kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Omzet kian gurih dari penikmat kuliner organik


Selasa, 17 Februari 2015 / 10:50 WIB
Omzet kian gurih dari penikmat kuliner organik
ILUSTRASI. Tripar Multivision Plus (RAAM) bangun dua bioskosp baru


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Kian hari, kesadaran masyarakat tentang gaya hidup sehat semakin meningkat. Hal ini merombak pola hidup seseorang, terutama dari segi makanan. Selain dari proses pengolahan makanan, yang jadi perhatian khusus ialah bahan baku yang digunakan. Beberapa tahun belakangan, makanan olahan dari bahan baku organik tengah jadi tren.

Sebenarnya sudah banyak pengusaha yang menggeluti bisnis penjualan bahan organik, mulai sayuran, buah, hingga daging ayam. Di swalayan kita bisa menemukan banyak merek produk yang berlabel organik. Akan tetapi, di samping berjualan produk, ternyata ada peluang usaha lain yang juga menjanjikan, yakni mengelola restoran atau kafe organik.

Menu yang ditawarkan restoran ini merupakan menu sehat. Artinya, makanan yang disajikan diolah menggunakan bahan baku organik. Jadi, dalam proses penanaman, tumbuhan tidak terkena bahan kimia baik dari pupuk atau obat-obatan. Bahan baku organik dipercaya memiliki kandungan nutrisi dan kadar mineral yang lebih tinggi dari bahan makanan non-organik.

Selain dari proses penanaman, karakter organik dari suatu makanan bisa dilihat dari tempat penanaman. Helga Angelina dan Max Madias, founder dan owner Burgreens, menuturkan bahwa bahan organik yang diolah harus berasal dari kebun yang ada di sekitar lokasi pengolahan. “Jadi, bahan baku yang diimpor sebenarnya tak bisa dikatakan organik lagi, walau dari metode pertaniannya tidak dengan bahan kimia,” jelas Max.

Pasalnya, menurut mereka, pengertian organik secara sederhana ialah produk lokal. Jarak antara kebun dengan meja makan diusahakan sedekat mungkin. Logikanya, jika bahan harus diimpor, bahan bakar yang digunakan pun banyak. Ini tak lagi mendukung konsep organik yang ramah lingkungan.


Pengalaman pribadi

Kebanyakan orang yang terjun di usaha restoran organik berangkat dari pengalaman pribadi. Helga dan Max misalnya. Helga mengaku sering mengonsumsi obat-obatan kimia semenjak kecil. Namun pada usia 14 tahun, ia memutuskan jadi vegetarian dan menjalani gaya hidup sehat. Demikian pula Max yang sejak 2012 riset tentang vegetarian dan tertarik beralih seperti Helga. Saat itu keduanya masih tinggal di Belanda.

Lantas, Helga dan Max pun kembali ke Indonesia untuk membuka restoran yang sesuai dengan gaya hidup mereka. “Tadinya kami mau buka usaha online, tapi ternyata ada rekan kami, Banyu Bening, yang punya tempat, jadi kami buka kafe yang menyajikan makanan dari bahan organik di Rempoa, Jakarta Selatan,” kata Helga.

Burgreens pun dibuka pada November 2013. Helga mengatakan, awalnya kebanyakan pengunjung kafe mereka merupakan warga asing alias bule yang memang sudah lebih paham mengenai gaya hidup sehat. Lalu, kafe mereka juga sering dikunjungi beberapa selebritas seperti Sharena Gunawan, Titi Dj, serta Dewi Lestari bersama suaminya Reza Gunawan. Pemasaran dari mulut ke mulut pun terjadi sehingga kafe mereka ramai pengunjung. Bahkan, enam bulan belakangan, mereka melihat, antusiasme warga lokal untuk menikmati sajian organik Burgreens pun semakin besar.

Max menuturkan, peluang untuk membuka usaha restoran organik cukup besar. Apalagi mereka mengusung konsep restoran untuk pelaku vegan dan vegetarian. Saat ini, pilihan restoran bagi penganut makanan tanpa sumber hewani tergolong minim.

