kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pernah jaya, pesona tenun songket Aceh memudar


Kamis, 28 April 2016 / 14:55 WIB
Pernah jaya, pesona tenun songket Aceh memudar


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Rizki Caturini

Indonesia kaya akan kain tradisional dengan ciri khasnya masing-masing. Salah satu yang cukup dikenal luas adalah kain songket. Selama ini ada beberapa daerah yang terkenal dengan kerajinan songketnya, seperti Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan.

Namun, tidak banyak masyarakat Indonesia yang tahu, ternyata Aceh juga memiliki kain tenun songket.  Tenun songket Aceh mungkin tidak sepopuler tenun Nusa Tenggara, namun keduanya sama-sama punya corak yang cantik.

Tenun songket Aceh dibuat menggunakan mesin yang dioperasikan secara manual. Para perajin tenun songket Aceh ini banyak ditemukan di desa-desa sekitar Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Terdapat kurang lebih 20-an perajin yang terbagi dalam lima kelompok dan masih bertahan hingga sekarang.

Salah satunya adalah Jasmany Daud (50), salah seorang perajin asal desa Mireuk Taman yang sudah menenun sejak tahun 90-an. Keterampilan itu ia peroleh dari guru tenun satu-satunya di Aceh Besar, yakni mendiang Nyak Mu (Hj. Maryamu).  “Saya menenun sejak zaman muda belia. Butuh waktu satu tahun agar dapat mahir,” terang Jasmany.

Tenun songket Jasmany dijual mulai Rp 800.000 untuk satu lembar sarung ukuran 2 meter dan mulai Rp 2 juta untuk satu paket berisi selendang dan sarung. Harga ditentukan tingkat kesulitan dan lamanya pembuatan.

Jika sedang ramai pesanan, ia mengaku dapat membuat 15 pasang kain tenun songket dalam satu kali produksi. Tapi bila sedang sepi peminat, ia bisa tidak mendapat pesanan satu pun. “Sekarang pesanan sudah jarang, tidak seperti dulu di tahun 2000-an, tenun Aceh masih banyak peminatnya. Jadi saya kalau buat sedikit-sedikit saja, yang penting habis terjual,” tukasnya.

Pelanggan Jasmany datang dari sekitar Aceh, Medan, Lombok, Jakarta dan Surabaya. Mereka biasa memesan untuk upacara adat seperti pernikahan.
Jasmany kini memiliki lima anggota perajin dalam kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok dapat menyelesaikan garapan di rumahnya.

Ia mengaku, semakin ke sini anggota perajinnya terus berkurang, karena pesanan juga semakin sedikit. “Dulu perajin saya 20-an orang, sekarang tinggal lima orang, karena saya juga sudah sepi pesanan,” ujarnya.

Sepinya pesanan juga diakui oleh Dahlia, perajin lainnya asal Desa Siem. “Setelah bencana tsunami Aceh, pesanan semakin menurun. Paling ramai hanya  bulan tertentu yang banyak orang menikahkan anaknya,” ujar wanita paruh baya ini.

Dahlia belajar menenun sejak  tahun 1982. Sama dengan Jasmany, ia juga berguru pada Nyak Mu sang master tenun songket asal Aceh Besar. "Butuh waktu lama untuk mahir," ujarnya. Dahlia membanderol tenun songketnya mulai Rp 900.000 dan sepaket selendang dan sarung mulai Rp 2 juta.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×