kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,16   -5,20   -0.56%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Minim akses pasar, perajin sulit berkembang (2)


Jumat, 29 Januari 2016 / 21:39 WIB
Minim akses pasar, perajin sulit berkembang (2)


Reporter: Jane Aprilyani | Editor: S.S. Kurniawan

Bisnis gerabah yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di berbagai daerah di tanah air tidak lantas menjamin bisnis ini terus mengalami perkembangan. Meski usaha turun temurun ini unik dan memunculkan sisi kreatif pada produknya, tetapi ada beberapa hambatan yang dihadapi para perajin. Itulah mengapa, beberapa perajin mengaku usaha yang sudah digeluti kian meredup.

Muslihin, salah satu perajin gerabah di sentra gerabah Desa Banyumulek, Lombok, mengatakan, permintaan produk kerajinan gerabah belakangan ini semakin merosot. Kondisi ini sangat berbeda dari sekitar tahun 1990-an hingga tahun 2000-an dimana penjualan masih ramai. 

Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya strategi pengembangan pasar dari para perajin. Mereka umumnya tidak terlalu banyak memiliki rekanan yang bisa membuka pasar ke luar kota atau bahkan luar negeri. Perhatian dari pemerintah daerah setempat pun dirasa sangat kurang. “Pemerintah belum ada inisiatif mengajak pihak pengembang properti untuk mengambil pasokan gerabah dari para perajin gerabah di desa-desa,” kata Muslihin.

Sementara kendala lainnya menurut Ihsan, perajin gerabah lainnya asal Klaten adalah jika ada pesanan dari luar kota membutuhkan biaya kirim yang mahal karena harus dikemas menggunakan kayu agar tidak rusak. Selain itu tidak semua jasa pengiriman bersedia melayani pengiriman barang kerajinan gerabah. Itulah mengapa, beberapa perajin belum melayani pengiriman pesanan ke luar kota maupun ke luar negeri. 

Meski kendala pemasaran belum memiliki solusi hingga kini, para perajin tetap melakukan produksi setiap hari. Muslihin misalnya, dibantu oleh empat orang anggota keluarga membuat sendiri produk kerajinan gerabah dari bahan baku tanah liat yang diambil dari wilayah perbukitan Sekotong, Lombok. 

Proses pembuatannya tidak sulit. Salah satu produknya seperti botol setinggi satu meter berbeda pembuatan dengan vas bunga ataupun tempat lilin. Biasanya Muslihin membutuhkan 50 kg tanah liat per hari untuk membuat gerabah kecil dan 100 kg per hari untuk produk kerajinan ukuran besar.

Tanah liat yang telah dibeli kemudian dijemur hingga tiga hari. Setelah kering direndam dengan air selama satu hari, kemudian dicampurkan dengan pasir. Campuran tanah liat dan pasir itu pun dicetak menjadi berbagai bentuk. Setelah dibentuk kemudian di oven dan diamplas.

Muslihin harus merogoh kocek Rp 250.000 hingga Rp 500.000 untuk modal membeli tanah liat, pasir, minyak tanah, dan kayu untuk membungkus produk. Sementara Ihsan, butuh modal sekitar Rp 500.000 per hari untuk membeli 100 kg tanah liat. Darisitu, dia dapat membuat 50 produk gerabah aneka bentuk.          

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×