kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merekatkan laba lewat usaha pabrik lem


Kamis, 05 Maret 2015 / 10:05 WIB
Merekatkan laba lewat usaha pabrik lem
ILUSTRASI. Perbedaan WhatsApp Channel dan Telegram Channel.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Bagi masyarakat awam, lem sering dianggap sebagai barang remeh yang hanya digunakan sesekali. Kebutuhan lem untuk rumah tangga memang belum dianggap serius. Namun, ternyata, banyak sekali sektor industri yang membutuhkan lem dalam proses produksinya. Walau pembelinya tak sebanyak pembeli ritel, tapi lem untuk industri menjanjikan keuntungan yang menggiurkan.

Beberapa pemain dalam bisnis ini ialah Agustinus Witanto, pemilik Greatchemindo Satria Putramas (GSP) dan Yuliansyah, owner PT Gilang Lemindo. Baik Agus maupun Yuliansyah memproduksi lem epoxy. Lem ini terdiri dari dua komponen, yaitu resin dan hardener (pengeras). Pada umumnya, lem epoxy diaplikasikan pada kayu. Namun, lem epoxy juga bisa dimodifikasi sehingga bisa digunakan untuk merekatkan bahan besi, baja, tembaga, plastik, kayu dan keramik

Agus fokus memproduksi lem epoxy untuk digunakan pada pembuatan atau perawatan kapal kayu. Setelah riset di Jawa Timur, ia melihat peluang usaha membuat lem untuk kebutuhan kapal kayu.

Selain menjual lem epoxy pada produsen kapal, dia juga menawarkan produk ini pada nelayan. “Dulu nelayan memperbaiki kerusakan kapal kayu dengan semen, padahal itu tak bagus, jadi kami edukasi agar mengubahnya jadi lem epoxy,” katanya.

Agus sempat memproduksi lem untuk kebutuhan alas kaki. Lantaran pembayaran yang macet, ia menghentikan produksi itu lalu beralih memproduksi lem berbasis epoxy untuk perkapalan pada 2013.

Agus menegaskan, prospek usaha ini cukup bagus. Permintaan lem di pabriknya terus meningkat. Dibandingkan produksi pada 2013, tahun lalu ia menikmati pertumbuhan lebih dari 100%. “Pada semester II 2014, peningkatan permintaan mencapai 80% dari semester sebelumnya,” ujar dia.

Lem buatan GSP dikemas di kaleng berukuran 1 kg, 2 kg, dan 25 kg. Harganya ada di kisaran Rp 80.000–Rp 140.000 per kg. Saat ini, kapasitas produksi di pabriknya mencapai 15 ton–20 ton per bulan. Margin kotor dari penjualan lem di GSP sekitar 15%.

Adapun Yuliansyah sudah memproduksi lem sejak 2002 di Tangerang, Banten. Awalnya ia hanya memproduksi lem epoxy. Namun, ia mengembangkan produknya dan sekarang ada enam jenis lem yang ia buat, misalnya Plastisol dan resin G-plast. “Lem epoxy jadi salah satu produk yang paling sering dibeli,” ujarnya.

Lantaran menyasar pasar industri, Yuliansyah mengemas lem pada pile dan drum berukuran 25 kg dan 200 kg–250 kg. Harga jualnya berkisar US$ 1–US$ 7 per kg.

Yuliansyah mengakui pertumbuhan bisnis ini menggembirakan. Ketika merintis usaha pembuatan lem pada 2002, ia hanya mengantongi omzet sekitar Rp 50 juta per bulan. Namun saat ini, omzetnya melambung hingga Rp 3 miliar saban bulan.

Margin keuntungan dari bisnis ini ada di kisaran 25%–45%. “Beda jenis lem, margin yang dihasilkan pun beda-beda,” ungkapnya. Menurut dia, kue bisnis lem epoxy tergolong kecil, tapi margin yang dijanjikan dari usaha ini bagus.


Bahan baku masih harus barang impor

Anda tertarik menjajal usaha ini? Untuk merintis usaha berskala pabrik, modal yang dikeluarkan memang tak sedikit. Ambil contoh, Agus yang merogoh kocek sebesar Rp 200 juta. Modal itu hanya untuk investasi alat dan bahan baku awal. “Untuk bangunan pabrik, saya sudah punya jadi tidak saya hitung investasi,” ucapnya. Nah, untuk Anda yang merintis dari nol, tentu saja harus menambah modal untuk menyewa lahan dan membangun pabrik.

Namun, Agus mengakui, pada usaha ini modal tidak bisa kembali dengan cepat. Selama tiga tahun, usaha lemnya harus disubsidi dari bisnis lainnya. Baru pada tahun keempat, Agus mulai merasakan keuntungan dari bisnis ini.