Namun yang penting, pemain usaha ini merupakan orang yang juga punya gaya hidup sehat. “Pemilik restoran harus living the brand. Kalau sang owner saja masih makan makanan tak sehat, bagaimana pengunjung percaya bahwa makanan yang disajikan memang sehat dan dari bahan-bahan organik,” tandas Helga.

Kisah serupa dialami oleh pasangan suami istri, Hendra Alamin dan Yosefina Skolastika yang membuka rumah makan Sedap Alami di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, dan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Seusai sang istri, Yosefina, menjalani operasi tumor, gaya hidup mereka berubah total. Keluarga mereka hanya mengonsumsi makanan sehat, terutama bahan organik.

Hingga pada 2005, mereka membeli sebidang lahan di Ci-sarua, Bogor, untuk ditanami sayuran organik. “Awalnya untuk dikonsumsi sendiri, tapi karena semakin banyak hasil panennya, kami pun membuka rumah makan dengan menu utama makanan dari sayuran organik,” ujar Hendra.

Hendra mengaku pada saat itu, Sedap Alami merupakan satu-satunya restoran yang mengolah makanan dari kebun sendiri. Sekarang, konsep itu sudah diadaptasi oleh banyak restoran yang juga menyajikan makanan organik.

Pasangan ini mengawali usahanya di Bendungan Hilir untuk menyasar para karyawan di kawasan tersebut. Mereka membeli ruko yang dijadikan restoran berkapasitas 20 orang. Lantas, melihat pertumbuhan penjualan yang bagus, mereka menambah gerai di Jakarta Barat yang menargetkan keluarga di sekitar komplek restoran. Hendra bilang, ketika merintis usaha ini, mereka merogoh kocek lebih dari Rp 100 juta sebagai modal.

Selain untuk tempat, modal itu juga digunakan untuk membeli peralatan masak yang berkualitas. “Kami menggunakan produk dari Amerika, yaitu Saladmaster, yang terbuat dari titanium,” kata dia.

Menurut Hendra, peralatan masak juga mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan. Kebanyakan restoran masih memasak dengan peralatan dari alumunium. Padahal, kata dia, bahan alumunium menimbulkan reaksi kimia yang bisa menempel pada masakan.

Berbeda lagi dengan Max dan Helga yang mengeluarkan modal sebesar Rp 220 juta. Modal itu digunakan untuk menyuplai bahan baku organik dari berbagai pemasok, seperti Yayasan Usaha Mulia dan Organic Club. “Modal terbesar dikeluarkan untuk mengubah tempat usaha yang tadinya kos-kosan jadi kafe,” kata Helga.

Selama sebulan, mereka merombak tempat tersebut sehingga jadi kafe dengan kapasitas 30 orang. Dekorasinya pun dibuat senatural mungkin tanpa pendingin ruangan. Kebanyakan meja makan diletakkan di luar ruangan dengan meja dan kursi dari perpaduan bahan kayu dan besi. Kafe ini juga dikelilingi oleh pepohonan yang membuat pengunjung merasakan atmosfir yang tenang.

Baik Burgreens maupun Sedap Alami memiliki dapur produksi tersendiri yang terpisah dari restoran. Di dapur ini, kebanyakan pembuatan makanan dilakukan. “Selain untuk restoran, tempat untuk dapur juga harus diperhatikan agar selalu bersih dan ramah lingkungan,” kata Hendra.


Tonjolkan menu

Layaknya restoran biasa, pengusaha restoran organik pun fokus pada menu yang mereka tawarkan pada konsumen. Max dan Helga mengangkat burger sebagai menu utama di kafe mereka. Alasannya, burger merupakan kuliner yang sangat populer.

Namun selama ini, burger dianggap makanan tidak sehat karena proses pembuatan dan bahan baku yang digunakan untuk kuliner ini. “Kami mau mengubah persepsi itu,” tutur Max yang memegang peranan untuk inovasi menu.

Dia menggunakan gandum untuk bahan pembuatan roti burger. Sementara itu, untuk patty yang biasanya dari daging, Max ubah menjadi sayuran organik, seperti bayam, jamur, dan kacang-kacangan.

