kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nadiem Makarim menyulap macet jadi peluang emas


Selasa, 23 Agustus 2016 / 18:40 WIB
Nadiem Makarim menyulap macet jadi peluang emas


Reporter: Marantina | Editor: S.S. Kurniawan

Teknologi informasi tengah menjadi bisnis yang seksi beberapa tahun belakangan. Di balik meroketnya perusahaan-perusahaan teknologi informasi di dalam negeri, ada satu nama yang tak bisa dilewatkan: Nadiem Makarim, pendiri dan Chief Executive Officer (CEO) PT Go-Jek Indonesia.

Boleh dibilang, sejak kehadiran Go-Jek, kepercayaan masyarakat terhadap teknologi informasi semakin besar. Go-Jek membuktikan bahwa berbagai masalah bisa dicarikan solusinya lewat teknologi. Nadiem telah mengubah gaya bertransportasi di Indonesia.

Banyak orang hanya bisa mengeluh tentang macet atau semrawutnya transportasi publik di dalam negeri. Namun, pria kelahiran 4 Juli 1984 ini muncul dengan solusi untuk memecahkan problem tersebut.

Go-Jek berhasil menghubungkan penumpang dengan pengemudi ojek secara cepat dan murah. Kini, Nadiem berharap, setiap pembaruan yang dilakukannya dalam tubuh Go-Jek bisa membawa manfaat atau setidaknya memudahkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui Go-Jek, lelaki yang meraih gelar sarjana dari Brown University, Amerika Serikat (AS), ini sanggup mengubah cara pandang masyarakat terhadap ojek. Kini, transportasi sepeda motor itu telah jadi bagian dari gaya hidup sebagian orang untuk mobilisasi.

Padahal, usia perusahaan start-up ini masih tergolong muda. Nadiem mendirikan Go-Jek pada tahun 2011. Saat itu, Go-Jek belum setenar sekarang.

Dia baru menyelesaikan studinya di Harvard Business School, AS. Ia juga tidak full-time mengurus Go-Jek lantaran masih bekerja di perusahaan lain.

Fungsi Go-Jek pun belum sekompleks sekarang. Dulu, Nadiem hanya menjadikan Go-Jek sebagai call centre alias pusat layanan telepon untuk menghubungi sopir ojek, begitu ia menyebut tukang ojek yang jadi mitra perusahaannya.

Lalu, sopir ojek akan menjemput orang yang telah menghubungi call centre Go-Jek. Nadiem mengakui, dulu sulit menggaet tukang ojek untuk mau bekerjasama.

Apalagi, nama Go-Jek waktu itu belum dikenal orang. Namun, dengan hanya 20 sopir ojek, ia terus maju. Sistem call centre cukup lama berlangsung di Go-Jek.

Maklum, Nadiem masih bekerja sebagai managing director PT Zalora Indonesia, lalu chief innovation officer PT Multi Adiprakarsa Manunggal (Kartuku). Dus, kesibukan kerja membuatnya tidak terlalu fokus mengembangkan Go-Jek.

Di samping itu, ada alasan lain yang membuat Go-Jek tak begitu berkembang hingga 2014. “Sejak Maret 2011 belum ada pendanaan di Go-Jek, jadi saya tetap harus cari penghasilan,” ungkap Nadiem.

Barulah pada medio 2014, investor menunjukkan ketertarikan pada Go-Jek dan berminat untuk berkongsi dengan konsep ridesharing. Para pemodal mulai melirik potensi investasi di Go-Jek.

Ketika beberapa perusahaan modal ventura menghubunginya, Nadiem mulai menyadari pentingnya untuk fokus pada Go-Jek. Ia lantas keluar dari Kartuku dan bekerja secara full-time di Go-Jek dengan beberapa pendiri lainnya.

Bagi Nadiem, perusahaan-perusahaan tempat ia bekerja sebelum full-time di Go-Jek merupakan tempat belajar. Dia belajar banyak hal tentang industri online lewat Zalora.

