kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ondel-ondel, apakah akan terlupakan?


Minggu, 29 April 2018 / 14:30 WIB
Ondel-ondel, apakah akan terlupakan?


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - "Nyok kita nonton ondel-ondel, nyok kita ngarak ondel-ondel..." Begitulah sepenggal lirik lagu legendaris yang dipopulerkan oleh almarhum Benyamin Sueb. Boneka berukuran besar yang diarak dari satu gang ke gang yang lain memang tak bisa lepas sebagai maskot Ibukota. Selain citra macet dan banjir, setidaknya Jakarta punya warisan budaya yang bisa dibanggakan. 

Seiring berjalannya waktu, perkembangan bisnis yang kian pesat dan modern, gedung pencakar langit kian mengepung Jakarta. Modernitas ini tentu membawa pengaruh pada gaya hidup warganya. Dulunya ondel-ondel diarak dan dipertontonkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Lambat laun, hiburan warga Jakarta bergeser, tergantikan oleh mal dan bioskop. 
 
Perubahan Jakarta yang kian modern dan gemerlap, tentu jadi tantangan tersendiri bagi para perajin ondel-ondel. Mulyadi, perajin ondel-ondel yang tinggal di kawasan Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat mengatakan, peminat ondel-ondel semakin sedikit. Kini ondel-ondel hanya digunakan jika ada event tertentu atau pernikahan tradisional Betawi. 
 
Di Jakarta sendiri pesanannya makin berkurang. "Tak seperti sepuluh tahun lalu, pesanan membanjir sampai kewalahan," katanya saat disambangi KONTAN di kawasan Kramat Pulo, Jakarta Pusat. 
 
Harga ondel-ondel setinggi 1,5 meter lengkap dengan pakaiannya dibanderol mulai Rp 3,5 juta. Mulyadi bilang, dirinya dan beberapa perajin di Kramat Pulo tak hanya menerima pesanan dari Jakarta saja. Pesanan juga datang dari kota lain seperti Madura, Surabaya, Probolinggo, Bandung dan Lampung. 
 
Di tengah gempuran modernitas dan gegap gempita kota, para perajin ondel-ondel terus berjuang untuk bertahan. Mulyadi mengatakan sebagian besar perajin kini hanya mengandalkan pembuatan ondel- ondel sebagai penyemarak pesta rakyat, pernikahan ataupun penyambut tamu dalam acara-acara budaya. 
 
"Ondel-ondel ini budaya asli Betawi dan orang Betawi ini kan yang sebenarnya penduduk asli Jakarta. Jadi janganlah sampai punah lalu ngga ada lagi ikon yang bisa dibanggakan di Jakarta ini. Mau tidak mau, kami ini yang harus menjaga keberadaan ondel-ondel agar terus ada," ungkapnya. 
 
Kegelisahan serupa juga dilontarkan oleh Bakhtiar, perajin ondel-ondel yang tinggal di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ia menuturkan, jika kondisi saat ini memang serba susah bagi para perajin ondel-ondel. Bisa dibilang, pendapatan dari membuat ondel-ondel kini tidak lagi menguntungkan jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. 
 
Dulu, dalam sebulan Bakhtiar bisa menerima hingga 10 pasang ondel-ondel. "Kayak makan buah simalakama. Sejujurnya kalau terus jadi perajin ondel-ondel sudah tidak terlalu menguntungkan seperti sepuluh tahun lalu. Sekarang, sepasang saja tiap bulan, sudah Alhamdulilah," ungkap Bakhtiar. 
 
Ia membanderol sepasang ondel-ondel lengkap dengan pakaiannya mulai Rp 6 juta. Biasanya konsumen memiliki permintaan khusus seperti pernak-pernik pakaian ondel-ondel. Jika ada hiasan tambahan, bakal dikenakan biaya tambahan sekitar Rp 200.000-Rp 500.000 per paket, tergantung jenis hiasannya.    

Sewakan ondel-Ondel untuk pengamen demi kebutuhan dan eksistensi

Bertahan hidup di tengah himpitan modernitas dan tuntutan kebutuhan di ibukota Jakarta memang tidak mudah. Apalagi hanya dengan modal kemampuan membuat ondel-ondel, salah satu kesenian tradisional Betawi yang tak lagi sepopuler dulu. 
 
Agar terus bisa bertahan hidup dan tetap melestarikan budaya leluhur, para perajin ondel-ondel pun menyewakan boneka raksasa itu untuk mengamen. Mulyadi, salah satu perajin ondel-ondel di Kramat Pulo mengatakan, beberapa perajin di Kramat Pulo meminjamkan ondel-ondel untuk bekal mengamen. 
 
Tak hanya membekali ondel-ondel, para perajin juga ada yang meminjamkan seperangkat sound system untuk memutar musik gambang kromong sebagai pengiring ondel-ondel. Para pengamen ini biasanya berasal dari kalangan anak-anak dan remaja tanggung. Ada yang putus sekolah, ada yang masih menunggu panggilan kerja, ada pula yang ingin membantu orangtuanya.  
 
"Biar sama-sama menguntungkan, mereka dapat kerjaan, kami para perajin tetap bisa melestarikan ondel-ondel. Biasanya kami pakai sistem bagi hasil, kebanyakan 70% untuk pengamen dan 30% untuk pihak yang menyewakan," kata Mulyadi. 
 
Cara yang sama juga dilakukan oleh Bakhtiar, perajin asal Rawa Belong, Jakarta Barat. Ia juga menyewakan dua sampai tiga pasang ondel-ondelnya untuk mengamen. "Kalau lagi sepi acara, saya pinjamkan sampai tiga pasang untuk ngamen. Kalau lagi ramai ya kadang hanya sepasang saja," tuturnya. 
 
Sama seperti Mulyadi, Bakhtiar menerapkan sistem bagi hasil. Alasannya jika dirinya mematok tarif sewa, bakal membebani para pengamen. Sedangkan kalau sistem bagi hasil tergantung pada pendapatan si pengamen. 
 
Muhammad Fadhil atau yang akrab disapa Acil hanya menamatkan sekolah sampai SMP. Ibunya seorang buruh cuci dan ayahnya pekerja serabutan. Ia memilih menjadi pengamen ondel-ondel karena tuntutan ekonomi yang harus dipenuhi. Acil bersama beberapa teman lainnya biasa mengamen di sekitar Rawa Belong, Kemanggisan, Palmerah dan Tanjung Duren. 
 
"Lumayan kalau ngamen gini, sehari bisa dapat Rp 50.000, kalau lagi ramai bisa sampai Rp 200.000. Tapi hasil itu nanti dibagi beberapa orang. Itu belum bagi hasil sama yang punya ondel-ondel," ujar Acil. 
 
Saat mengamen, Acil dan teman-temannya tak jarang berhadapan dengan petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib). Kejar-kejaran dengan petugas jadi makanan sehari-hari mereka. Belum lagi bahaya kendaraan yang melintas kencang selalu mengintai para pengamen ini. "Susahnya kalau musim hujan. Kami harus mencari tempat berteduh, mau ngamen susah, mau cari angkot untuk pulang juga susah," kata Acil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×