Max menegaskan, Burgreens memang punya tujuan untuk membuat makanan sehat yang enak. Jadi, konsumen yang menikmati sajian Burgreens tak perlu merasa resah dengan kandungan dari makanan yang disantapnya.

Selain burger, Burgreens juga menyajikan menu lain, seperti aglio olio, nugget dari jamur dan kacang-kacangan, keripik kentang manis, dan beragam salad. Sekitar 80% menu ini bisa dinikmati oleh vegan dan vegetarian.  Untuk menikmati menu ini, konsumen membayar harga di kisaran Rp 22.000 hingga Rp 80.000 per porsi.

Di samping itu, Burgreens juga menawarkan minuman sehat, seperti jus dan smoothies dari sayur dan buah, serta pencuci mulut es krim dari buah dan kacang-kacangan. Untuk minuman, Max dan Helga membanderolnya seharga Rp 10.000–Rp 45.000 per gelas. Sejak empat bulan terakhir, Burgreens juga memperkenalkan raw food alias makanan yang tidak melalui proses masak. Menurut mereka, belum banyak restoran yang menyajikan raw food untuk konsumen.

Pada hari-hari biasa, pengunjung Burgreens sekitar 20 orang–40 orang. Namun, pada akhir pekan jumlah ini meningkat jadi 50 orang hingga 100 orang per hari. Adapun karyawan di kafe ini sekarang mencapai 25 orang.

Selain menyajikan makanan di kafe, Burgreens juga melayani pemesanan untuk dikirim maupun untuk latering. “Biasanya kami melayani katering untuk event di sekolah atau untuk perusahaan,” jelas Max.

Berbeda dengan Burgreens, Sedap Alami lebih memilih makanan tradisional sebagai menu di rumah makannya. Misalnya saja mi dari sayur-sayuran, seperti wortel dan sawi, nasi goreng vegan, tahu kok. “Semua kami bikin sendiri, contohnya tahu, kami buat dari kacang kedelai dari kebun sendiri,” cetus Hendra.

Selain menu utama, Sedap Alami juga menyajikan panganan tradisional seperti kue apem dari ubi jalar, bagelen, dadar gulung hijau suji, bakpau labu, timus singkong, dan kembang tahu. Berbagai menu ini ditawarkan dengan kisaran harga Rp 3.000–Rp 25.000 per porsi.

Pengunjung rumah makan Sedap Alami berkisar 50 orang–100 orang per hari. Hendra mengaku bisa meraup omzet Rp 170 juta per bulan dari usaha ini. Adapun laba bersih untuk makanan organik, kata Hendra, lebih kecil dibandingkan makanan non-organik. “Laba bersih tidak besar, masih di bawah 50 persen,” ucap dia.     

Tak bisa 100% organik

Mengonsumsi makanan organik memang dipercaya lebih aman bagi tubuh karena makanan ini tidak terpapar pestisida dan pupuk buatan. Namun, para pemilik restoran makanan organik mengaku tak bisa menyajikan menu yang sepenuhnya berasal dari bahan organik.

Helga Angelina, founder dan owner Burgreens, mengatakan bisa dikatakan hampir tidak ada restoran yang 100% menyajikan makanan organik. Sebanyak 85% kuliner di Burgreens menggunakan bahan organik. Sisanya, walaupun tidak organik, tentunya harus sesuai dengan misi makanan sehat yang diusung restoran. “Sebisa mungkin makanan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya untuk tubuh, misalnya tidak menggunakan penyedap buatan,” ucap perempuan berusia 24 tahun ini.

Demikian juga dikatakan oleh Hendra Alamin, owner Sedap Alami. Ada bahan baku yang tidak organik di rumah makannya, seperti ikan. “Namun saya bisa pastikan ikan yang saya gunakan tidak mengandung formalin karena saya tidak beli di pasar atau supermarket tapi melalui eksportir. Ikan itu sudah diuji di laboratorium dan negatif formalin,” ungkap Hendra.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×