Adapun perihal transaksi pembayaran online, ia belajar melalui Kartuku. “Semua itu akumulasi pembelajaran dan merupakan latar belakang saya,” kata pria kelahiran Singapura ini.

Nadiem juga tak menampik anggapan bahwa bahwa salah satu faktor keberhasilan Go-Jek ialah kemunculan pesaingnya, seperti Uber dan Grab. Kemunculan mereka membuat nama Go-Jek semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia.

Terus tumbuh

Sebagai aplikasi ponsel, Go-Jek baru beroperasi optimal sejak Februari 2015. Benar saja, penggunanya langsung membeludak.

Tak heran bila pada awalnya aplikasi Go-Jek sempat mengalami beberapa masalah, termasuk sulit diakses.

Ketika aplikasi Go-Jek diluncurkan tahun lalu, ada tiga layanan yang ditawarkan, yakni transportasi, kurir, dan belanja. Lalu, Nadiem menambah layanan pesan makanan bernama Go-Food, Maret 2015.

Untuk mengembangkan bisnis, Nadiem menambah fitur di luar transportasi, seperti Go-Massage dan Go-Glam. Terakhir, Go-Jek meluncurkan sistem pembayaran yang diberi nama Go-Pay pada Mei 2016.

Secara total, perusahaan ini memiliki 11 layanan yang tersedia dalam satu aplikasi mobile.

Menurut Nadiem, kebutuhan masyarakat akan layanan aplikasi Go-Jek terus tumbuh. Ini terlihat dari jumlah pengunduhan aplikasi yang telah mencapai 19,5 juta kali.

Selain itu, kebutuhan terhadap aplikasi Go-Jek pun tidak terbatas di Jabodetabek. Selain Jakarta dan sekitarnya, sekarang layanan Go-Jek tersedia di 13 kota besar di Indonesia: Bandung, Surabaya, Bali, Makassar, Medan, Palembang, Semarang, Yogyakarta, Balikpapan, Samarinda, Solo, Malang, dan Manado.

Jumlah sopir yang menjadi mitra pun kian bertambah hingga ratusan ribu orang. Sopir yang ingin bergabung dengan Go-Jek harus memiliki kendaraan sendiri. Harus memiliki motor untuk sopir Go-Ride dan mobil buat mitra Go-Car.

Tiap sopir ojek dibekali ponsel cerdas sebagai alat penghubung dengan konsumen, tapi tidak gratis. Go-Jek menerapkan sistem mencicil biaya pembelian ponsel setiap bulan.

Menurut perhitungan Nadiem, pendapatan mitra Go-Jek sangat beragam, dengan kisaran Rp 4 juta hingga Rp 6 juta saban bulan. Sistemnya adalah bagi hasil, yakni 80% dari total penghasilan masuk kantong mitra dan 20% untuk Go-Jek.

Perkembangan Go-Jek yang sangat pesat dalam waktu singkat ini, menurut Nadiem, dipengaruhi oleh banyak hal.

Pertama, layanan Go-Jek menyentuh kebutuhan masyarakat yang dihadapi sehari-hari. Semua produk Go-Jek memang didesain sebagai hal-hal yang dibutuhkan orang setiap hari. Dus, secara emosional, konsumen merasa sangat dekat dengan aplikasi Go-Jek.

Kedua, driver Go-Jek berperan sebagai mitra sekaligus seperti iklan. Soalnya, hampir tidak ada yang tidak mengenali apa itu Go-Jek, terutama ketika melihat sopir memakai atribut Go-Jek. Jadi, dari situlah orang tahu dan tertarik untuk mengunduh aplikasi Go-Jek.

Ketiga, tim Go-Jek, diakui Nadiem, sebagai tim yang luar biasa. Orang-orang yang bekerja di Go-Jek bahkan dianggap inspirasi bagi Nadiem tiap hari karena mereka kerja di perusahaan ini bukan sekadar cari duit. Mereka percaya ada misi untuk menyejahterakan negara lewat teknologi.

