kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sukses dua sahabat berkat kaus Obama


Senin, 29 Juni 2015 / 12:10 WIB
Sukses dua sahabat berkat kaus Obama


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Berawal dari persahabatan, berlanjut pada bisnis. Itulah yang dialami Ria Sarwono dan Carline Darjanto, pendiri brand mode perempuan Cotton Ink. Keduanya sudah menjadi sahabat sejak duduk di bangku SMP. Lantaran sama-sama mencintai dunia mode, Ria dan Carline memutuskan untuk mengembangkan produk mode Cotton Ink.

Bagi perempuan yang doyan belanja online, Cotton Ink bukanlah merek yang asing di telinga. Desain kasual disertai dengan detail sebagai aksen membuat produk Cotton Ink diterima masyarakat luas. Inovasi dalam industri mode, baik dari segi desain dan branding, membuat Ria dan Carline kerap diganjar penghargaan. Pada 2010, Cotton Ink dianugerahi Most Favorite Brand di Brightspot Market, lalu Most Innovative Brand lewat ajang Cleo Fashion Awards, dan Best Innovative Local Brand pada 2012 dari majalah In Style.

Hingga kini, Cotton Ink memproduksi pakaian dan aksesori, seperti tas dan shawl (syal). Ria dan Carline membanderol produknya dengan kisaran harga Rp 199.000–Rp 389.000 per produk. Dalam sebulan, mereka memproduksi lebih dari 5.000 produk.

Ria dan Carline sudah memulai usaha mode pada 2008. Pencalonan Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat dijadikan momen untuk mengenalkan merek Cotton Ink di industri mode. Mereka memproduksi kaus bersablon wajah suami Michele Obama tersebut. Dengan modal sekitar Rp 1 juta, mereka membuat sekitar 100 potong kaus.

Kaus tersebut laku keras di pasaran sehingga memacu semangat Ria dan Carline meneruskan usahanya. Sebagai lulusan fashion design, Carline ingin membuat sebuah koleksi yang utuh, tidak sekadar printed t-shirt atau aksesori berupa syal. Apalagi, saat itu, Cotton Ink didukung komunitas online yang terus-terusan membicarakan keberadaan merek mode ini. Carline sangat yakin bahwa momen ini tidak akan terulang lagi. “Kami take off di saat yang tepat sehingga betul-betul harus dimanfaatkan,” tuturnya.

Ria bercerita, sesungguhnya, ia dan Carline tak pernah bercita-cita jadi pengusaha sebelumnya. Sebelum Cotton Ink berdiri, keduanya bekerja di bidang yang tak jauh dari mode. Carline pernah bekerja di perusahaan manufaktur kain yang berkaitan dengan ekspor dan impor. Meski hanya bekerja selama setahun, Carline melihat proses keseluruhan di perusahaan tersebut. Dus, strategi yang berhubungan dengan produk sudah terekam dalam benak Carline.

Adapun Ria sempat bekerja di salah satu butik multibrand di Jakarta. Pekerjaannya melibatkan interaksi dengan konsumen. “Setelah diingat-ingat, memang pekerjaan kami sebelumnya bersentuhan dengan how to build a brand, how to maintain customer, dan bagaimana menjalankan toko,” jelas Ria.


Kuat di produk casual

Namun, berbisnis dengan sahabat punya tantangan tersendiri. Tahun-tahun pertama Cotton Ink mereka lewati dengan banyak bertengkar. Namun, Ria dan Carline menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar untuk kesehatan hubungan bisnis.

Menurut keduanya, business is business. Dus, pembagian saham, gaji, dan tanggung jawab kerja harus dibicarakan sebaik baiknya. Di Cotton Ink, Carline berperan sebagai chief executive officer (CEO) dan creative director, sementara Ria sebagai chief operating officer (COO) dan brand & marketing director. “Kami menjalaninya dengan terbuka dan lapang dada,” kata Ria.

Perempuan kelahiran Jakarta, 4 Juni 1987 ini menuturkan, Cotton Ink unggul dari segi produk dibandingkan produk mode lainnya. Konsep mereka ialah casual with a twist (kasual dengan aksen cantik). Ria dan Carline menciptakan baju sehari-hari yang mudah dikenakan. Ria juga tak mau muluk-muluk mengadaptasi tren mode secara global. “Kami tetap menyesuaikan dengan konsumen kami agar mereka merasa nyaman menggunakan baju Cotton Ink dan merasa nyaman dengan diri sendiri,” ujar Carline, yang terdorong menjadi pengusaha karena bisnis kuliner ayahnya.

