kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra Konveksi Salatiga: Desa wisata konveksi (1)


Jumat, 15 Februari 2013 / 13:04 WIB


Sumber: Kontan 14/2/2013 | Editor: Havid Vebri

Anda minat berdagang pakaian? Tak ada salahnya jika Anda melongok ke sentra konveksi di Desa Tingkir Lor, Salatiga, Jawa Tengah. Di tempat ini, Anda bisa mendapatkan pelbagai jenis pakaian yang diproduksi oleh konveksi dengan harga miring.

Maklum, masyarakat Tingkir Lor sudah puluhan tahun mengandalkan usaha konveksi sebagai mata pencaharian. Usaha mereka berawal dari pabrik garmen Damatex dan Timatex yang beroperasi di Kecamatan Tingkir.

Masyarakat Tingkir Lor mendapatkan binaan dan pasokan bahan baku konveksi dari pabrik itu. Hingga kini, lebih dari tiga puluh rumah tangga bergantung dari sektor usaha ini.

Untuk mencapai Tingkir Lor tidak susah. Cuma butuh waktu 45 menit dari pusat kota Salatiga. Jika Anda sudah menemukan Terminal Tingkir (orang-orang mengenalnya dengan Pos Tingkir), maka perjalanan sudah dekat.

Anda bisa bertanya lokasi Desa Wisata pada warga setempat. Anda pun akan menemukan desa yang isinya produsen konveksi. Tingkir Lor kini menjadi Desa Wisata, yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Paris van Salatiga.

Pasalnya, di tempat ini terdapat toko baju menyerupai factory outlet yang ada di Paris van Java alias Bandung. Salah satu pengusaha konveksi di Tingkir Lor ialah Nurmah. Perempuan berusia 54 ini sudah terjun di bisnis konveksi sejak 1987.

Saat itu, ada sekitar 12 orang lainnya yang menjadi pelopor sentra konveksi di Tingkir Lor. Saat itu, sebenarnya ada 27 orang minat berusaha konveksi. Namun, Damatex yang memasok kain sisa produksi tiap pekan cuma mengizinkan 13 orang.

Pemilik toko konveksi Sahra ini menceritakan, awalnya setiap orang perajin mendapatkan jatah kain satu ton per minggu. Saat itu Ia hanya menjual lagi dalam bentuk kain kiloan.

Seiring perkembangan waktu, Nurmah mulai mengolah kain ini menjadi celana, seprei, juga mukena di rumahnya. Ia menjual hasil produksi dengan harga mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 80.000. Kini dalam sebulan, ia bisa mencetak omzet sebesar Rp 100 juta.

Strategi berbeda dilakukan toko Shafira. Mereka lebih fokus di produksi celana saja. Putri, pengelola toko Shafira, yang sudah memproduksi celana sejak 1980-an kini memiliki 47 karyawan, yakni 30 di antaranya merupakan penjahit tetap.

Shafira hanya melayani pengiriman celana ke luar kota dengan jumlah pemesanan minimal 1.000 potong. Dalam sebulan, Shafira mengirim celana ke tiga pelanggan.

Omzet Shafira per bulan bisa mencapai Rp 50 juta. Harga celana di toko Shafira berkisar Rp 8.500-Rp 16.000 per potong. "Kalau pembelian kurang dari 1.000 potong, harga selisih 10% lebih mahal," ujarnya.

Ratna pengusaha lain juga pilih fokus memproduksi celana. Ia menjual celana pendek dan celana panjang seharga Rp 10.000 hingga Rp 18.000 per potong. Hanya saja omzet Ratna masih sedang, kurang lebih bisa Rp 20 juta sebulan.      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×