kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,60   5,14   0.56%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra batik sumenep: Ada sejak zaman kompeni (2)


Rabu, 07 Maret 2012 / 13:49 WIB
Sentra batik sumenep: Ada sejak zaman kompeni (2)
ILUSTRASI. Logo media sosial Facebook.


Reporter: Eka Saputra | Editor: Tri Adi

Sentra batik tulis di Desa Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep, Madura sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan Kerajaan Sumenep masih berdiri. Sampai sekarang sentra batik tersebut masih bertahan. Sembari tetap mempertahankan tradisi batik tulis, mereka tetap mengikuti perkembangan motif dan desain dalam membatik.

Desa Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep, sudah terkenal sebagai sentra produksi batik tulis sejak zaman Belanda. Bahkan, sentra kerajinan batik tulis di desa ini sudah mulai kondang sejak Kerajaan Sumenep masih eksis hingga berakhir di bawah kekuasaan Ario Prabuwinoko pada tahun 1926-1929.

Tak heran, bila motif batik buatan desa ini banyak dipengaruhi tradisi keraton. Misalnya, terlihat motif kipas yang sudah ada sejak tahun 1930-an. "Kipas itu sejak zaman dulu paling banyak dipakai para putri raja," ujar pemilik Sentra Batik Tulis Al-Barokah, Taufan Febriyanto.

Sejak zaman keraton itu pula, pekerjaan membatik ini berlangsung turun temurun. Taufan sendiri mendapat keahlian membatik dari orang tuanya. Ia merupakan generasi ketiga yang melanjutkan usaha batik tulis dari tangan ibunya, Tarwiyah. "Dari zaman nenek moyang sudah ada," timpal Tarwiyah.

Achmad Zaini, pemilik Sentra Batik Tulis Melati membenarkan, kegiatan membatik di desanya sudah turun-temurun sejak zaman nenek moyang. Ia sendiri merupakan generasi kedua yang mengelola Sentra Batik Tulis Melati. "Saya diserahi usaha ini oleh orang tua di tahun 1977," ujarnya.

Bedanya, dulu, pekerjaan membatik hanya dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Umumnya, masyarakat lebih mengutamakan bertani atau melaut yang hasil ekonominya lebih pasti. "Tapi kini membatik sudah menjadi pekerjaan utama di desa kami," ujar Zaini.

Taufan sendiri tidak pernah bercita-cita menjadi pembatik. Ia sebelumnya sempat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pancamarga Probolinggo. Namun, panggilan hati memaksanya pulang dan meninggalkan bangku kuliah demi mempertahankan usaha warisan keluarga tersebut. Terlebih, kondisi ibunya saat itu sudah semakin tua.

Keputusannya itu ternyata tidak sepenuhnya keliru. Perlahan, batik tulis Madura dari Desa Pakandangan Barat semakin kesohor. "Memasuki tahun 1991, banyak pengepul mencari batik ke desa kami," ucapnya.

Berkat kerja kerasnya mengkreasikan berbagai motif, Sentra Batik Tulis Al-Barokah pun berkembang pesat. Dalam mengembangkan motif dan desain, ia mengaku mencari ide dari majalah dan internet. Sembari tetap mempertahankan tradisi batik tulis, "Saya juga terus mengikuti perkembangan zaman," ujarnya.

Makanya, ketika pelanggan sekarang cenderung menyukai warna cerah dalam berbatik, ia pun membubuhkan warna merah, kuning, hijau dalam batiknya. Padahal, dulu batik selalu memiliki warna khas yang gelap, seperti hitam atau cokelat. Selain itu, meskipun belum masif, ia juga mulai membuat desain 'batik gaul'.

Sama halnya Taufik, Zaini juga terus mengikuti perkembangan zaman dalam membuat motif dan desain batik. "Biar bertahan, harus pintar membaca perubahan zaman dan selera pasar," ujarnya.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×