kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemasaran sandal masih sistem konvensional (3)


Senin, 12 Oktober 2015 / 14:37 WIB
Pemasaran sandal masih sistem konvensional (3)


Reporter: Merlina M. Barbara | Editor: Tri Adi

Menjadi perajin selama berpuluh-puluh tahun silam telah menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Desa Pasir Eurih, Bogor. Namun, hingga kini kesejahteraan mereka relatif jalan ditempat. Keterbatasan modal serta upah rendah menjadi penyebabnya.

Aktivitas membuat sandal dan sepatu telah dilakukan berpuluh-puluh tahun silam oleh sebagaian besar warga di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Meski begitu, kesejahteraan mereka masih begitu-begitu saja alias sulit berkembang.

Salah satu penyebab kondisi perekonomian para perajin sandal yang masih kurang ideal ini lantaran sistem pemasaran yang dilakukan para perajin masih cenderung konvensional. Mereka kerap hanya menunggu pesanan dari pedagang grosir yang notabene adalah pemilik modal.

Inilah yang menyebabkan para perajin sangat tergantung dengan para penjual grosir. Padahal, potensi pasar sejatinya masih lumayan besar. Namun lantaran tidak ada modal, perajin tidak bisa berbuat banyak untuk memajukan usaha mereka sendiri. Keuntungan dari penjualan produk sandal justru lebih banyak dinikmati oleh para pedagang. Sedangkan para perajin relatif mendapat upah yang pas-pasan.

Ujang Itang (47 tahun), salah satu perajin sandal di desa ini mengatakan, dua bulan belakangan ini merupakan masa-masa sepi pemesanan. Baru minggu lalu dia mendapat pesanan sebanyak 40 kodi. “Baru kali ini dapat banyak, biasanya paling banyak cuma 20 kodi,” ujar Itang.

Dalam proses pemasaran, Itang menerima pesanan sandal dari pihak penjual grosir di Pasar Raya Bogor dengan mendapat selembar bon putih atau giro dengan cap identitas si penjual grosir. Bon ini nantinya digunakan Itang untuk berbelanja bahan baku sandal di toko. Sisanya pada saat pengiriman barang, penjual grosir sebagai pemilik modal akan memberikan sejumlah uang untuk membayar tenaga kerja perajin dengan memperhitungkan modal awal yang telah digunakan melalui bon putih tadi.

Itang bilang, kendala lain yang dihadapi saat ini adalah makin banyaknya warga sekitar yang juga menjadi perajin sepatu. Menurutnya, ini berdampak pada persaingan harga jual antara sesama perajin.

Abdul Rahmat (55 tahun) perajin sandal lainnya pun setali tiga uang. Kondisi ekonomi keluarganya relatif tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Dia bahkan mengatakan lebih layak disebut sebagai kuli sandal daripada perajin sandal.

Bahkan Abdul tidak memiliki bengkel sendiri seperti Itang. Bisa dibilang, Abdul menjadi tenaga kerja dari pedagang yang memiliki modal. Pedagang grosir yang sering disebut sebagai “bos” ini memberikan jatah pengerjaan pada masing-masing perajin untuk proses produksi yang berbeda.

Bersama sang istri, Abdul bertugas memasang sol luar dan penyatuan bagian atas dan bawah sandal serta pemasangan tali pada sandal. Untuk 100 pasang sepatu, dia diupah sebesar Rp 50.000.

Sedari dulu Abdul sudah berkeinginan untuk mempunyai bengkel sendiri. Namun, karena keterbatasan modal, harapannya pun terpaksa dikubur dalam-dalam. Opsi meminjam uang untuk permodalan ke bank tidak terbersit dalam benaknya lantaran persyaratan kredit dari bank yang menurutnya akan sulit terpenuhi.    

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×