kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sadarsah pantang menyerah berbisnis kopi gayo


Selasa, 21 Oktober 2014 / 13:51 WIB
Sadarsah pantang menyerah berbisnis kopi gayo
ILUSTRASI. Manfaat kacang panjang untuk kesehatan tubuh.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikianlah ungkapan peribahasa yang menggambarkan bahwa anak acapkali mengikuti jejak orangtuanya. Ungkapan itu rasanya sesuai untuk menggambarkan kisah Sadarsah, pemilik CV Arvis Arnada di Medan, Sumatra Utara (Sumut).

Sejak 2006, Sadarsah menggeluti bisnis ekspor kopi gayo dan arabika ke beberapa negara. Dia menekuni bisnis ini,  karena sejak kecil sangat akrab dengan kopi. Ayahnya, H. Mude, merupakan petani kopi gayo yang dibesarkan di Dataran Tinggi Gayo sekaligus pedagang lokal kopi di Aceh.

Sepulang sekolah, Sadarsih kecil ikut membersihkan kebun dan memanen hasil kopi orangtuanya. Jadi, sejak 1990-an, Sadarsah sudah tahu bahwa kopi dari Gayo kerap dibawa ke Medan oleh para tauke kopi.

Lantas, pada 1998, seusai menamatkan pendidikan teknik elektro di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Sadarsah mencoba peruntungan dengan menjadi agen kopi di Medan. Pada 2001, ia bekerja di beberapa perusahaan sebagai tenaga pemasar kopi. Dari sinilah, dia melihat peluang mengekspor kopi.

Dengan menggunakan uang tabungannya, Sadarsah mendirikan CV Arvis Sanada, yang ia persiapkan sebagai kendaraan bisnis ekspor kopi yang akan digelutinya. Namun, karena kekurangan modal, Sadarsah belum bisa mengekspor kopi melalui perusahaan itu.

Baru lima tahun kemudian, Sadarsah mengirim kopi untuk pertama kalinya ke luar negeri. “Tepat pada 2006, saya bertemu pemodal yang mau bekerjasama dengan sistem profit sharing. Saya punya perusahaan, sementara dia punya modal dan gudang kopi,” kenang dia.

Maka, sejak itu, Sadarsah mengekspor satu kontainer berisi 18 ton kopi dengan merek Sumatera Arabica Gayo grade 1. Saat itu, ia mengaku mengeluarkan modal sekitar Rp 600 juta untuk mengirim kopi ke Amerika Serikat (AS).

Dari ekspor itu Sadarsah hanya meraup untung Rp 3,5 juta. Meski profit sangat tipis, dia tak patah semangat. “Dulu, saya orang Gayo pertama yang bisa direct selling ke luar negeri tanpa jalur broker di Medan,” ungkapnya bangga.

Sadarsah pun berkisah, pada 2001, ia sempat membeli beberapa majalah untuk mendapatkan alamat pembeli kopi di luar negeri. Menggunakan jalur internet, dia menjalin komunikasi dengan pembeli kopi di AS. “Tak sulit menjual ke luar negeri, karena kopi arabika Gayo sudah dikenal di dunia lantaran kualitas dan ciri khasnya,” kata ayah empat anak ini.

Pada 2007, bisnisnya mulai meningkat. Omzet melonjak drastis mencapai Rp 1,5 miliar per bulan. Perusahaannya terus mendapat profit meski tak banyak karena harus melakukan ekspansi dengan menjalin kerjasama dengan koperasi-koperasi yang ada di Gayo. Sadarsah juga harus merogoh kocek untuk menambah gudang kopi.

Saat ini, karyawan tetap Sadarsah berjumlah 15 orang, sedang tenaga harian maupun borongan mencapai 200 orang. Di luar itu, Sadarsah bekerjasama dengan 8.000 petani binaan di Sumut, Kabupaten Aceh Tengah, dan Bener Meriah.

Embel-embel anak petani kopi gayo memudahkan Sadarsah untuk bermitra dengan petani. Ia menerapkan skema dagang adil. Dari hasil penjualan kopi ke luar negeri, petani mendapat uang pengembalian alias premium fee senilai Rp 2.000 per kg–Rp 4.000 per kg dari harga kopi yang berkisar Rp 60.000 per kg–Rp 65.000 per kg. Dalam sebulan, Sadarsah bisa mengirimkan rata-rata dua kontainer kopi.


Sengketa bawa untung

Tahun 2008 merupakan tahun keberuntungan bagi Sadarsah. Dia mengalami banyak peristiwa yang membuat usahanya melambung tinggi. Meski pada tahun itu, ia bersengketa dengan perusahaan kopi asal Belanda, perihal nama Kopi Gayo.