Di sisi lain, Ria mengungkapkan salah satu kunci kesuksesan Cotton Ink di industri mode tanah air ialah timing yang tepat, walaupun mereka sebenarnya tak sengaja memilih waktu tersebut. Pasalnya, tren yang diciptakan Cotton Ink biasanya dari spontanitas.

Beberapa tahun belakangan, merek lokal memang sedang jadi sorotan.  Brightspot Market juga jadi salah satu momen yang mengangkat nama Cotton Ink. Yang paling penting, Cotton Ink tahu betul memanfaatkan media sosial. Dengan demikian, keberadaan Cotton Ink mudah dijangkau oleh banyak orang.

Ria juga mengatakan, selama tujuh tahun ini, ia dan Carline melakukan apa yang mereka suka. “Menurut saya, dengan menjadi diri sendiri dan tetap bertahan pada identitas brand kami membuat kami mampu bertahan,” cetus dia.     

Akan tetapi, bukan berarti Cotton Ink berjalan tanpa kendala. Meskipun Ria bilang usaha mereka berjalan cukup mulus, kendala masih ada. Kendala yang kerap menyita waktu duo Ria dan Carline tersebut datang dari proses produksi.

Ria dan Carline sempat menggunakan bahan baku sisa konveksi untuk produksi. Lama-kelamaan, setelah pendapatannya bertambah, keduanya bisa mendapatkan bahan baku impor untuk membuat sebagian produk. Sisanya, mereka gunakan bahan lokal.

Menurut Ria, ia tak ingin Cotton Ink fokus membuat barang. Tujuan mereka ialah membangun brand Cotton Ink. Dus, mereka bekerjasama dengan tujuh penjahit di Jakarta dan Bandung untuk produksi. Namun dulu, Ria bercerita, ada masa Cotton Ink kesulitan mendapatkan tenaga penjahit sesuai keinginan mereka.

Tak hanya itu, sekarang Cotton Ink juga memiliki kendala di bidang sumber daya manusia. “Saat ini yang kami pikirkan ialah bagaimana cara merekrut talent untuk memperkuat tim Cotton Ink,” kata dia.     


Offline biar  brand mekar

Bila Jepang memiliki Uniqlo, Swedia punya H&M, maka Indonesia punya Cotton Ink. Itulah yang jadi tujuan Ria dan Carline membesarkan brand Cotton Ink. Mereka ingin, dalam 15 tahun mendatang, Cotton Ink menjadi produk yang dibanggakan oleh Indonesia. “Hal yang kami lakukan saat ini ialah investasi terhadap brand Cotton Ink,” tutur Ria.

Itu sebabnya, Ria dan Carline tak henti melakukan pembaharuan dan inovasi. Saban minggu, mereka meluncurkan produk baru dengan variasi produk empat kali lebih banyak daripada kompetitor.

Kesuksesan memasarkan produk Cotton Ink melalui jalur online membuat Ria dan Carline melebarkan sayap secara offline. Bulan lalu, mereka membuka toko offline pertamanya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, Cotton Ink juga dijual di beberapa toko, seperti The Goods Dept, Pacific Place, Jakarta, serta beberapa butik di di Bandung. Ria mengatakan, selama ini, produk Cotton Ink hanya dapat dijumpai di toko dan butik-butik tersebut. Namun, bila disandingkan, masih sulit membedakan produk Cotton Ink dengan produk fashion lain.


Online dominan

Ria menampik bahwa penjualan merupakan target utama dari berdirinya toko Cotton Ink. Dengan memiliki toko sendiri, Ria dan Carline ingin konsumen bisa melihat dan merasakan langsung produk-produk Cotton Ink. “Adanya toko offline bagus untuk branding kami dan pengalaman customer kami dalam berbelanja,” ujarnya.

Namun, keduanya sejak awal tidak menargetkan penjualan yang fantastis dari gerai offline Cotton Ink. Pasalnya, toko Cotton Ink hanyalah salah satu perangkat marketing bagi mereka.  

Sejauh ini, penjualan online masih mendominasi pendapatan Cotton Ink. Sebanyak 70% penjualan berasal dari online. Sisanya  dari penjualan lewat toko.         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×