakan pesta," kenangnya. Ratusan helai kain tenun teronggok di gudang hingga ruask. Ia juga terpaksa mengurangi karyawannya.

Robert pun memilih berhenti produksi dan fokus pada penjualan. Kondisi ini berlangsung dua tahun.  
Sembari perekonomian pulih, dia mengalihkan usahanya, yakni membuat kapal tangkap ikan di Sibolga, Sumatra Utara. Menurut Robert, saat itu jual beli ikan lebih menguntungkan.

Tak jarang dia pun ikut melaut. Pekerjaan ini dia  lakoni selama enam tahun. Sekitar tahun 2000-an saat harga solar naik dan bisnis perikanan tampak berat, dia menjual kapalnya dan kembali fokus menekuni bisnis tenun.         

Terus ekspansi agar bisnis tetap lestari

Menjalankan bisnis tanpa kendala, bagai sayur kurang garam, tak sedap rasanya. Meski sudah 10 tahun berbisnis, Robet Maruli Tua, pengusaha tenun asal Medan, Sumatra Utara Sianipar tetap saja masih hadapi kendala.

Selain adanya tagihan yang macet, Robert juga tak cukup modal untuk ekspansi. Sejatinya, tak sulit bagi dia mendapat kucuran dana bank. "Hanya, bunganya masih terlalu tinggi," ungkapnya.   

Namun, kini ada solusi dari pemerintah. Dia akan mendapat bantuan modal dengan bunga rendah dari Kementrian

Koperasi. Ia pun berniat membuka sentra tenun dengan 400 UKM. Selain itu, dia juga berharap bisa membuka pabrik baru di Medan seiring derasnya permintaan.  

Meski sudah membuka gerai di sejumlah kota, Robert tetap memilih lokasi pabrik di Medan untuk menekan biaya produksi. Selain itu, di lokasi lain terbayang kesulitan mendapatkan tenaga kerja.

Hingga kini, Robert masih turun tangan secara langsung melatih para penenunnya. Menurut dia, melatih karyawan sekarang jauh lebih mudah karena mereka sudah bersentuhan dengan  pendidikan. Sebab, tak hanya praktek, karyawan bisa belajar pula dari buku panduan.  

Dengan berbagai ekspansi, Robert ingin bisnisnya ini terus lestari hingga anak cucunya. "Jangan sampai berhenti disaya saja," pungkas pria yang sudah meraih belasan penghargaan sebagai pebisnis sukses.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×