kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra Konveksi Salatiga: Kesulitan bahan baku (2)


Minggu, 17 Februari 2013 / 18:59 WIB
Sentra Konveksi Salatiga: Kesulitan bahan baku (2)
ILUSTRASI. Lonjakan kasus di Singapura harus bikin Indonesia introspeksi diri


Reporter: Marantina | Editor: Havid Vebri

Sentra konveksi Tingkir Lor, Salatiga, tak butuh waktu lama untuk berkembang pesat, sejak berdiri pada tahun 1987. Semula, para produsen konveksi mendapatkan limpahan bahan baku dari sisa penjualan pabrik garmen Damatex dan Timatex yang berada di dekat lokasi sentra.

Lama kelamaan, jatah bahan baku sebanyak satu ton per orang tak tak mencukupi lagi. Seiring meningkatnya permintaan, para produsen konveksi mulai mencari pasokan kain dari pabrik garmen di sekitar Salatiga.

Nurmah, pemilik toko Sahra, menceritakan, sejak lima tahun belakangan, pasokan kain dari pabrik garmen menurun drastis. Kalau dulu pabrik memberikan jatah kain satu ton per minggu ke setiap pelaku usaha, kini jatah berkurang.

"Sekarang, pabrik hanya memberikan satu ton kain per bulan, dibagi untuk 13 orang perajin," ujarnya. Untuk menambah pasokan kain, Nurmah juga mencari bahan baku dari beberapa pabrik garmen di Ungaran, Boyolali, dan Solo.

Pasokan kain ini juga merupakan bahan sisa dari pabrik. Kain sisa dari pabrik-pabrik ini memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan pabrik garmen di Salatiga, meskipun harganya lebih mahal.

Jika Nurmah membeli kain sisa pabrik garmen di Salatiga dengan harga Rp 9.500 per kilogram (kg), di tempat lain, ia beli seharga Rp 30.000 – Rp 50.000 per kg.

Meski harga murah, kualitas kain dari Salatiga mulai turun. Kalau sebelumnya bisa mendapatkan kain ukuran panjang, kini ia makin susah mendapatkannya. Alhasil, Nurmah memakai kain sisa itu untuk membuat kantong celana atau celana pendek.

Untuk memproduksi seprei atau celana, ia mesti belanja kain dari luar Salatiga. Putri, pengelola toko Shafira, juga mengakui saat sini tidak lagi mengandalkan jatah kain dari pabrik garmen di Salatiga.

Selama lima tahun terakhir, toko Shafira lebih banyak membeli kain dari pabrik garmen di Solo. Dalam sebulan, toko ini mendapatkan 14 karung kain dengan berat masing-masing karung sekitar satu ton.

Jenis kain yang digunakan mulai kain katun, tuil, dan chiffon dengan harga rata-rata Rp 75.000 per kg. Karena pesanan kain untuk bahan baku masih tergolong partai kecil, perajin konveksi Tingkir Lor tak bisa membeli langsung dari pabrik.

Mereka harus memakai jasa pihak tangan kedua. Inilah yang menyulitkan pengusaha. Toko Shafira sering kekurangan pasokan kain karena pemasok tidak stabil. Ini berimbas pada penurunan produksi.

"Kalau bahan baku tersendat, kami terpaksa menolak order," ucap Putri. Walau berat, pengusaha konveksi di Tingkir Lor tetap berusaha bertahan.

Dengan harga bahan baku yang makin mahal, mereka berupaya tetap hidup dengan mengurangi margin. Usaha mereka juga susah mekar karena bank masih melihat sebagai usaha yang sunset. 

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×