Luas pabrik GSP untuk produksi yakni 500 m2. Sementara, untuk penyimpanan bahan baku, Agus punya gudang berukuran 400 m2. Di samping itu, dia punya sisa lahan 150 m2 untuk kantor sekaligus tambahan gudang.

Mesin utama yang dibutuhkan untuk bisnis ini ada dua. Yang pertama, mesin pencampur atau mixer. Mesin mixer untuk membuat lem berkapasitas besar, mulai 200 kg, 500 kg, sampai dua ton. Selain itu, motor yang digunakan harus kuat mengaduk lem yang semakin lama semakin mengeras.

Mixer bisa dibeli bekas dari pabrik lain, tapi dimodifikasi di bengkel. Harganya bermacam-macam, mulai Rp 20 juta–Rp 50 juta. Saat ini, GSP menggunakan enam buah mixer dan menyiapkan dua mixer cadangan.

Yang kedua, mesin untuk mengemas. Dulu, setelah diaduk, lem dimasukkan ke dalam drum yang disematkan keran. Untuk memasukkan lem pada kemasan, keran tinggal dibuka. Namun, sekarang sudah ada mesin otomatis untuk mengemas lem. Mesin ini bisa dibikin sendiri dengan harga sekitar Rp 15 juta.

Mesin bisa dibuat di dalam negeri, beda halnya dengan bahan baku. Agus dan Yuliansyah mengatakan 80% bahan baku pembuatan lem harus diimpor dari luar negeri. Ada sebagian yang diimpor sendiri, tapi ada juga bahan yang bisa dibeli melalui importir. “Bahan baku lem epoxy asalnya dari Jerman. Makanya, harga jualnya belum bisa murah sehingga kadang nelayan mengeluhkan ini, tapi kami tak bisa lagi menekan harga,” tutur Agus. Sebelum memilih supplier, Agus menyarankan produsen untuk membuat standardisasi formula lem sehingga bisa memilih bahan baku terbaik dari supplier terbaik pula.

Pengeluaran terbesar untuk bisnis ini memang terletak pada belanja bahan baku. Bahkan, menurut penuturan Agus, belanja bahan baku ini bisa mencapai 80% dari total biaya bulanan yang ia keluarkan. Maklum, ia membutuhkan sekitar 10 ton bahan pembuat lem tiap bulan.

Pengeluaran lainnya ialah melakukan riset untuk mengembangkan produk. Menurut Yuliansyah, ini biaya yang tergolong besar, setelah belanja bahan baku. “Karena kalau tak bikin produk baru, omzet tidak masuk ke kantong,” ucapnya.

Setelah itu, pengeluaran yang mengikuti ialah membayar gaji karyawan dan ongkos operasional, terutama listrik. Agus menambahkan, listrik harus stabil. Jika di tengah proses produksi, listrik padam, siap-siap menghitung kerugian.

Agus pernah menanggung kerugian sebesar Rp 8 juta akibat listrik padam selama empat jam. “Sekarang PLN sudah kooperatif karena selalu memberitahukan jika akan memadamkan listrik, jadi kami bisa mewaspadai,” cetusnya.

Untuk kemasan, ia menggunakan kaleng seng. Agus mengatakan, lem epoxy lebih cocok dikemas di kaleng seng dibandingkan di plastik misalnya. Pasalnya, lem ini mengandung solven. Nah, jika dikemas dengan plastik, lem membuat kemasan plastik mengerut. “Solven bersifat menyerap air dari udara bebas. Jadi kalau dimasukkan dalam plastik, lama-lama plastik akan menyusut, tapi kalau dalam seng tidak demikian,” jelasnya.

Adapun proses pembuatannya cukup sulit karena melibatkan bahan kimia. Sebenarnya, semua bahan baku dimasukkan ke dalam mixer untuk diaduk hingga menghasilkan lem. Namun, proses ini berlangsung selama beberapa tahap dalam waktu yang tak sebentar.

Untuk membuat lem, setidaknya dibutuhkan waktu empat jam. “Pada tiap tahapan, ada bahan yang dimasukkan dan dihitung waktunya berapa lama, begitu seterusnya,” kata Yuliansyah. Reaksi kimianya juga beragam, mulai reaksi panas dan dingin jadi perlakuan pada bahan baku pun berbeda-beda. Pada tiap reaksi, kecepatan putar mixer harus disesuaikan.

Dus, produsen harus memahami betul proses kimia. “Tak perlu ber pendidikan kimia, yang penting tapi harus mampu memahami proses kimia karena pembuatannya cukup sulit,” kata Agus.


