Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Berkat pengalaman itu tekadnya terjun ke dunia bisnis kian kuat. Ia pun merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, ia merambah bisnis minuman sari kelapa.
Selama empat tahun Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat.
Makanya, setelah menjual kios aksesorinya di Mal Graha Cijantung dan pindah ke Bekasi, ia pun memutuskan merintis usaha baru.
Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan menjanjikan, karena ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan ramai. "Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi," ujarnya.
Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian membangun sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan.
Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. "Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.
Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. "Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa," ujarnya.
Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tapi, itu tidak lama.
Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti produksi dan memutuskan untuk belajar lagi.
Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah kamu sulit menjadi produsen sari kelapa," kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.
Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya.
Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News