kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merangkai untung dari hasil menenun lidi menjadi taplak meja


Senin, 08 Agustus 2011 / 14:19 WIB
Merangkai untung dari hasil menenun lidi menjadi taplak meja
ILUSTRASI. FILE PHOTO: Apple AirPods are displayed during a media event in San Francisco, California, U.S. on FOR EDITORIAL USE ONLY. NO RESALES. NO ARCHIVESSeptember 7, 2016. REUTERS/Beck Diefenbach/File Photo


Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi

Seluruh bagian pohon kelapa memang bernilai guna. Selain buah, daun dan batang, lidi atau tulang daun kelapa bisa diolah menjadi kerajinan bernilai ekonomis. Lidi bisa ditenun menjadi tikar, suvenir, boks pakaian, dan juga taplak meja yang laku di pasar luar negeri. Perajin tenun lidi bahkan mampu meraup omzet hingga Rp 150 juta per bulan.

Produk lidi ternyata tidak hanya bisa diolah menjadi sapu atau tusuk satai saja. Lidi atau tulang daun kelapa itu juga bisa disulap menjadi kerajinan menarik yang unik, dan diminati konsumen di pasar domestik maupun internasional.

Namun, untuk membuat kerajinan menarik dari lidi itu butuh kreativitas, seperti yang dilakukan Eko Rudiyanto. Lewat bendera KREA di Yogyakarta, Eko mengubah lidi menjadi aneka kerajinan tenun nan unik.

Pria asal Bantul, Yogyakarta itu mengolah lidi menjadi aneka bentuk, seperti kotak CD, kotak pakaian, souvenir pernikahan, placemates atau taplak meja, kotak pensil, tas, tikar lidi, bahkan juga bingkai cermin. "Saat ini, saya fokus produksi taplak meja dan tikar lidi," terang Eko.

Eko sudah melakoni usaha pembuatan kerajinan lidi sejak 2002 lalu. Berkat ketekunan dan keuletannya, Eko bisa memasarkan produk itu hingga ke Belanda, Prancis, Italia, Arab, Qatar, Turki, Malaysia, dan Singapura.

Dalam memproduksi, Eko menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) tradisional. Alat itulah yang kemudian mengantarkan Eko mampu mendapatkan omzet hingga Rp 150 juta per bulan.

Omzet itu ia peroleh dari pengiriman 8.000-10.000 unit placemates dan tikar lidi tiap minggu ke berbagai negara. Harga jual dari setiap produk itu mulai dari Rp 3.500 per unit sampai Rp 55.000 per unit, tergantung dari besar kecilnya ukuran dan tingkat kerumitan dari masing-masing produk.

Produk yang paling murah dibuat oleh Eko adalah jenis taplak meja ukuran 35 centimeter (cm) x 45 cm. Sedangkan untuk produk yang paling mahal adalah tikar lidi berukuran 45 cm x 10 meter (m).

Dengan mempekerjakan 170 orang, dalam seminggu Eko bisa memproduksi 10.000 placemates serta 300-350 roll tikar. Eko menghitung, untuk pengerjaan satu unit tikar, dibutuhkan satu karyawan yang bekerja dalam satu hari.

Dengan mempekerjakan 170 karyawan itu, Eko berharap bisa berbagi rezeki dengan masyarakat lingkungan tempat ia menetap. "Kebanyakan karyawan saya adalah perempuan," kata Eko.

Eko sengaja memilih karyawan perempuan lantaran kaum hawa ini lebih teliti dan lebih sabar dalam merangkai kerajinan tenun dari lidi.

Proses pengerjaan placemates itu mirip dengan cara menenun kain biasa. Tahap pertama adalah melakukan pemintalan benang menjadi gulungan yang besar.

Selanjutnya batang lidi yang telah kering dibersihkan dari sisa-sisa daun yang masih menempel. "Kalau tidak dibersihkan, efeknya lidi mudah busuk," jelas Eko.

Setelah batang lidi bersih, maka lidi yang sudah halus itu ditenun dengan benang yang telah dipintal sesuai dengan ukuran dan permintaan konsumen.

Dalam mendapatkan bahan baku, Eko mendatangkannya dari Ciamis, Jawa Barat. Setiap ikat lidi, Eko membelinya seharga Rp 1.100 - Rp 1.200. Dalam sebulan, Eko menghabiskan 17.000 ikat. "Jumlahnya itu bisa dua sampai tiga truk dengan panjang lidi rata-rata 60 cm-70 cm," jelas Eko.

Selain Eko, perajin tenun lidi yang lain adalah Dwi Santoso. Dwi memulai usaha menenun lidi sejak 2000 lalu. Saat itu ia mengolah limbah lidi yang banyak berserakan di sekitar tempat tinggalnya. "Dari iseng akhirnya menjadi kerajinan tenun," ujar Dwi pemilik Lya Craft di Sleman Yogyakarta.

Berawal dari iseng itulah Dwi sukses membuat tenun lidi secara massal. Namun, karena kebutuhan lidi kian banyak, Dwi memutuskan membeli lidi dari daerah Cilacap dan juga Ciamis.

Setiap minggu, Dwi membeli 1.000 hingga 2.000 ikat lidi dengan harga Rp 1.000 per ikat. Lidi-lidi itulah yang kemudian ia olah menjadi kerajinan tenun berupa placemates dan tikar lidi.

Setidaknya, dalam sepekan Dwi mampu memproduksi 3.000 hingga 5.000 unit produk kerajinan. Hasil produksi sebanyak itu dikerjakan oleh 25 karyawannya yang bekerja di bengkel kerajinan.

Soal harga, Dwi membanderol aneka kerajinan itu dengan harga yang berbeda, yakni mulai harga Rp 2.000 per unit hingga Rp 50.000 per unit, tergantung dari besar kecilnya ukuran kerajinan tersebut.

Selain membentuk lidi menjadi lembaran yang ditenun, Dwi juga membuat stik lidi dengan hiasan manik-manik seharga Rp 10.000 per unit. Dari bisnis pembuatan tenun lidi ini, Dwi bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta per bulan.

Untuk proses produksi, Dwi membaginya dengan dua pilihan. Pertama, pilihan tenun dengan warna alami. Kedua adalah tenun pilihan warna tambahan.

Untuk membuat tenun lidi dengan warna tambahan, membutuhkan proses pewarnaan tersendiri. Setidaknya dibutuhkan dua ons pewarna kayu untuk satu tenun lidi. Agar mendapatkan warna cerah seperti ungu ataupun hijau, hasil tenunan itu direbus selama 10-15 menit.

Sedangkan untuk mendapatkan warna gelap seperti biru dan hitam, perebusan butuh waktu lebih lama, hingga satu jam. Setelah direbus, batang-batang lidi dijemur di bawah sinar matahari langsung selama setengah hari. "Pengeringan bisa dengan oven khusus kayu dengan suhu 80 derajat," papar Dwi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×