Sadarsah pernah hampir digugat ke pengadilan karena menggunakan merek Kopi Gayo. Sebuah perusahaan bernama Holland Coffee menuduh Sadarsah menjiplak merek kopi mereka. “Saya diancam akan diadili dan dipenjarakan di New York.  Tapi, saya tak mundur setapak pun,” tegas pria kelahiran 19 November 1974 ini.

Bukannya takut, Sadarsah malah semakin teguh mempertahankan kopi gayo yang memang asli dari Indonesia itu. Bahkan, dia tak menanggapi ancaman dari perusahaan Belanda. Langkah ini membuat kopi gayo semakin populer. “Meski ada mitra yang memutuskan kerjasama karena takut kena imbasnya, permintaan yang justru makin tak terbendung,” tandas dia. Pada 2008, omzetnya melesat jadi Rp 3 miliar per bulan.

Namun, masalah tak berhenti di situ. Tahun-tahun berikutnya, Sadarsah mengalami guncangan yang tak kalah dahsyat. Pada 2009 dan 2010, Sadarsah menandatangani banyak kontrak jangka panjang dengan beberapa pembeli di AS dan Eropa.

Saat kontrak diteken, memang harga kopi sedang bagus. Sayang, dia kurang modal, sehingga tak sanggup membeli stok untuk pengiriman kontrak kopi yang telah terjadwal. Alhasil, ketika pada 2009 harga kopi melonjak sekitar 30%,  Sadarsah merugi hingga Rp 3,7 miliar. Kerugian itu masih berlanjut sebesar Rp 1 miliar pada 2010.

Sadarsah tak patah arang. Ia pun mengajukan pinjaman pada Islamic Development Bank (IDB) melalui International Trade Financing Corporation (ITFC) di Arab Saudi. Pinjaman itu didapat dengan sistem murabahah yang syaratnya ringan. “Saya tak perlu agunan, hanya sistem resi gudang dan berdasarkan kontrak,” tutur dia. Bisnisnya pun bertahan.  

Selain soal modal, kehilangan sejumlah karung kopi dalam pengiriman juga menjadi pengalaman berharga bagi Sadarsah. Padahal, jelas dia, kontainer tak mengalami kerusakan. “Tapi ada 151 goni atau sekitar 9.000 kg kopi yang hilang, karena lemahnya pengawasan keamanan di pelabuhan,” ujar dia.  

Sadarsah berpesan bagi pebisnis pemula agar tak gampang menyerah dalam menjalani bisnis. Selain itu, kunci utama dalam usaha ialah menguasai ilmu dahulu. Jadi, setiap kejadian dan analisis wajib dicatat sebagai acuan dalam mengembangkan bisnis. “Pengusaha harus terus belajar, dan kalau bisa hadiri pertemuan dan bergabung dengan asosiasi agar kebekuan yang kita alami ada solusi,” ungkap dia.              


Berjuang lewat asosiasi

Asosiasi secara tak langsung ikut membantu Sadarsah mencapai sukses. Sejak awal berbisnis, dia bergabung dengan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Pada 2008, asosiasi ini pula yang mendukung  Sadarsah untuk tetap mengekspor kopi gayo meski dihalang-halangi perusahaan kopi Belanda.

Kini, Sadarsah juga menjabat pengurus pusat AEKI sebagai Ketua Kompartemen Produksi dan Mutu di DPP AEKI Jakarta dan anggota Badan Pengurus Daerah AEKI Sumut. “Salah satu harapan kami, konsumsi kopi dalam negeri terus meningkat, melalui pameran kopi di berbagai kota di Indonesia,” ucap dia.

Sadarsah juga memperjuangkan agar negara ini punya sistem resi gudang  atau trade finance untuk komoditas kopi. “Kami sebagai pengusaha dan eksportir berusaha menghasilkan devisa bagi negara, sehingga mendatangkan keuntungan bagi banyak pihak, termasuk petani kopi,” tutur dia.

Namanya bisnis, persaingan sudah jadi hal lumrah. Namun, demi kemajuan bisnis kopi dalam negeri, Sadarsah tak ingin bersaing dengan sesama pengusaha kopi. Justru sekarang, dia melihat tantangan terbesar adalah melawan perusahaan asing. “Mereka sudah mulai membeli kopi dari kampung-kampung,” ucap Sadarsah.

Dengan modal besar, jaringan yang luas, serta bunga bank kecil, Sadarsah masih kewalahan menghadapi persaingan dengan perusahaan asing. “Selisih bunga bank lokal dan luar negeri sekitar 7%–8%,” seru dia.

Ini jadi tantangan yang dihadapi Sadarsah dan banyak pengusaha kopi lokal lainnya. Padahal, sebagai pengusaha dan eksportir, ia kerap dibatasi oleh aturan ketika membuka pasar di Amerika Serikat dan Eropa. “Meski butuh investor, kami sebagai pengusaha juga butuh aturan main yang jelas dari pemerintah,” tegas dia.                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×