Penting membangun jaringan terlebih dulu

Bahan perekat ini sangat banyak ragamnya. Bahan baku untuk membuatnya pun bermacam-macam. Nah, luasnya pilihan bahan perekat membuat Anda leluasa untuk memilih jenis lem yang mau diproduksi. Namun, tentu saja pasar yang dituju harus sudah ditetapkan.

Jangan memproduksi lem bila Anda belum tahu pasar yang mau disasar. Itulah peringatan yang dilontarkan Agus dan Yuliansyah. Sebelum repot-repot memikirkan produksi, hal pertama yang harus dikerjakan ialah menemukan pasar yang tepat untuk produk yang akan dijual. “Kalau pasar sudah ada, baru produksi bisa dimulai,” tegas Yuliansyah.

Alasannya, bahan baku lem hanya bisa bertahan empat bulan. Jadi, menimpun bahan baku bukanlah pilihan. Agar tak merugi, pikirkan matang-matang sebelum memulai proses produksi.

Kalau mau mengikuti jejak Agus, Anda bisa belajar dulu dengan bergabung sebagai karyawan di pabrik lem. Agus pernah jadi manager selama tiga tahun di pabrik lem. Selepas keluar dari pabrik itu, ia mengaku tak kesulitan untuk mendapatkan klien karena sudah paham pasar untuk bisnis ini.

Kesulitan yang kerap ditemui ialah mengedukasi pasar. Pasalnya, sebelum membeli produk, customer harus diedukasi terlebih dulu. “Sebisa mungkin, sudah banyak pengalaman dulu supaya bisa lebih cepat melakukan penjualan,” tandasnya.

Setelah menguasai pasar perkapalan di Pesisir Utara, mulai Pekalongan hingga Banyuwangi, Agus berencana merambah daerah lain. Targetnya ialah Nusa Tenggara Timur, Palu, serta Banjarmasin. “Daerah-daerah ini punya industri kapal kayu yang bagus, jadi saya rencanakan menempatkan agen penjualan di sana,” tuturnya.  

Siap bersaing dengan produk asing

Sebelum isu Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) muncul, lem buatan pabrik lokal sudah harus bersaing ketat dengan produsen lem dari luar negeri. Namun, masing-masing pengusaha sudah punya strategi untuk menghadapi persaingan ini.

Yuliansyah, owner PT Gilang Lemindo mengatakan, inovasi produk merupakan kunci utama untuk menyaingi produk lem impor. Pasalnya, kebanyakan lem dari luar negeri merupakan jenis lem yang penggunaannya general. Sementara, pabrik lokal mampu memproduksi lem yang dimodifikasi sesuai kebutuhan pasar lokal. “Makanya, pabrik lokal harus rajin mengembangkan produk dan terus riset kebutuhan pasar,” tegasnya. Sebisa mungkin produsen tak lagi membuat lem yang sudah diproduksi pabrik luar negeri. Produsen lokal harus rajin membuat varian baru agar tak lelah berperang harga.

Riset ini memang mengeluarkan biaya besar. Namun, potensi keuntungan dari lem jenis baru juga besar. “Jadi jangan ragu-ragu untuk bikin produk baru,” kata Yuliansyah.

Saat ini, persaingan bisnis untuk lem epoxy sudah mulai kencang. Produsen harus pintar memodifikasinya agar bisa digunakan oleh industri yang lain. Kalau selama ini lem epoxy masih digunakan untuk industri furnitur, produsen bisa menciptakan lem baru untuk industri otomotif misalnya.

Pendapat ini disetujui oleh Agustinus Witanto. Greatchemindo Satria Putramas (GSP) harus bersaing dengan lem merek luar negeri, terutama dari Inggris. Bagi Agus, kekurangan dari pabriknya hanyalah sertifikat LLOYD untuk produsen produk di bidang perkapalan. “Tanpa sertifikat itu, saya masih sulit bersaing dengan merek internasional,” tukasnya.

Di sisi lain, kebanyakan pabrik lokal memproduksi lem untuk tembok serta untuk alas kaki. Padahal, merek yang beredar sudah sangat banyak, baik lokal maupun impor. “Lebih baik membuat produk baru dengan target pasar yang memang khusus,” ujarnya.

Menurut dia produk lem lokal punya satu kelebihan dibandingkan dengan produk impor, yakni harga yang lebih terjangkau tapi dengan kualitas mirip produk impor. Jadi, peluang untuk membuat pabrik lem memang masih terbuka selama benar-benar bisa menjawab kebutuhan pasar.                                            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×