kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,42   6,96   0.76%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra pelek Permata Hijau: Dirugikan busway (2)


Minggu, 23 September 2012 / 20:46 WIB
ILUSTRASI. Waterski Experiences Danau Sunter Jakarta


Reporter: Revi Yohana, Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri

Kawasan sentra pelek (velg) dan ban Permata Hijau buka rata-rata selama 24 jam. Hal ini bukan tanpa alasan. Para pembeli kebanyakan datang di malam hari. Pasalnya, sejak jalur Transjakarta atau busway beroperasi di sekitar situ, pengunjung kesulitan memarkir kendaraan. Makanya, mereka memilih datang malam hari yang relatif sepi.

Agus Sunaryo, pengelola Latex Ban bilang, ketika jalur busway dibangun, Jalan Arteri Permata Hijau yang tadinya memiliki tiga jalur, terpangkas menjadi dua jalur. Pedagang yang rata-rata menjajarkan dagangannya di trotoar, sebelumnya menggunakan satu jalur sebagai lahan parkir bagi para pembeli. Namun kini, sulit melakukan hal tersebut.

Jika ada calon pembeli yang memarkir kendaraan bisa menyebabkan kemacetan panjang. Polisi pun sering menegur. "Kalau ada yang mau beli terus parkir biasanya ditegur. Tetapi, kami tidak pernah dilarang berjualan di sini," ujar Agus.

Maka, pembeli pun datang di malam hari. Pukul 24.00 malam kala jalanan mulai sepi barulah pembeli suka berdatangan. Menurut Agus, selain dari Jakarta, banyak pula pembeli dari daerah, seperti Lampung dan Padang.

Pedagang lain, Warsito menuturkan pengalaman yang sama. Sejak busway koridor Harmoni - Lebak Bulus beroperasi pada bulan Februari 2009 silam, jumlah pengunjung di sentra velg Permata Hijau menurun drastis. Sebagian besar orang enggan berhenti di pinggir jalan tersebut, lantaran jalannya semakin sempit.

"Kalau dulu, sebagian bahu jalan ini masih bisa digunakan sebagai tempat parkir mobil bagi pelanggan, tapi sekarang tidak ada yang berani parkir sama sekali," ujar Warsito.

Dus, Warsito bilang, sejak busway beroperasi, omzetnya menurun drastis. Sebelumnya, ia bisa meraup omzet rata-rata Rp 15 juta-Rp 20 juta perbulan. Namun, setelah busway beroperasi, omzetnya hanya sekitar Rp 10 juta per bulan. "Terkadang kalau lagi sepi, dalam beberapa hari, tidak ada penjualan," tuturnya.

Herry Adi Nugroho, pengelola salah satu kios di sentra tersebut juga mengakui, omzet jadi tak menentu sejak jalanan menyempit. "Sekarang jadi nggak tentu berapa velg yang terjual. orang juga takut sama polisi. takut ditegur," ujarnya.

Menurut Herry, sebelum jalur busway dibangun, rata-rata kiosnya bisa menjual 30 set velg dan ban per bulan. Omset yang dikantongi pun bisa di atas Rp 50 juta. Namun kini, kalau lagi ramai, bisa terjual sekitar 15 set velg dan ban dengan omzet sekitar Rp 20 juta-Rp 30 juta.

Selain penjualan velg, rezeki lain datang di akhir pekan. Biasanya, pada akhir pekan, banyak anak muda yang meminta bongkar pasang velg dan ban. Maka, Herry pun membuka jasa bongkar pasang velg dan ban. Velg standar dengan ring kecil dihargai Rp 15.000 per buah untuk sekali bongkar pasang. Sementara, velg besar dan agak sulit dihargai Rp 25.000 per buah per bongkar pasang.

Untuk pasokan velg maupun ban bekas, pedagang memperolehnya dengan cara tukar tambah. Selain itu juga dari bengkel atau showroom mobil yang ada di sekitar Jakarta.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×