Tak peduli akhir pekan atau tengah malam, karyawan Go-Jek yang jumlahnya di atas seribu orang selalu bisa diandalkan. “Apalagi bagian teknologi informasi (IT) yang bisa kerja sampai jam tiga pagi. Itu bukan karena materi tapi karena passion untuk membangkitkan teknologi,” ucap Nadiem.

Menghasilkan tim yang cemerlang, Nadiem bilang, dimulai dari perekrutan. Yang merekrut karyawan bukan hanya Nadiem.

Semua pimpinan yang menjadi bagian dalam manajemen berhak merekrut karyawan untuk timnya sendiri. Yang penting, Nadiem sudah menciptakan suatu kultur bahwa Go-Jek mencari orang yang memang punya passion yang sama di dunia teknologi.

Kerakyatan

Go-Jek pun berkomitmen mengembangkan ekonomi kerakyatan. Hal ini tidak hanya ditunjukkan dengan membantu tukang ojek.

Sebagai perusahaan karya anak bangsa, Go-Jek juga membantu kapster, penyedia jasa bersih-bersih, serta tukang pijat, sehingga punya pelanggan lebih banyak dan menambah penghasilan.

Saat ini Go-Jek bekerjasama dengan lebih dari 200.000 mitra di berbagai kota. Nadiem melanjutkan, perusahaannya juga memberikan pelatihan safety riding dengan menggandeng Kepolisian dan Rifat Sungkar Driving Labs.

Selain itu, sebagai perusahaan, Go-Jek pun memberi santunan kesehatan dan kecelakaan untuk mitra. Dan, fasilitas untuk mitra masih akan terus dikembangkan.

Nadiem percaya, dengan fokus pada pengembangan ekonomi kerakyatan, Go-Jek tidak hanya memudahkan hidup pelanggan, tapi juga membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk berkarya, meningkatkan penghasilan, serta kesejahteraan keluarga mereka.

Berbagai inovasi yang dilakukan Nadiem dalam Go-Jek diakui berjalan berdasarkan keputusan tim, terutama dalam menciptakan produk baru. Yang selalu jadi pertimbangan utama adalah, setiap produk atau layanan itu dibutuhkan konsumen alias menyelesaikan masalah yang dialami konsumen.

“Itu saja yang paling penting, mengerucut pada konsumen. Lalu, kami pecahkan dengan teknologi,” ujar dia.

Nadiem mengakui tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan Go-Jek jauh lebih rumit dibanding ketika dirinya merintis perusahaan ini. Sebab, Go-Jek sudah menjelma jadi perusahaan yang besar, sehingga masalah yang dihadapi pun semakin kompleks.

Kata Nadiem, tantangan muncul dari beberapa sisi. Misalnya, soal sopir Go-Jek, tantangannya bukan hanya menambah jumlah sopir, tapi ia harus mengatur agar kinerja mereka konsisten.

Dari segi pengguna pun masih ada kesulitan lantaran Go-Jek harus memenuhi kapasitas untuk melayani kebutuhan mereka, terutama memenuhi order.

Nadiem menambahkan, apapun yang dilakukan lewat teknologi, ia juga harus memikirkan dampaknya pada layanan yang lain. Intinya, kendala yang muncul pasti makin besar. Tapi, di situlah peluang yang sebenarnya diincar kompetitor.

Sejak dulu, Nadiem selalu berprinsip bahwa jika masalah yang ia pecahkan adalah problem besar dan rumit, potensinya juga besar.

Sebaliknya, kalau ia hanya bisa memecahkan masalah kecil, kesempatannya kecil juga. Ditambah, banyak orang yang juga bisa menyelesaikan masalah kecil.

Nadiem mengatakan, kemacetan dan logistik jadi dua masalah besar yang masih terjadi di Indonesia. Tapi, melalui Go-Jek dia akan terus berusaha mencari solusi untuk kedua kendala ini. “Itu masalah besar yang mendatangkan potensi yang besar pula,” ujarnya.

Mari kita nantikan gebrakan Nadiem dan tim berikutnya di Go-Jek. Siap-siap mengupdate aplikasi gojek, ya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×